Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Kamu dari Bandung, Ya?

17 Oktober 2018   20:39 Diperbarui: 17 Oktober 2018   21:32 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksara Sunda Kuno dalam Prasasti Kawali (Sumber: diciamis.com)

Pertanyaan seperti itu seringkali saya dengar dari lawan bicara saya yang baru pertama kali bertemu ketika saya sedang berkunjung ke luar daerah. Misalnya saja di tahu 1980-an saat saya sering berkunjung ke wilayah bagian timur, dan singgah di Ujungpandang, dan sekarang diganti lagi menjadi Makassar seperti semula, pertanyaan "Kamu dari Bandung, ya?" pasti akan terlontar dari mulut lawan bicara saya yang notabene penduduk asli Makassar. 

Sama halnya sewaktu mampir di Ambon, Jayapura, Dilli, maupun di Atambua, dan Kupang. Selalu saja saya dengar pertanyaan tersebut.

Pada awalnya mendengar pertanyaan itu, saya pun merasa kaget juga. Dan langsung saya pun balik bertanya, "Lho kok tahu?"

Maka jawaban dari lawan bicara saya pun semuanya hampir sama, "Aksen Sundanya masih kental terdengar!"

Begitu selalu. Padahal saya sendiri merasa sudah mencoba bicara dengan bahasa Indonesia, paling tidak dengan dialek Betawi yang paling saya kenal. Padahal saya juga bukan urang Bandung.  Hanya saja bisa jadi anggapan lawan bicara saya tadi menganggap Bandung identik dengan Sunda. Dan memang saya asli suku Sunda, berbahasa sehari-hari bahasa Sunda, tapi tempat saya tinggal di pelosok, sekitar 90 kilometer dari kota Bandung jauhnya  ke arah tenggara. 

Bisa jadi karena itu pula aksen bahasa Sunda saya begitu kentalnya, walau pun sudah mencoba berbahasa Indonesia dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya pun.

Begitu pun saat bertemu dengan seorang turis dari Eropa, dengan niat untuk mempraktikan bahasa Inggris yang sekian lama dipelajari di sekolah,, maka dengan penuh percaya diri saya mencoba berlondo-ria untuk menyapanya. Dengan tak kalah hangatnya, turis yang berasal darisalah satu negara di  belahan Eropa sana pun langsung balik bertanya, "Are you from Bandung?" 

Aneh. Kenapa Si Bule pun bertanya seperti itu. Ketika saya balik bertanya, "How come you know me from Bandung?", maka jawab turis itu, "Your Sundanese accent is so thick..." sahutnya sambil ketawa terbahak-bahak. Kemudian dia pun menjelaskan kalau dirinya sudah sering ke kota yang dikenal dengan sebutan Parijs van Java itu. Sementara saya sendiri hanya tersipu.

Terus terang saja, selain kaget pada mulanya setiap mendengar pertanyaan seperti itu, juga rada-rada malu juga ding, tetapi setelah saya mencoba rekam sendiri untuk membuktikannya, berarti benar, darah yang mengalir dalam tubuh saya ini tulen urang Sunda. Dan saya pun sadar. 

Karena memang saya dilahirkan dari rahim seorang Ibu yang kesehariannya bicara dengan bahasa Sunda, juga karena tinggal di wewengkon (Wilayah. Pen.) Bumi Parahiyangan. Alias Tanah Pasundan yang secara kewilayahan di negeri ini disebut juga Provinsi Jawa Barat.

Hanya saja terus terang juga, jika saya disuruh untuk berbicara, atawa menulis dalam bahasa Sunda yang baik dan benar, sampai hari ini saya akan langsung angkat tangan. Bukan untuk interupsi. Melainkan karena saya merasa tidak sanggup.

Sungguh. Selain karena begitu kayanya kosakata bahasa Ibu saya itu, juga dalam bahasa Sunda dikenal dengan Undak-usuk Basa-nya, yakni tingkatan-tingkatan dalam menggunakan bahasa kepada seseorang. Apakah lawan bicara kita itu teman akrab dan sebaya, apakah dia itu seorang yang patut dihormati (orang tua, guru, dan orang berpangkat), maka kata-kata yang digunakannya pun akan berbeda-beda walau memiliki makna yang sama saja. 

Misalnya saja kata "Saya" dalam bahasa Sunda yang diucapkan kepada teman sebaya adalah "kuring", dan bisa juga "dewek". Tetapi kalau lawan bicara kita adalah orang yang patut dihormati, akan berubah menjadi "abdi", ""Jisim kuring", atawa juga "pribados".

Nah lo. 

Pernah suatu ketika saya mencoba menulis dalam bahasa Sunda. Walau pun terasa sulit ahirnya setelah beberapa hari berkutat untuk mencobanya, satu artikel pendek dapat saya tuntaskan juga. Tapi saat saya meminta seorang teman saya yang kebetulan seorang sarjana bahasa Sunda, juga dikenal sebagai sastrawan Sunda, untuk sekedar menilainya, belum apa-apa, dan baru dibaca sekilas saja, teman saya itu langsung buka suara dengan ketusnya, "Belum layak untuk dimuat!" 

Hadeuh. Sehingga sampai sekarang saya lebih memilih untuk belajar menulis dengan bahasa Indonesia saja. Karena memang saya merasa banyak menemui kesulitan dalam mengunakan bahasa Sunda yang baik dan benar.

Namun terlepas dari itu, saya tetap merasa bangga berbahasa Sunda. Karena selain saya ini pituin (asli)  urang Sunda, juga karena begitu kayanya kosa-kata bahasa Sunda tersebut. Kepada sesama urang Sunda saja saya minta tolong untuk mencarikan padanan kata seperti: "Clom giriwil" saat sedang memancing ikan, ada atau tidak ada di dalam bahasa Indonesia persamaan katanya? Teu aya nya (Gak ada ya)?

Itulah. Sehingga patut kiranya kita merasa bangga dengan bahasa Ibu, dan tentu saja wajib hukumnya untuk dilestarikan oleh kita sendiri. Paling tidak untuk memperkaya khazanah bahasa dan budaya Indonesia juga.

Salah satu upaya saya untuk melestarikan bahasa Sunda, paling tidak kepada anak-mantu saya yang kebetulan berasal dari Jawa wetan (Timur). maupun yang peranakan Arab-Bugis dan berasal dari wilayah yang kemarin dilanda gempa dan tsunami itu, sedikit demi sedikit  saya mengaajak bicara dengan dicampur bahasa Sunda sambil menjelaskan artinya. Karena bagaimana pun mereka perlu untuk bisa berbahasa Sunda yang merupakan bahasa dan budaya mertuanya.

Leres teu (Betul 'kan)? Sebagaimana saya sendiri selalu saja ingin belajar bahasa di luar bahasa Ibu saya sendiri yang begitu banyaknya di negeri ini. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun