Lama-kelamaan, para supir mulai meminta bantuan kepadanya untuk menuliskan sesuatu yang lebih dari sekadar permohonan tumpangan. Beberapa supir muda yang sering mengobrol dengannya mulai curhat tentang kisah cinta mereka yang sulit.
"Nak, bisa nggak kamu bikinin aku surat cinta? Aku suka sama seorang wanita, tapi bingung harus ngomong apa," kata seorang supir angkot suatu hari.
Awaynara mengangguk dengan semangat. Ia mulai menulis surat dengan kalimat indah yang menggugah hati:
"Kepada wanita yang membuat perjalanan hidupku lebih indah, sejak pertama kali melihat senyummu di tepi jalan, aku tahu hatiku tak akan pernah sama lagi. Setiap langkahku, setiap gas yang kupijak, ada bayangmu yang menemani. Jika kau berkenan, izinkan aku menjadi perjalanan terindah dalam hidupmu."
Surat itu diserahkan dengan tangan gemetar oleh sang supir, dan tak disangka, wanita yang dituju tersipu malu dan membalas dengan senyuman manis. Sejak hari itu, reputasi Awaynara sebagai "penulis surat cinta jalanan" semakin dikenal.
Suatu sore, ketika ia sedang menulis surat di pinggir jalan, hujan turun dengan deras. Dengan seragam basah kuyup, ia berteduh di bawah pohon sambil tetap menulis. Tiba-tiba, sebuah truk tua berhenti di depannya. Seorang supir tua melongok keluar jendela.
"Nak, kamu kenapa hujan-hujanan di sini?" tanyanya.
Awaynara tersenyum kecil. "Lagi nulis surat, Pak."
Supir itu tertawa. "Sini, naik. Aku antar kamu pulang."
Sepanjang perjalanan, mereka berbincang tentang kehidupan. Supir itu bercerita tentang bagaimana dulu ia juga anak miskin yang harus berjuang untuk sekolah. "Dulu aku tidak seberuntung kamu. Aku tak pernah bisa menyelesaikan sekolah,"Â katanya dengan suara serak.
Kata-kata itu menancap di hati Awaynara. Malam itu, di bawah lampu redup kamarnya, ia menulis lebih banyak. Ia tidak hanya menulis surat untuk supir, tapi juga cerita-cerita tentang kehidupan mereka.