Ada dua perspektif yang digunakan untuk menjawab ini. Pertama, Gerindra memang terus ingin berada di wilayah abu-abu, mengingat pemetaan politik yang ada.
Maksudnya seperti ini. Meskipun telah masuk ke pemerintahan, Gerindra perlu menjaga jarak, karena masih belum membentuk kekuatan politik baru yang solid sekarang.
Koalisi nampak menjadi gemuk, dan selain PDIP, tidak ada partai yang akan bicara lantang bahwa dia akan digaet PDIP demi kepentingan politik masa depan, baik jangka pendek Pilkada 2020 maupun Pilpres 2024.
Dalam situasi seperti ini, Gerindra harus memasang politik dua kaki. Siap untuk masuk lebih dalam, tetapi tetapi menjaga langkah untuk segera keluar jika diperlukan.
Dalam posisi seperti ini, Gerindra memang dipaksa harus sesekali usil, mengganggu namun tidak mengancam.
Kedua, tudingan ini bisa diduga berkaitan dengan pertemuan Airlangga Hartarto dan Prabowo Subianto. Benang merahnya jelas, yaitu saling mengamankan. Pertemuan, negosiasi, diskusi politik tujuannya adalah kepentingan.
Di dalam desain ini, bentuk pernyataan di depan publik dan lain sebagainya, adalah sebuah desain untuk memperlihatkan posisi Gerindra, sekaligus menjadi titik tawar politik untuk ke depannya.
Siapa yang akan terganggu dengan Djoko Tjandra, siapa yang diuntungkan ketika isu Rachmawati menang atas KPU akhirnya bergulir menjadi bola panas.
Meskipun kemungkinan kedua ini cukup sulit karena jika memang by desain, pemilihan momentumnya cerdas untuk kepentingan politik, atau bisa dikatakan sudah tidak aktual lagi.
****
Apapun yang akan terjadi nanti, seperti kompetisi sepak bola yang mulai dibuka satu-satu, partai politik pun mulai bergeliat dengan segala situasi.