Sebagian masyarakat, terutama yang belum akrab dengan seni tradisi, masih menyimpan stigma terhadap penari pria, termasuk penari Saman. Mereka mengaitkan tari dengan femininitas, seolah gerak tubuh yang lentur atau ritmis hanya layak dilakukan oleh perempuan. Padahal, tari Saman sebenarnya dibawakan oleh sekelompok pria dan tari Saman yang dibawakan oleh sekelompok perempuan disebut Tari Ratoh Jaroe. Kesalahan Interpretasi inilah yang membawa stigma buruk terhadap penari Saman.
Â
"Setau saya penari Saman itu dibawakan oleh perempuan, bukan laki-laki," ujar Siti, saat diwawancarai Kamis (29/05/2025).Â
"Kesalahpahaman antara tari Saman dan tari Ratoh Jaroe, orang menganggap bahwa suatu kelompok yang duduk berbanjar disebut tari Saman. Padahal banyak sekali tari duduk di Provinsi Aceh itu sendiri. Tari Saman hanya menggunakan vokal suara tanpa diringi alat musik rapai dan syeh," ujar Said Ahmad, pelatih Duta Saman Institute saat diwawancarai Sabtu (31/05/2025).
Ritme Budaya dari Lantai 3 Tamini Square
Mereka mengulang-ulang gerakan menepuk dada, paha, kecepatannya bertambah secara eksponensial. Keringat membasahi tubuh mereka, tetapi tak satu pun dari mereka mengeluh. "Ketika salah satu dari mereka salah, maka semuanya kami anggap salah. Sehingga mereka terbangun kebersamaannya," jelas Said Ahmad, pelatih Duta Saman Institute.
Yang membuat latihan ini unik bukan hanya gerakan yang kompak, tapi juga lirik yang mereka lantunkan. Selain syair Gayo yang mendayu, terselip lirik kreasi yang menggema penuh semangat.Â
"Pancasila dasar negara, burung Garuda sebagai lambangnya,
Bhinneka Tunggal Ika walau berbeda tetap satu jua,Â
Indonesia beragam budaya, Bapak Fadli Zon sebagai menterinya,Â
Indonesia pusat budaya, Ibu Kota budaya dunia."
Latihan rutin ini digelar setiap hari Sabtu pukul 10.00 WIB. Meski hanya seminggu sekali, konsistensi dan kekompakan para peserta terus meningkat. Setiap tepukan dan nyanyian yang keluar dari mulut mereka menjadi satu harmoni yaitu suara Indonesia.Â
Di tempat yang sederhana dan sedikit panas itu, kebanggaan pada budaya bangsa sedang dibentuk, bukan dengan pidato panjang, tapi dengan latihan yang penuh dedikasi.
Pelopor Tari Saman di SMPN 98 Jakarta
Ayers Athallah Ahmad adalah seorang siswa kelas 2 di SMP Negeri 98 Jakarta. Di usianya yang baru 14 tahun, Ayers sudah menunjukkan semangat luar biasa dalam dunia organisasi dan seni. Ia aktif sebagai anggota OSIS serta menjadi penggerak utama dalam kegiatan tari Saman di sekolahnya.
Perjalanan Ayers mengenal tari Saman bermula ketika ia ditunjuk mewakili sekolah dalam festival budaya yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada bulan Desember 2024. Selama satu bulan penuh, ia menjalani latihan intensif dua hingga empat kali dalam seminggu. Ia tidak hanya menghafal gerakan-gerakan khas tari saman, tapi juga mempelajari lirik-lirik lagunya yang penuh makna. Dari pengalaman itulah, tumbuh kecintaannya pada seni tradisional Aceh ini.
Usai mengikuti festival, salah satu pelatih bernama Pak Amin (41) memberikan dorongan kepada Ayers agar mendirikan ekstrakurikuler tari saman di sekolahnya. Ayers pun mengambil inisiatif. Ia membentuk kelompok tari saman di SMPN 98 Jakarta yang beranggotakan tujuh orang, termasuk dirinya. Mereka rutin berlatih setiap hari Rabu di sekolah dan melanjutkan latihan pada hari Sabtu di luar sekolah.Â
Namun, perjuangan Ayers tidak selalu mulus. Ketika pertama kali tampil di depan teman-teman sekolah, ia sempat menerima cemoohan kecil. "Pernah diketawain sih, kata temen aku aneh kepalanya goyang-goyang," ujar Ayers, saat diwawancarai Sabtu (31/05/2025).Â
Meski sempat merasa ragu, Ayers tidak membiarkan hal itu mematahkan semangatnya. Ia justru menjadikannya motivasi untuk terus tampil lebih baik.
Menjawab Stigma di Lingkungan Sekolah
Lambat laun, usaha Ayers mulai membuahkan hasil. Ia dan timnya mulai tampil di berbagai acara penting, di antaranya Festival Budaya "RAYA" oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, acara "75 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia dan Rusia" di Kedutaan Besar Rusia, Perayaan halal bi halal keluarga besar Gayo Lues, hingga penampilan di sekolahnya.
"Sekarang teman-teman mulai melihat tari saman sebagai sebuah kebanggaan di Sekolah kami," ujar Ayers, sambil tersenyum.
Melalui setiap gerakan tari saman yang ia tampilkan, Ayers bukan hanya menunjukkan kemampuan seni, tetapi juga membawa pesan penting, bahwa anak muda mampu menjaga dan memajukan kebudayaan Indonesia. Di usianya yang masih belia, Ayers telah menjadi contoh nyata bahwa semangat dan dedikasi bisa melahirkan perubahan positif di lingkungan sekolahnya.
Pelatih Duta Saman Institute, Said Ahmad (20) juga menekankan pentingnya menjaga kelestarian budaya, walaupun bukan berasal dari Jakarta.
"Tari Saman ini bukan hanya milik orang Gayo (Aceh), tetapi juga milik kita bersama (Indonesia)," ujar Said Ahmad, Sabtu (31/05/2025).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI