Maksudnya demikian; Gerindra masih belum mendapat jaminan bahwa dengan masuk ke koalisi pemerintah maka jalan ke Pilkada apalagi Pilpres tetap akan dirangkul.
Adagium bahwa tak ada kawan abadi yang ada kepentingan abadi membuat Gerindra mungkin merasa perlu menempatkan kaki di segala lini, sehingga gerak fleksibilitas politik mereka dapat lebih bebas.
Meninggalkan dan ditinggalkan dalam politik itu biasa, tapi memastikan relasi politik yang taktis bisa terus dimainkan itu sebuah keharusan.
Menjaga relasi dengan Anies mungkin adalah jalan politik yang perlu dimainkan Gerindra. Untuk apa? Bisa untuk Pilkada dan bisa untuk Pilpres.
Hingga hari ini, elektabilitas Anies masih cukup tinggi. "Menjaga" Anis tentu adalah sebuah kebutuhan politik bagi Gerindra, meski belum tentu akan dirangkul juga.
Batas politik ini membuat Gerindra nampak berada di dua tempat, atau bisa disebut memainkan politik dua kaki, tapi realita politik menyatakan bahwa hal tersebut adalah hal yang biasa menuju perhelatan Pilkada dan Pilpres.
Sekarang pertanyaannya yang menarik adalah apa reaksi dari partai koalisi melihat pertemuan yang cepat-cepat dinyatakan sebagai pertemuan yang biasa itu.
Saya menduga setelah ini meski perlahan, pertemuan-pertemuan semacam ini akan semakin banyak dilakukan, di depan panggung atau di belakang panggung.
Revisi UU Pemilu jadi dilakukan atau tidak, setiap parpol dan politisi harus memulai ancang-ancang untuk memastikan bahwa langkah politik mereka ke depan dapat lebuh mulus.
Ungkapan, siapa yang cepat dia yang unggul, mungkin sedang dipraktekkan oleh Gerindra dan Anies. Kita tunggu saja. Â