Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Pilu Driver Go-Jek vs Customer

8 Februari 2016   20:40 Diperbarui: 27 Desember 2016   19:13 11469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - Diver Gojek Bandung yang tengah menjemput angkutan di kawasan Jalan RE. Martadinata, Kota Bandung, Rabu, (24/6/2015). (KOMPAS.com/Rio Kuswandi)

AMBIL BOOKING, itu kunci pertama interaksi driver Go-Jek dengan customer. Ini edisi bela diri dari seorang driver Go-Jek serupaku. Ya, akulah pengemudi itu merangkap Kompasianer. Pun mengabdi di sebuah kampus, bernama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Ada yang bilang, profesi dosen dan driver tidaklah terkoneksi. Bahkan ada yang menilai bila dosen menjadi driver, itu sama halnya mencuri pekerjaan tamatan SD-SMP-SMA. Penulis teramat sulit menerima anggapan ini. Lebih moderat bila penulis membiarkan saja pendapat itu. Karena bagiku, pekerjaan itu samalah nilai di hadapan Ilahi sepanjang itu tak diharamkan dalam agama. Lantaran tiap-tiap pekerjaan memiliki latar alasan dan motif argumentatif.

Tiba jua waktunya untuk blak-blakan. Ini etape "perlawanan" atas ramainya cela-celaan kepada driver se-Indonesia. Barangkali saja, driver itu dianggap "kuda beban" oleh customer. Ratusan kisah miris atas perilaku pengguna transportasi start-up ini. Ada tangis tersembunyi di sana! Tragedi terakhir yang kualami, pasca subuhan (sebagai muslim). Seorang bersuara lelaki, meng-order Go-Ride. Di Google Map menunjukkan calon customer itu (Titik A), tepat di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar akan terdestinasi di Jalan Malengkeri (Titik B), tercatat jarak tempuh= 18,7 Km. Penulis meneleponnya, dan deal untuk kujemput (pick up). Motor Jepang yang kutunggangi, melaju bersamaku di pagi buta itu. 

Foto: Milik Penulis, Feb 2016

Penulis wajib singgah di loket pengambilan karcis tanda masuk bandara, jalur motor tentunya. Setelahnya, kulanjutkan perjalanan, tibalah di area parkir motor, tempat yang dijanjikan. Rupanya calon pelanggan itu telah pergi tanpa meninggalkan pesan di telepon genggamku, tiada jejak sama sekali, pun tiada konfirmasi via telpon. Ia telah men-CANCEL order tanpa sedikit pun aba-aba darinya untukku. Kumerasa sangat direndahkan! 

Menjadi driver sepertinya setiap detik, memang harus siap-siap diperlakukan apa saja! Entah apalah namanya status seorang driver Go-Jek! Barangkali kebanyakan pelanggan menganggap bahwa mereka membayar kami. So se-enak dhewe mau berbuat apa aja buat driver! Iklim sosial-budaya selalulah begini gambarannya, memilih pekerjaan "rendahan" serupa tukang Go-Jek atau Ojek dan sejenisnya. Siap-siaplah dienteng-entengkan oleh masyarakat, khususnya di Indonesia Raya ini. Itu fakta absolut. Maka, benarlah ucapan almarhum ayahku: "Tiadalah yang mulia di mata manusia kecuali jika anakku kaya atau menjadi penguasa atau bangsawan!" Ujaran pria yang membesarkan dan mendidikku itu, kuingat selalu. Dan masih relevan dengan zona kekinian!

Penulis layangkan SMS dengan dialek Makassar: "Tabek. Di bandarameka ini. Kenapaki cancel-ka kodong?". (Terjemahan: Saya di bandara saat ini. Mengapa Anda men-cancel-ku kasihan?". Di akhir pesan terkulai kata "Kasihan" sebagai pertanda tak berdaya! Pesan itu masuk, tak dibalas-balas. Ingin kutahu alasan pembatalan order itu, karena bisa saja ada kesalahan di diriku sebagai driver dan akan menjadi masukan untuk perbaikan layanan Go-Jek di kotaku! Sejam kemudian, kutelepon lagi orang itu. Ia masih ogahlah menjawab! Tak lelah penulis. Kutelepon lagi, dan dia angkat. Jawabannya, "Saya buru-buru Pak!" Telepon ditutup! Energi jasmaniku melayang, tenaga psikisku gontai, magma pikiranku lemas! Itulah suratan namanya, dibuat oleh sesamaku, sendiri.

Rintih berlanjut walau ini bukanlah curahan hati, sebetulnya. Ini semua bersumber pada fakta lapangan! Seorang customer memintaku cepat-cepat menjemputnya di alamat yang telah ia sebutkan. Sesampai di rumahnya, ia menyuruhku menunggu karena ia baru mau mandi. Hati siapa yang tak lebur diperlakukan begini, sementara kita sama tahu bahwa antara aku dan dia, saling membutuhkan. Tapi itulah obyektivitas lapangan bahwa driver adalah subordinat dengan "alasan mati" demi kepuasaan pelanggan dan pelayanan optimal. Pelanggan adalah The King, yang kadang-kadang tak merupa Seorang Raja yang memanusiakan manusia lain seperti tukang Go-Jek. Lalu apa hendak terkatakan lagi, ini sumbu-sumbu budaya kita. Orang dinilai dari tampilan luar hingga janganlah bingung jika banyak-banyak kena tipuan oleh tampilan-tampilan kamuflase akibat pola budaya kita sendiri yang begitu cepat mengambil kesimpulan sepihak.

Selanjutnya, seorang customer lewat aplikasi Go Send, di hujan yang amatlah lebatnya seperti air bah yang tetumpahan dari langit Tuhan. Jas hujan wajib kukenakan untuk menuju kediaman sang customer, letak rumahnya cukup berkelok-kelok membuat helm basah tanpa sweeper, juga lorong berlumpur. Setiba penulis di depan tangga rumah panggung itu, di balik derasnya hujan pula, customer agak bersuara keras/berteriak, "Batal Pak, karena yang mau dikirimi, rumahnya kosong!" Maka, pilihan jawaban yang paling tepat adalah, "Iya Bu. Tidak apa-apa!" Kemudi motor pun berputar untuk tinggalkan customer itu sembari mengucapkan assalamu alaikum (keselamatan buat Anda).

Tugas driver memanglah wajib maksimal, agar dapat imbalan rating -1 bintang sampai 5 bintang berikut penilaian- dari pelanggan. Tapi ya mbok kalau customer bisa menjemput barang belanjaan (yang disuruhkan) di pagar atau di lantai satu, ya lakukanlah itu dengan ikhlas. Kami tak perlu naik ke lantai dua atau lantai tiga. Penulis tiadalah mengeluh, ini risiko pekerjaan, risiko pilihan hidup, dan juga risiko dunia. Sisi lain, customer juga wajib banyak membaca atau banyak bertanya perihal menjadi pelanggan yang ideal. Janganlah menyuruh kami melajukan kendaraan yang tak semestinya karena dapat mencelakakan di antara "aku dan engkau". Tahukah bila ada kecelakaan lalu lintas, kamilah pihak pertama yang dituduh ugal-ugalan di jalan raya.

Barangkali sistem tranportasi kita, lagi-lagi melanjutkan budaya no safety. Nyawa tak begitu berharga, barangkali? Sehingga penulis pernah sekali membawa penumpang dengan dua tas besar, plus satu peti peralatan bengkel (aneka kunci ada di dalamnya). Apa customer ini tiada mempertimbangkan beban seberat itu tak cocok untuk kendaraan seperti motor. Serbasalah memang menjadi driver. Ya, maka wajarlah bila di tengah perjalanan, mesin motorku padam. Itu pasti over heat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun