Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki yang Selalu Mengeluh

8 September 2018   21:32 Diperbarui: 8 September 2018   21:58 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: wartakota.tribunnews.com)

"Iya. Tadi pagi sehabis memetik kangkung untuk dijual ke warung malah keterusan membantu membereskan dagangan Nyai Apong yang baru pulang dari pasar," sahut Bi Unah sambil kembali menampi beras yang tadi terhenti.

"Dasar nasib! Sial amat perut saya hari ini," keluh Kang Jaka.

"Memangnya kenapa?"

"Sejak pagi belum diisi. Subuh tadi sepulang dari mushola disambut omelan istri. Persediaan beras sudah habis. Dan menyalahkan saya yang tidak buru-buru menggiling padi ketika persediaan beras sudah mulai menipis. Padahal mana saya tahu kalau beras habis. Mestinya istri saya sendiri yang mengetahuinya, karena saban hari dialah yang menyimpan dan mengambil beras di gentong. Tetapi entah kenapa, sewaktu saya jawab demikian, istri saya malah semakin menjadi-jadi. Bukan lagi ngomel, tapi berubah jadi marah. Coba bayangkan oleh Bi Unah.

Pagi hari sudah diajak bertengkar. Dengan perut yang masih kosong lagi. Saya pun merasa jadi tersinggung dibuatnya. Piring dan gelas kotor yang belum dicuci pun langsung saya tendang. Sehingga langsung berterbangan, dan pecah berkeping berantakan.  Melihat kemurkaan saya, rupanya istri saya menjadi ciut juga. Buktinya dia langsung menangis. Dan tak lama kemudian dia lari keluar. Entah pergi kemana. Karena sampai saya berangkat tadi dia belum kelihatan batang hidungnya."

"Makanya kalau istri sedang marah-marah jangan suka dilayani. Bagusnya Kang Jaka pergi saja menjauh darinya. Ditinggal sebentar saja pasti akan kembali tenang. Karena begitulah watak perempuan. Apalagi kalau merasa tidak diperhatikan,"  Bi Unah menasihati.

"Tetapi istri juga mestinya mengerti terhadap suami. Terlebih lagi sepagi itu sudah bikin ulah. Mestinya kedatangan suami dari tempat ibadah paling tidak disambut dengan secangkir kopi hangat dengan sepiring goreng singkongnya. Bisa jadi saya pun akan semakin menyayanginya."

"Tuh 'kan lelaki sih mau enaknya sendiri. Bukankah kopi harus dibeli dari warung. Sedangkan uang untuk membelinya saja tidak diberikan. Begitu juga dengan singkong. Paling tidak harus diambil dulu dari kebun. Hayo, mikir!"

"Ah, Bi Unah malah mendakwa saya. Jangan-jangan Bi Unah sendiri lama menjanda karena tidak pernah mengerti maunya suami. Sehingga ahirnya diceraikan oleh suaminya,"  kata Kang Jaka sambil tertawa.

Mendengar tudingan seperti itu, sontak Bi Unah mencak-mencak.

"Dasar kau, Jaka. Bicara asal mangap saja. Kamu tidak tahu ya, aku bukannya diceraikan oleh suamiku. Tapi karena ditinggal mati. Suamiku tertembak oleh gerombolan DI/TII. Sejak itu aku tak berniat untuk menikah lagi. Meskipun banyak lelaki yang datang melamarku. Termasuk ayah kamu sendiri, sebelum menikah dengan ibumu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun