Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepenggal Kasih di Antara Katedral dan Istiqlal

24 Desember 2019   21:12 Diperbarui: 24 Desember 2019   21:26 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Hipwee.com

Selasa (23/12/1980), pukul 14.30. Jaka tampaknya begitu konsen mengetik naskah berita di salah satu meja dalam ruangan dewan redaksi majalah tempatnya bekerja. Karena memang  selama ini di ruangan itu dia selalu ikut numpang mengetik setiap berita. Terhalang dua meja di sebelah kirinya, Angie sedang menikmati makan siangnya. Sesekali matanya melirik ke arah Jaka yang terkesan menganggap dalam ruangan itu tak ada siapa-siapa selain dirinya.

Saat Jaka dan Angie tadi masuk ke dalam ruangan 3x6 meter yang terletak di lantai 2 itu tak ada siapapun memang. Dewan redaksi masih berada di ruang rapat bersama pimpinan redaksi dan pimpinan perusahaan. Entah apa yang sedang dibahasnya. Jaka dan Angie sama sekali tidak mengetahuinya. Keberadaan penghuni ruangan itupun diberitahu OB yang sedang membersihkan tangga saat mereka berdua naik ke lantai dua.

Jaka seakan mendapatkan sesuatu yang lama diidamkan. Kesempatan semacam itu selalu dimanfaatkannya untuk mengetik naskah berita yang didapatnya sejak pagi hingga siang tadi. Sedangkan dalam hati Angie diam-diam muncul rasa kesal karena tak dipedulikan oleh Jaka. Padahal Jaka juga sama-sama membawa nasi bungkus yang tadi dibelinya di sebuah rumah makan Padang. Semula Angie berharap Jaka akan makan siang bersamanya. Tapi Jaka malah menyuruh Angie untuk makan duluan saja. Alasan Jaka ingin segera menyelesaikan naskah berita memang cukup masuk akal.

Hanya saja kekesalan itu masih tetap dapat dikuasainya. Di satu sisi Angie memang memuji sikap Jaka yang tidak suka menunda-nunda. Setiap pekerjaan harus dapat diselesaikan dengan segera. Bisa jadi karena memang sebelum bekerja di majalah itu, Jaka pernah jadi seorang reporter di sebuah harian yang menuntut kecepatan karena harus mengejar deadline yang waktunya sangat terbatas.

Memang sepertinya Anggie ingin berbincang banyak. Terlebih lagi di rumahnya saat itu semua keluarganya sedang sibuk menyambut perayaan hari Natal. Tentang ayahnya yang dibantu adiknya yang sedang menghias pohon natal, juga tentang ibunya bersama tantenya yang sibuk menyiapkan kue-kue maupun makanan lainnya sebagaimana biasa dilakukan setiap menyambut peringatan hari kelahiran Yesus Al Masih dalam keluaganya.

Ketika di atas jok belakang vesva Jaka saat mereka di jalan, Angie sebetulnya ingin menceritakan hal itu. akan tetapi terik matahari, dan deru kendaraan yang berlalu lalang di jalanan ibu kota, membuat niat gadis itu jadi terhalang. Terlebih lagi setiap membawa sepeda motornya Jaka bak sedang dikejar setan. Tuas gas ditariknya dalam-dalam. sehingga membuat Angie harus memeluk erat tubuh Jaka, dan sesekali mengingatkannya agar hati-hati jangan sampai celaka.

Mata Angie meredup saat melihat jaket jean yang agak kumal, milik Jaka yang tersampir di sandaran kursi yang diduduki Jaka. Andaikan tidak akan menyinggung hati Jaka, dan dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan, ingin rasanya Angie mencuci jaket yang sudah menebarkan bau yang sudah tidak sedap itu. Bagaimanapun setiap Angie memeluk punggung pemuda itu, saat berboncengan, hidungnya terpaksa harus ditutup dengan sapu tangan.

Bah. Angie mengibaskan rambutnya yang panjangnya sebahu. Sama seperti rambut Jaka. Hanya saja modelnya yang berbeda. Rambut Angie tertata rapi dengan model yang sedang nge-hit saat itu. Sementara rambut pemuda itu memberi kesan pemiliknya yang tidak peduli dengan perawatan sama sekali.

Akan tetapi justru karena itu juga, gadis berdarah chinese itu diam-diam memiliki perhatian lebih kepada temannya yang satu ini. Sungguh. Di mata Angie Jaka tidak seperti teman-teman pria lainnya yang selama ini dikenalnya. Pemuda yang mengaku berasal dari pelosok desa di suatu  wilayah Jawa  Barat itu, merupakan sosok yang aneh memang. Seakan menyimpan misteri yang sulit untuk dipecahkan.

Di samping itu, pemuda berkulit sawo matang, dengan hidung sedikit mancung, dan tatapan matanya yang tajam, juga kumis tipis di atas bibirnya yang seakan tak pernah menebar senyuman itu, mengingatkan Angie pada sosok Ali Topan dalam film remaja Ali Topan Detektif Patikelir Turun ke Jalan yang diperankan aktor pendatang baru Widi Santoso.

Ada kesan sebagai seorang petualang dalam jiwa Jaka di mata Angie. tapi bukan petualang perempuan yang dicap murahan. Melainkan petualang yang selalu saja menyiratkan seorang yang ingin mengetahui hal-hal yang baru, atawa sesuatu yang berselimut misteri dalam jiwa pemuda jangkung, berbadan ramping berisi itu. Bahkan terkadang di saat berjalan berdua dalam memburu berita misalnya, Angie selalu saja harus berlari kecil mengikuti langkah kaki Jaka yang cepat dan panjang.

Sebenarnya sosok Jaka banyak digandrungi kaum perempuan memang. Sebagaimana yang sering tanpa sengaja Angie sendiri menyaksikannya. Manakala Angie dan Jaka sedang berada di tengah keramaian. Di pusat perbelanjaan, atawa di tempat lainnya yang biasa banyak kaum hawa. Banyak mata dari perempuan itu yang terkesan menatap lekat terhadap Jaka. Tak peduli perempuan sebaya Angie maupun mereka yang tergolong setengah tua, yang biasa dijuluki tante girang.

Kalau sudah seperti itu, diam-diam Angie merasa bangga juga bercampur sedikit risih berada di dekat Jaka. Mata kaumnya yang sedang memperhatikan mereka berdua -- terutama pada Jaka, tentu saja, tak sedikit yang menyorot rasa cemburu. Tapi ada juga yang seakan terkagum-kagum menganggap Angie sebagai perempuan yang menjadi pilihan pemuda itu.

Pilihan?

Bah. Pemuda urakan itu sepertinya tak pernah peduli dengan perempuan. Termasuk kepada Angie sendiri. Selama ini Angie dianggap hanyalah rekan kerja semata. Oleh Jaka, tentu saja. Bahkan belum pernah sekalipun dirinya diperlakukan sebagaimana harusnya seorang perempuan oleh seorang lelaki dewasa. Terlepas perempuan itu hanya sekedar teman saja. Tak pernah.

Pernah terbersit dalam hati gadis peranakan tionghoa dan Jerman itu dugaan kalau rekan kerjanya tersebut adalah seorang penyuka sesama jenis. Akan tetapi ketika beberapa kali di Sabtu malam mereka berdua keluar-masuk bar tempat berkumpulnya kaum gay, untuk mengumpulkan bahan tulisan, dugaan itu ambyar seketika. Betapa tidak, di tengah-tengah sekumpulan lelaki penyuka sesama jenis,  sikap Jaka malah terkesan begitu risih ketika beberapa pria menggodanya dengan colekan yang dibarengi ungkapan kata-kata penuh gelora asmara. Bahkan ketika mereka berdua keluar dari tempat itu, Jaka berkali-kali membuang ludah dibarengi umpatan yang penuh kebencian.

Lalu, kenapa Jaka bersikap dingin terhadap perempuan -- termasuk kepada Angie sendiri? Itulah yang hingga hari ini belum didapat jawabnya oleh Angie.

Padahal, ya padahal setelah beberapa bulan Angie dengan Jaka seringkali jalan berdua, dalam hati Angie diam-diam telah tumbuh perhatian khusus kepada Jaka. Entah kenapa. Angie sendiri tidak mengerti.

Apakah karena ketekunan dan memiliki tanggung jawab yang tinggi terhadap pekerjaannya, atawa justru karena sikap cueknya itu? Entahlah.

Angie menggelengkan kepalanya beberapa kali. Seakan berusaha menepis kecamuk dalam hatinya yang penuh dengan beragam perasaan. Seteguk air teh dari botolnya menuntaskan kegiatan makan siangnya. Kemudian gadis itu membuang kertas bekas pembungkus nasi yang tadi dilahapnya ke keranjang sampah di sudut ruangan. Lalu dengan langkah perlahan ia kembali. Tapi bukannya ke meja asalnya tadi, melainkan menghampiri Jaka. Diam-diam Angie berdiri di belakang kursi yang diduduki Jaka. Memperhatikan lembar kertas yang sudah hampir penuh oleh huruf-huruf  yang tak henti diketik lelaki itu.

Saat terlihat lembaran kertas itu akan dcopot dari jepitan di atas mesin tik oleh Jaka, Angie mencolek pinggang teman kerjanya itu.

"Heh, tuh nasinya dimakan dulu. Nanti keburu dingin lho..."

Jaka berpaling menatap wajah Angie. Ada senyum tipis yang giris dari bibirnya.

"Kayak emak gue di kampung aja lu..." celetuk Jaka.

"Emangnya kenapa dengan emak lu?"

"Itu tadi. Pake ngingetin makan segala..."

"Lho emangnya gak boleh?"

Jaka tidak menyahut. Ia malah merapikan lembar-lembar kertas yang sudah dikerjakannya.

"Udah sana makan dulu. Biar gue aja yang membereskannya," kata Angie sambil merebut lembaran kertas itu dari tangan Jaka.

"Gak ngerepotin nih?"

"Cuma beresin aja. Apa susahnya."

"Ya, udah..." Jaka bangkit dari kursinya. Wajahnya menengadah ke arah jam di dinding.

"Gua tinggal dulu ya. Mau salat Asar," kata Jaka kemudian.

"Lho mendingan makan dulu. Biar khusuk salatnya."

"Tanggung. Nanti aja selesai salat," sahut Jaka sambil terus berlalu. Menuruni tangga menuju lantai satu.

Selalu begitu. Setiap tiba waktu salat, Jaka selalu tepat waktu. Sekalipun di tengah perjalanan, atawa dalam suatu kegiatan penting juga. Malahan sekali waktu saat keduanya berada di TIM, ketika Jaka menjemput Angie dari kampusnya di LPKJ (Sekarang IKJ) karena mendapat tugas mendadak untuk meliput berita, Jaka menyempatkan diri untuk menunaikan salat saat waktu Duhur tiba.  Walaupun bersikap urakan, tapi dalam menunaikan kewajiban sesuai ajaran keyakinannya selalu dinomorsatukan.

Angie bekerja sebagai reporter di majalah itu sambil kuliah juga memang. Sama halnya dengan Jaka. Hanya kampus Jaka di jalan Gondangdia.

Demikian juga di saat hari libur. Bila Angie selesai melaksanakan kebaktian minggu di Katedral, seringkali ia melihat Jaka yang sedang duduk-duduk di pelataran masjid Istiqlal. Walaupun agak jauh dari tempat kost-nya, Jaka sering menunaikan salat di masjid termegah di Asia Tenggara itu memang. Bila besok harinya ditanya, jawab Jaka karena selalu merasa tenang dan nyaman.  

"Eh, kok malah melamun? Apa yang lu khayalkan?" Tiba-tiba Jaka sudah muncul di depan Angie seraya menegurnya. Tentu saj gadis itu tergeragap dibuatnya.

"Ah, nggak kok. Orang lagi membaca tulisanmu..." sahut Angie dengan kikuk sambil tersipu.

"Jangan suka melamun lho. Nanti cepet tua," kata Jaka seraya mengambil lembaran kertas dari hadapan Angie.

"Emang kalo udah tua kenapa?"

"Ya pikunlah. Terus mati..."

"Biarin aja ah. Biar cepet-cepet mati..."

"Lha, kok jadi gitu sih. Tega nian dikau,"

Angie kaget mendengar kata-kata Jaka tadi. Tidak biasanya mau bercanda. Pakai kata 'dikau' lagi. Ada angin dari mana tiba-tiba perangai Jaka berubah seperti itu?

"Memangnya kalau aku mati, kamu gimana gitu?"

"Ya kehilangan pastinya. Gak bakal ketemu lagi teman yang cerewet kayak kamu. Masak gua harus nangis kayak bocah. Gaklah..." sahut Jaka. Tapi sambil menjawil pipi Angie.

Angie cemberut.

Jaka menatap Angie lekat-lekat.

"Eh, ada apa lihat muka gua kayak gitu?" tanya Angie kemudian dengan perasan sedikit risih.

"Sumpah baru sekarang gua sadar. Ternyata kamu cantik juga, Angie," celetuk Jaka dengan nada sungguh-sungguh.

"Lho emangnya selama ini kamu gak pernah perhatiin gua?" sahut Angie. Sementara dalam hatinya berbunga-bunga rasanya.

"Benar. Selama ini gua tidak pernah memperhatikan kamu seperti sekarang ini. alangkah bahagianya lelaki yang jadi gacoanmu..." ujar Jaka serupa keluhan.

"Emangnya kamu jadi naksir sama aku setelah tahu gua ini cantik gitu?"

Mendapat pertanyaan yang to the point seperti itu, Jaka malahan menjauh dari Angie. Mulutnya justru kembali membisu. Jaka memasukan lembaran kertas ke dalam tasnya. Sementara Angie menjadi bengong dibuatnya.

"Ayo kita pulang," ajak Jaka kemudian.

"Lho biasanya juga pulang sendiri-sendiri. Emangnya sekarang mau antar dulu gua gitu?"

Sesaat Jaka menatap gadis itu. lalu, "Kalau kamu tidak keberatan diantar pulang sama gua," ujarnya agak pelan.

"Boleh juga tuh. Hitung-hitung ngirit ongkos taksi juga. Asal ikhlas saja kamunya..."

Jaka menggamit tangan Angie. Hati Angie berbinar. Dia beranjak dari kursinya. Lalu berjalan mengikuti langkah Jaka, menuruni tangga.

Saat berpapasan dengan OB di lorong keluar di lantai satu, Jaka mencoleknya seraya berkata, "Bang, beneran cantik cewek gua ini kan?"

OB itu tidak berkata menjawab petanyaan Jaka. Dia hanya tersenyum sambil mengacungkan jempol tangan kanannya. Sementara dalam hati Angie, di samping ada bunga bermekaran, muncul juga pertanyaan yang bercampur keheranan.

Kenapa perangai Jaka tiba-tiba jadi berubah seketika? Apakah benar Jaka naksir, dan jatuh cinta pada dirinya? Atawa... sikapnya itu sekedar menyenangkan hatinya saja?

Angie tersentak saat Jaka mengajaknya bicara dalam perjalanan di sore itu menyusuri jalan menuju ke arah rumahnya. Bahkan Angie pun keheranan pula, kali ini Jaka tidak ngebut dengan motornya sebagaimana biasa.

"Sebelum ke rumah, kita mampir dulu ke warung Dewi Indah ya?"

"Ngapain?"

"Ada yang mau gua omongin..." sahut Jaka. Dan Angie jadi penasaran karenanya.

"Boleh aja tuh. Asal jangan lewat waktu aja ya!"

Jaka membelokkan sepeda motornya ke arah Cikini. Tujuannya kemana lagi kalau bukan ke Taman Ismail Marzuki.

Kebetulan suasana di warung itu agak lengang. Hanya ada Teguh Karya yang sedang asyik ngobrol dengan seseorang yang mereka berdua tidak mengenalnya. Jaka dan Angie mengambil tempat duduk di sudut yang agak sepi, setelah sebelumnya memesan minuman dan makanan ringan. Untuk mereka berdua, tentu saja.

"Apa yang kamu mau omongin itu sebenarnya?"

"Santai saja, Non. Ayo diminum dulu tuh biar tenang dulu."

Angie malah semakin penasaran karenanya. Tapi sikap cuek Jaka sepertinya kumat kembali. Jaka seakan tak peduli dengan sikap Angie yang tidak sabar lagi.

Tak lama kemudian, Jaka menggamit tangan Angie di atas meja.

"Begini maksud gua. Tadi gua sudah memuji kamu. Bilang kamu cantik segala. Gua jadi takut kamu tersinggung. Oleh karena itu gua mau minta maaf yang setulus-tulusnya sama kamu. Gua tidak punya masud ngegombal. Sungguh. Gua sungguh-sungguh mengatakan yang sesungguhnya. Dan keluar dari hati yang paling dalam..." kata Jaka sambil menatap wajah Angie begitu lekat.

Angie terhenyak. Diam. Wajahnya menunduk. Sementara tangannya masih dibiarkan dalam genggaman Jaka.anya Angie sesaat kemudian.

"Cuma itu yang mau lu katakan?"

Jaka mengangguk. "Mau kan lu maafkan?" tanya Jaka dengan tatapan yang begitu teduh.

Angie menghela nafas panjang.

Tetiba ia tersentak kaget bukan kepalang. Seorang bocah mengguncangkan tubuhnya yang sedang duduk di kursi goyang.

"Oma. Oma. Sudah malam. Ayo masuk, nanti masuk angin lho!" teriaknya.

Angie menegadahkan wajahnya. Susana komplek perumahan mewah di Pondok Indah itu begitu lengang.

Sambil berjalan menuju ruang depan dengan langkah tertatih-tatih, terbayang kembali wajah seorang bernama Jaka, temannya di tahun 80-an. Yang sedari sore tadi tetiba muncul dalam ingatan.

"Di manakah Jaka sekarang? Apakah masih hidup atau sudah meninggal?" gumamnya dalam tanya yang entah apa jawabnya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun