Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 4 - Empat Puluh Empat

23 Oktober 2013   15:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:07 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Lima Puluh Empat

~ Dilema ~

Tak seperti ibarat menggigit cabai, detik itu digigit beberapa detik kemudian terasa pedasnya. Semua butuh proses, butuh waktu. Kesembuhan penyakit Koma memerlukan waktu dan proses. Sepertinya akan butuh waktu lama dan proses berbelit-belit. Terkecuali, jika Allah sudah menakdirkan dia sembuh, jangankan dalam hitungan minggu atau hari, dalam hitungan detik pun sangat bisa. Koma mengikuti tahap demi tahap dalam proses pengobatan, rutin menjalani pengobatan alternatif dibarengi dengan mengonsumsi obat medis.

Koma menghitung, sudah belasan kali berobat, dia cukup merasakan perkembangan lebih baik. Awal-awal perjuangan, Koma sangat bersemangat dan begitu yakin bisa melalui proses-proses sulit dalam pengobatan epilepsinya. Dia masih bisa sabar, walau terkadang ada saatnya mengeluh, tapi tak terlalu sering.

Tak terhitung sudah berapa banyak jumlah uang untuk membiayai pengobatan. Selalu saja ada rejeki tak terduga yang Koma dapatkan. Kebanyakan rejeki yang dia terima adalah pemberian dari orang-orang. Satu sisi Koma merasa bersyukur, selalu saja mendapatkan jalan. Satu sisi lain merasa malu, sementara, dia hanya bisa menerima pemberian orang yang iba membantu memberikan dukungan materil untuk kesembuhan epilepsinya. Koma merasa malu, untuk mendapatkan biaya, seolah-olah menjual iba.

Secara tak langsung, Koma dihidupi pesantren dan santri-santri. Setiap akan berobat, pesantren mengucurkan dana subsidi. Malah, tak jarang, inisiatif santri-santri yang setiakawan membantu mengumpulkan sumbangan alakadarnya.


Suatu waktu, Koma merasa sampai di titik puncak malu, sangat tak enak terus-terusan menerima bantuan dari pesantren. Di saat itu persediaan obatnya sudah habis. Saking merasa tak enak, segan untuk meminta, seminggu dia bolos dari rutinitas minum obat rumat. Seharusnya tak boleh terputus hingga berhari-hari. Alhasil, jeda waktu selama berhenti minum obat  menyebabkan kesehatannya labil.

***

Belasan kali berobat, Koma belum juga merasakan perkembangan lebih baik. Dia mulai jenuh, ikhtiar pengobatannya belum juga memberikan kesembuhan. Dia putus asa. Tak enak terus-terusan merepotkan Kyai Mastur, dan terus-terusan menyedot dana pesantren untuk biaya pengobatan tapi kesembuhannya tak juga tercapai.

Pikir Koma, tak ada guna, hanya buang-buang waktu, buang-buang biaya saja. Sudah menghabiskan waktu banyak dan biaya besar, tapi kesembuhan seolah semakin menjauh saja untuk dijangkau.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun