Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sepak Bola Indonesia Kok Gitu, Sih?

11 Desember 2019   06:00 Diperbarui: 11 Desember 2019   06:19 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas U-23 (Kompas.com)

Indonesia kebobolan 3-0. Antiklimaks yang mungkin sama sekali tak terbersit di benak publik. Para pendukung sepakbola timnas merah-putih, tentu saja. Sebelumnya hanya ada ekspektasi kemenangan, demi pemuas dahaga di setiap masing-masing kepala pada awal pertandingan.

Lalu usai wasit meniup peluit panjang tanda pertandingan sudah berakhir, semuanya hanya bisa terhenyak sejenak. Dan manakala kesadaran diri sudah kembali, maka disebutnya karena bola memang bulat. Sepak bola pun bukanlah rumus matematika yang cukup akurat.

Ada pula yang berkata, faktor kelelahan karena jeda dari satu pertandingan dengan pertandingan lain yang teramat pendek, baginya akan menjadi sebuah permakluman, ketimbang harus memedam kesal yang berkepanjangan.

Sudah bisa masuk final, dan menambah pundi-pundi medali perak,harusnya  sudah merupakan sebuah kebanggaan. Daripada Thailand dan Malaysia yang tesingkir di babak penyisihan. Wajar saja dikalahkan lawan yang sama seperti di babak penyisihan. harus diakui, Vietnam memang hebat.

Akan tetapi bagi yang lainnya tidak demikian. Kecamuk dalam hati bisa jadi jika nasib sial itu sebagai kutukan. Kepengurusan PSSI melalui pemilihan ketua umumnya yang kontroversial, dianggap buah simalakama yang harus ditelan.

Mungkin juga kecaman diarahkan kepada pelatih kepala, Indra Syafri, yang dianggap belum juga mampu meramu sebuah tim yang mumpuni. Dan abai terhadap ekspektasi.

Lalu, sebagaimana sudah menjadi tradisi abadi, tuntutan pelatih pun serta-merta harus diganti. Untuk apa kalau tidak berprestasi. Buang-buang duit dan energi saja. Sepakbola sejatinya untuk jadi juara. Bukan lagi sekedar olah raga.

Bahkan lebih dari itu. Sepakbola adalah sebuah harga diri bangsa. Walhasil, jika terus gagal, dan senantiasa gagal mewujudkan harapan, untuk apa lagi jika masih terus didiskusikan?

Memang pendapat seperti itu akan dianggap sebagai sesuatu yang ekstrim barangkali. Mungkin juga akan dituding sebagai hal yang picik, dan berangkat dari pemikiran yang yang sempit.

Tapi harus bagaimana lagi jika kenyataannya demikian.

Induk organisasi tertinggi cabang olah raga ini pernah dipimpin oleh mereka yang berasal dari berbagai profesi. Mulai dari mantan pesepakbola itu sendiri, pengusaha, politisi, pensiunan pejabat pemerinth, bahkan hingga dua yang terahir adalah para jenderal.  Edy Rachmayadi yang kala itu sebagai Pangkostrad, lalu diganti oleh Iwan Bule seorang perwira tinggi Polri. Buktinya prestasi olahraga yang katanya begitu merakyat itu masih tetap saja jalan di tempat.

Bicara tentang luasnya negeri kita yang memiliki ribuan pulau, dan ratusan juta  jiwa penduduknya, masih saja tetap belum mampu melahirkan bayi berbakat sekelas Lionel Messi maupun Ronaldo.

Kalaupun muncul bocah yang dianggap memiliki bakat seperti dua mega bintang tersebut, maka menjelang dewasa bukannya mendunia, malah sudah merasa puas dielu-elukan di seputar kampungnya saja.

Lalu apa lagi yang akan dikatakan, termasuk oleh mereka yang seringkali disebut sebagai pengamat, dan menjadi narasumber yang piawai menata kata di layar kaca, apabila kondisi sepak bola Indonesia masih tetap berkutat dengan kekecewaan para pendukungnya.

Ah, sudahlah. Mencari-cari kambing hitam tidak akan menyelesaikan persoalan. Buanglah segala kemarahan. Tariklah nafas panjang, kemudian buang perlahan.

Sejatinya sebuah pertandingan adalah 2 x 45 menit. Kalau tidak menang, ya kalah. Paling banter bermain imbang, dan harus dilakukan perpanjangan. Untung saja laga final SEA Games kali ini zonder perpanjangan waktu.  Timnas Indonesia keburu menelannya kekalahan itu.

Game is over, mister.

Apa boleh buat. Sebagaimana biasa, mari kita kembali duduk bersama. Lupakan kekalahan yang memang menyakitkan. Lalu kita bicarakan lagi bagaimana langkah kita ke depan.

Untuk apa? Sssttt... Jangan bilang-bilang: "Untuk apa lagi jika bukan untuk kembali menelan kekalahan..." ***

*dimuat juga di indonesia.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun