Saya kira ketika Didier Deschamps menggoyang-goyangkan kepalanya ketika sedang berdiskusi dengan asistennya Guy Stephan, saat duel adu penalti masih berlangsung, disitulah tanda-tanda Argentina akan juara.
Deschamps mengerti betul bahwa di dalam drama adu penalti tak banyak yang bisa dilakukan. Pemain tidak bermain dalam skema 11 pemain lagi, yang berarti tak ada utak atik strategi yang lebih dalam yang bisa dilakukan untuk menolong.
Bahkan kehadiran Presiden Prancis, Emannuel Macron pun tak bisa membantu banyak. Eksekutor berhadapan satu lawan satu, berkecamuk berbagai pikir, di tengah riuhan sekitar 88 ribu penonton di Lusail Stadium.
Dalam situasi tersebut hanya ada kepasrahan, dimana bukan saja soal keberuntungan tetapi dimana semesta akan memihak. Dan melalui laga seru nan dramatis, semesta ternyata memihak Lionel Messi, sosok sentral yang menjadi perhatian dunia saat Piala Dunia 2022 Qatar diselenggarakan.
***
Drama adu penalti adalah puncak. Puncak dari salah satu duel terbaik final Piala Dunia yang pernah diselenggarakan. Bagaimana tidak? Parade gol tercipta, dengan enam gol, dan bukan itu saja berbagai drama terjadi. Saya kira paling tidak ada 3 (tiga) alur laga yang menjadi perhatian penikmat bola sejagat.
Pertama, dominasi Argentina hingga menit ke-80. Tak banyak yang menduga bahwa Albiceleste dapat menekan Prancis dengan luar biasa dalam laga final ini.
Bahkan, menjelang 10 menit berakhir, Prancis tak mencetak satu pun peluang on target, yang berarti, Kiper Argentina, Emiliano Martinez tak pernah menangkap, menepis bola hasil tendangan pemain Prancis.
Apa yang terjadi? Saya kira pilihan strategi pelatih Lionel Scaloni yang dapat dikatakan manjur di tiga perempat laga. Memainkan formasi persis sama saat menghadapi Kroasia dengan 4-3-1-2, Scaloni dengan cerdas melakukan satu sentuhan signifikan yang kemungkinan tak diduga oleh jajaran pelatih Les Blues.
Di formasi ini, saat melawan Kroasia, maka 1 orang di belakang dua penyerang itu adalah Rodrigo de Paul mendukung Julian Alvarez dan Messi di depan.