Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyoal Pemulangan Kombatan ISIS dan Sikap Menteri Agama yang Bikin Miris

6 Februari 2020   14:27 Diperbarui: 6 Februari 2020   14:30 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Tribunnews.com)

Wacana pemulangan para kombatan negara Islam Irak dan Suriah, atawa lebih dikenal dengan ISIS (Islamic State in Iraq and Syria), yang digaungkan Menteri Agama, Fachrur Razi, langsung mencuat jadi topik bahasan berbagai kalangan saat ini.

Tak kerkecuali Presiden Jokowi yang dengan tegas menolaknya. Lebih jauh orang nomor satu di Indonesia ini mengatakan, secara pribadi tak menginginkan eks ISIS tersebut kembali ke Indonesia.

Namun, pembahasan lebih lanjut soal rencana itu akan dibahas dalam rapat terbatas (ratas) dengan kementerian terkait.

Oleh karena itu, apabila menyimak wacana Fachrur Razi, terlepas kemudian diklarifikasi, tetap saja telah menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat yang seakan tiada henti diterpa berbagai isu.

Terlebih lagi isu yang beredar itu begitu sensitif, dan tak jarang menimbulkan kontroversi.  Sehingga suka maupun tidak banyak pihak yang menuding Fachrur Razi tidak mampu  mengejawantahkan program yang dibebankan Jokowi, dan pada ahirnya tak sedikit yang menuntut yang bersangkutan lengser dari kursi Menteri Agama yang sudah lewat 100 hari didudukinya.

Sungguh miris memang. seorang pensiunan petinggi TNI begitu mudahnya mewacanakan hal yang sangat sensitif seperti yang ramai dibicarakan saat ini. 

Sebab walau bagaimanapun, para kombatan ISIS, yang dalam bahasa Arabnya disebut Al-Dawla al-Islamiya fi al-Iraq wa al-Sham itu berasal dari Indonesia.

Namun lantaran terlanjur tergiur oleh iming-iming dari negara yang dipimpin Abubakar al-Baghdadi itu, yang syahdan ISIS merupakan suatu negara berbentuk khilafah, dan kehidupan warganya akan dijamin secara totalitas, hingga impian suatu negeri yang katanya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, atawa suatu negara yang selaras antara kebaikanalam dan erilaku warganya. Negara yang keadaannya subur dan makmur, akan menjadi kenyataan, maka tanpa reserve lagi para kombatan itu pun membuang segala atribut ke-WNI-annya.

Artinya para kombatan itu secara serta-merta tak mengakui Indonesia sebagai negaranya. Lalu mereka pun mengikrarkan dirinya sebagai warga ISIS. Siap berkorban segala-galanya, harta dan jiwanya, demi ISIS semata. Terlebih lagi jika matipun kelak akan dijamin masuk sorga.

Lalu apabila kemudian apa yang diimpikan di awalnya sebagai sebuah sorga – sebagaimana yang dijanjikan, tapi dalam kenyataannya justru bicara lain (dikatakan demikian saat mereka terbangun dari tidurnya), yang disaksikan dan dirasakannya adalah suatu neraka yang menyiksa semata, maka timbullah sesal dalam dadanya, mereka pun berharap uluran tangan. Paling tidak ingin kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Apakah semudah itu seorang Fachrur Razi yang pensiunan petinggi TNI merangkulkan tangannya kepada mereka yang telah menanggalkan status WNI secara begitu saja?

Bukan hanya itu saja, sebelum punya niat untuk bergabung dengan ISIS, sudah pasti mereka pun sudah dicekoki faham Islam radikal tentang khilafah. Paling tidak oleh kelompok HTI yang sudah terbukti memiliki cita-cita mewujudkan suatu negara khilafah,  atawa kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang dipimpin Abu Bakar Ba’asyir, yang jelas-jelas menyatakan dukungannya terhadap ISIS.

Sehingga memang tampaknya bgitu naif seorang Menteri Agama yang berasal dari TNI, dan ditugasi oleh Presiden Jokowi untuk memaksimalkan program deradikalisasi di negeri ini, malah sok gaya-gayanya mau mengurusi mereka yang sudah bukan WNI lagi.

Padahal masalah Hizbut Tahrir saja walaupun organisasinya sudah dilarang pemerintah, dan meskupun kelompok JAT pemimpinnya sudah mendekam dalam penjara, akan tetapi faham-faham radikalnya masih seperti virus-virus yang tetap tumbuh subur dalam jiwa pengikutnya.

Terbukti aksi bom molotov yang tempo hari dilakukan seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), bernama Abu Basith, atawa rangkaian aksi teror bom yang sudah dan baru direncanakan oleh kelompok teroris yang tergabung dalam JAT maupun kelompok lain yang sudah terdeteksi pihak Densus 88, merupakan PR besar seorang Menteri Agama dan BNPT. Untuk memulihkan isi kepala mereka yang masih tinggal di Indonesia, dan masih memegang KTP sebagai tanda status ke-WNI-annya, tapi sudah terpapar faham radikalisme, dan sudah tidak memiliki jiwa nasional lagi, agar mereka sadar kembali, bahwa Indonesia adalah tanah airnya, bahwa Pancasila adalah dasar negaranya.

Begitu ‘kan yang ditugaskan Presiden Jokowi kepada Pak Fachrur Razi ini?

Okelah kalau Fachrur Razi bicara soal kemanusiaan, memang suatu hal yang wajar, dan bisa diterima oleh nalar. Akan tetapi kalau bicara masalah politik, ceritanya tetu saja akan lain lagi.

Pertama secara sadar maupun tidak, para kombatan ISIS itu sudah dengan begitu saja menanggalkan ke-WNI-annya. Artinya mereka sudah tidak mengakui lagi negara Indonesia sebagai tanah airnya.

Lalu yang kedua, sebelumnya mereka pun sudah bercita-cita ingin mewujudkan sebuah negara dalam bentuk khilafah. Artinya mereka ingin mengoyak-oyak tatanan NKRI yang sudah berjalan selama 75 tahun ini, dengan ciri khasnya yang Bhineka Tunggal Ika.

Apakah hal itu tidak dijadikan pertimbangan yang mendasar oleh Fachrur Razi yang mantan TNI, maupun BNPT yang sudah jelas tugasnya menangkal segala faham yang bertentangan dengan dasar negara ini?

Atau jangan-jangan wacana pemulangan 600 kombatan ISIS mantan WNI itu sebagai suatu upaya pengalihan isu semata, karena tugas yang diembankan Presiden Jokowi, yakni program deradikalisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan?

Entahlah, tapi yang jelas bagaimanapun wacana tersebut sungguh-sungguh membuat miris dan prihatin. Sebab kondisi di dalam negeri saja masih belum terjamin keamanannya dari ancaman teror dari mereka yang sudah terpapar faham radikal, dan masih centang-perenang, dalam melaksanakan program deradikalisasi khususnya, sekarang ini malah sudah lari ke permasalahan manusia yang hanya 600 jiwa banyaknya, sementara kami yang yang sudah jelas tinggal di Indonesia, dan masih memiliki jiwa nasionalisme masih dilanda kekhawatiran oleh ulah segelintir orang di dalam negeri yang sudah dicuci otaknya.

Oleh karena itu alangkah bagusnya kalau permasalahan radikalisme di dalam negeri sudah tuntas tas, barulah berfikir tentang mereka yang 600 jiwa nun di Suriah sana.

Terlebih lagi, tak ada salahnya sebagai orang tua, suatu hal yang wajar untuk memberikan pelajaran terhadap anaknya yang nakal. Terlebih lagi mereka para kombatan ISIS itu kalau dibilang sebagai anak yang nakal, bisa disebut nakalnya sudah kelewatan.

Sehingga kalau pun memang ada niat untuk mengembalikan mereka, persiapkan secara matang. Terutama tuntaskan dulu program deradikalisasi itu sampai tak ada lagi ketakutan yang mengganggu ketenteraman di negeri ini.

Lalu sambil “mengobati” mereka yang sudah terpapar virus radikalisme yang dipandang lebih berbahaya dari virus corona itu, dalam jangka tiga sampai lima tahun biarkan saja para kombatan itu merasakan pahit-getirnya hidup tanpa kejelasan. Paling tidak untuk memberikan pelajaran, enak mana hidup dibuai mimpi bersama bidadari di sorga jika dibandingkan hidup di Indonesia yang seperti ini kenyataannya.***  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun