Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bohemian Rhapsody

11 Februari 2019   20:31 Diperbarui: 11 Februari 2019   21:20 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.pinterest.com/bobdewald

Aku mengira kalau hidup ini adalah sebuah fantasi. Tapi ternyata aku memang berada dalam sebuah kenyataan yang buatku tak bisa melarikan diri. Meski aku harus menatap menatap ke atas langit, takkan mengubah kenyataan kalau aku hanyalah seorang lelaki miskin. Tapi jangan salah sangka. Aku tidak mengharapkan simpati dari kalian yang punya harta melimpah dan popularitas. Orang bijak berkata kalau hidup ini punya pasang surut. Tapi aku merasa pepatah mereka benar-benar tidak berarti. Betul-betul tidak ada artinya. Persis dengan apa yang terjadi padaku. Semuanya bagaikan embusan angin. Cuma menumpang lewat saja lalu terlupakan.

***

 Ed, itulah panggilanku. Aku tinggal bersama dengan ibuku. Kami tinggal di sebuah desa yang masyarakatnya terbilang berkecukupan. Mayortitas penduduk di sana punya ladang dan sawah luas. 

Setiap memanen mereka bisa berpenghasilan dua puluh juta ke atas. Mereka punya mobil dan sepeda motor. Rumah mereka terbilang cukup besar. Setiap aku melintas di rumah mereka, aku refleks tersenyum. Berandai-andai jika kehidupanku seperti mereka. Tapi di saat itu pula aku merasa kesedihan menyeruak dalam hati.

***

Ayahku dulunya merupakan seorang kepala dinas pendapatandaerah. Jangan tanya soal kekayaan kami. Kami merupakan orang terpandang di kota A. Kami punya perusahaan garmen dan pabrik susu. Rumah kami rumah beton berarsiktur Spanyol dengan air pancur dan replika patung Aristoteles di halaman rumah. Rumah kami sering sekali dijadikan tempat berpestanya kaum borjuis dan birokrat. 

Maklum saja, ayah juga merupakan ketua dewan pengurus daerah salah satu partai pro pemerintahan. Ayahku sering sekali melakukan pertemuan-pertemuan penting atau sekedar berbincang-bincang di rumah kami. Ayahku sering sekali memperkenalkan diriku pada teman-temannya.

"Perkenalkan ini putra saya---Edgardo. Kalian tahu, di sekolah dia selalu mendapat pujian dari guru-guru bidang studi. Dia anak yang pintar. Aktif dalam menjawab pertanyaan seputar pelajaran," ucap ayah, bangga.

"Kau beruntung punya anak seperti dia, Fran. Barangkali dia bisa menggantikan posisimu sebagai kepala dinas atau jadi ketua dewan pengurus partai kita," puji salah satu teman separtai Fran.

"Untuk itulah aku selalu menekan padanya untuk belajar giat dan jikalau dia sudah menyelesaikan sekolahnya, dia akan kukuliahkan di luar negeri di fakultas hukum." Ayah menepuk pundakku sambil menatap penuh keyakinan padaku.

Mendengar apa yang dikatakan ayahku tentu senangnya bukan main. Aku selalu berdoa pada Tuhan semoga ayahku sehat walafiat. Agar cita-cita itu dapat terwujud di masa depan. Agar aku bisa meneruskan posisi ayahku sebagai kepala dinas dan ketua dewan pengurus partai.

Tapi siapa bisa menebak bagaimana alur hidup ini ke depannya? Semua terjadi begitu cepat. Secepat mengedipkan kelopak mata. Suatu hari, aku, adikku dan ibuku  melihat dua orang berpakaian polisi mendatangi rumah kami.

"Selamat malam, Nyonya Fran, kami dari komisioner pemberantasan korupsi dan kepolisian diperintahkan untuk membawa suami Anda ke kantor polisi. Suami Ibu terlibat dalam kasus korupsi pajak bumi bangunan sebesar 5 miliar rupiah." Pegawai komisioner pemberantasan korupsi dan dua polisi memasuki rumah kami, mencari keberadaan ayahku di sana. 

Mereka bertiga telah menemukan ruangan pribadi ayahku. Tetapi ketika diketuk beberapa kali, mereka tidak mendengar suara apapun dari dalam. Dalam hati aku begitu khawatir terjadi sesuatu dengan ayah. Ibu cepat-cepat menyuruhku membawa kunci cadangan dari kamarnya, membuka ruangan pribadi ayah.

Rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin. Kakiku bergetar. Kedua bola mataku melebar dengan sendiri. Menyaksikan pemandangan mengerikan ini cukup menurunkan tensi keberanianku. Kami menyaksikan ayah dalam posisi duduk bersandar meregang nyawa dengan mulut berbuih. 

Di tangan sebelah kiri memegang sebuah botol kecil yang menjadi jalannya untuk mengakhiri hidup di dunia ini. Sementara ibu dan adikku masih meratap pilu, aku berjalan perlahan-lahan bersama dengan ketiganya menuju meja kerja ayah. Aku melirik secari kertas yang bertuliskan'untuk Edgardo' di meja kerja ayahku. Aku meraih kertas itu lalu membaca tulisan yang tercetak di atas surat wasiat.

Nak, tolong jaga baik-baik ibu dan adikmu ya. Ayah mau pergi.

tertanda,

Ayahmu---Fran.

Aku menggeleng tak percaya dengan apa yang dituliskan ayahku. Benarkah ini ditulis oleh ayahku? Kalau memang benar ini tulisan ayahku, apa, apa yang mendasarinya melakukan tindakan sebodoh ini. 

Ayah yang selalu terlihat tegar dan selalu berkata kuat menjalani hidup, tak lebih dari manusia lemah dan munafik yang mengingkari kata-kata dari mulutnya sendiri. Lututku kembali melemah. Aku tak kuat menahan kenyataan sekaligus beban tubuhku. Tangisku pecah di ruang pribadi ayahku.Aku menangis sejadi-jadinya meratapi kehilangan ayah untuk selama-lamanya.

***

Aku buru-buru mengusap tetes air mata yang jatuh tanpa kusadari. Kulihat pemilik rumah sudah menampakkan diri di hadapanku.

"Ngapain kamu di depan rumah saya?! Mau mencuri ya?!" tuding lelaki paruh baya pemilik rumah besar itu.

"E-e...ti-tidak Pak. Kebetulan saya numpang lewat saja dan tak sengaja berhenti di depan rumah Bapak," sangkalku.

"Awas ya kalau kamu mau macem-macem! Saya lapor kamu ke polisi!" ancam lelaki itu sambil berpaling meninggalkanku. Aku hanya mengangguk tanggung lalu cepat-cepat pergi dari sana.

Setelah kematian ayah, barulah aku tahu kalau ayah juga punya utangupah pegawai perusahaan garmen dan pabrik susunya sebesar 3 miliar. Belum lagi membayar uang denda akibat korupsi ayahku. Terpaksa keluargaku menggadaikan pabrik dan rumah untuk membayar itu semua. Ibu yang punya sedikit uang di tabungan memutuskan membawa kami ke desa, membangun rumah kecil, tempat kami tinggal saat ini.

Tapi bukan berarti bebanku hilang begitu saja. Karena keadaan ekonomi kami yang morat-marit, aku terpaksa mengubur impianku dalam-dalam untuk berkuliah karena keterbatasan biaya. Ibuku bahkan sampai membuka kedai kopi sederhana untuk biaya sekolah adikku. Ibu berkata bahwa adikku, Sisca, harus bersekolah sampai tamat SMA.Untuk mewujudkan apa yang diinginkan ibu, aku melamar kerja sebagai pekerja di sebuah toko kelontong meskipun bayaran yang kuterima tidak seberapa bahkan untuk lepas makan selama dua minggu.

***

Hidup seakan belum puas memberikanku variasi cobaan. Mereka terus berdatangan tanpa menunggu apakah aku sudah siap menghadapinya atau belum. Sudah tiga hari ibu mengalami malaria. Ia masih terbaring lemah di atas ranjang berselimut merah tebal. Gigi atas dan bawah bergetar-getar, menimbulkan suara gemelutuk. Suhu badannya cukup tinggi hingga membuatku khawatir kalau kondisinya bisa saja semakin memburuk.

Di samping ranjang ibu, aku tertunduk lesu.Menjaganya apabila dirinya perlu bantuanku. Aku membenamkan diri sambil menangis dalam diam. Ibu yang baru terbangun dari tidurnya, mendengar suara tangis tertahan. Dan ia yakin kalau itu berasal dari suara putranya.

"Apakah itu suara tangisanmu, Nak?"

Begitu ibu menyadari suara tangisku, aku buru-buru mengusap air mataku lalu menengok ke arah ibu. "Tidak, Ma, tidak. Itu bukan suaraku."

"Mama tahu kamu pasti sedih melihat keadaan Mama saat ini ditambah lagi dengan keadaan kita yang seperti ini. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Mama pasti akan sembuh. Mama berterimakasih dengan obat yang kamu beli, Nak. Itu sudah lebih dari cukup." hibur Ibuku. Matanya terlihat sayu. Terlalu sayu. Mungkin mulutnya berkata kalau dia akan segera sembuh. Tapi bahasa tubuhnya tak memunjukkan perubahan signifikan.

Aku akan mengupayakan kesembuhan Mama. Aku akan membawanya ke rumah sakit. Kalau dia sembuh, pasti Mama akan kembali berjualan dan bisa membiayai sekolah Sisca tapi itulah masalah. Kami tidak punya uang untuk berobat. Aku harus dapat uang banyak darimana?

Begitu lama aku berkutat dengan pikiranku sendiri, ada satu sisi membisikkan sesuatu dekat di telingaku.

Kau tahu lelaki lajang tua yang tinggal di rumah mewah itu? Kenapa kau tidak coba mengambil hartanya? Hartanya tak hanya cukup biaya berobat ibumu tak cukup untuk memenuhi kebutuhanmu, kawan. Lagipula kau bisa sekalian membalaskan dendammu padanya atas perbuataannya yang selalu melecehkan keluargamu ya kan?

Ada benarnya juga yang dikatakannya. Aku pun sudah lama memendam dendam pada lelaki lajang tua itu. Mungkin Tuhan sedang memberikanku kesempatan untuk membalaskan apa yang sudah dilakukannya padaku. Dan aku sudah tahu bagaimana cara untuk membalaskan itu semua.

***

Aku mengamati sebentar keadaan ruang tamu. Tidak ada satu langkah kaki terlihat di sana. Suasana gelap gulita. Aku bisa keluar lebih leluasa karena jam dinding menunjukkan pukul 00.30. 

Aku mengendap-endap menjauh dari rumah. Kulihat kondisi rumah di sekitarku. Banyak rumah sudah mematikan lampu dalam. Menandakan mereka sudah tidur. Tapi begitu aku melanjutkan langkah, kulihat pos kamling dijaga dua orang lelaki paruh baya. Mereka berdua tengah serius main catur. Tanpa berpikir lama-lama aku memutar jalan menuju daerah hutan untuk menghindari kemungkinan kalau aku akan dipergoki.

Meskipun keadaan hutan begitu remang, tidak membuat nyaliku menciut. Malah ini semakin menumbuhkan semangatku untuk sampai ke rumah mewah itu. 

Satu setengah kilometer kutempuh jalan berumput dan gelap, aku tiba di depan rumah targetku. Sebelum memanjat pagar, kedua bola mataku mengitari keadaan sekitar. Kulihat seekor anjing Herder tengah tertidur. Aku membatasi pergerakanku lalu menarik pelatuk pistol, mengeker kepala anjing itu. Ketika anjing itu akan bangun, ia sudah tergeletak di atas tanah dengan kepala berlumuran darah.

Aku menyiapkan ancang-ancang untuk melompat. Kedua kakiku telah mendarat sempurna di atas tanah. Kini aku harus berhati-hati mengatur langkah kakiku. Sepertinya Dewi Fortuna sedang menyertai aksiku ini. Salah satu jendela rumah ini tidak terkunci rapat. Agak kutarik sedikit dan akhirnya terbuka. Aku diam-diam menyelinap ke dalam ruang tamu. Ruangan tamu begitu gelap akan tetapi lampu di salah satu kamar di lantai dasar menyala. Aku yakin kalau pemilik rumah belum tidur.

Aku harus berhati-hati, ucapku dalam hati. Akan tetapi di situlah awal bencana. Karena suasana ruang tamu begitu gelap, tanganku tak sengaja menyenggol guci porselen hingga membuat guci itu terbelah berkeping-keping. Sontak aku ikut terkejut. Kamar tidur si pemilik rumah segera terbuka.

Si lelaki menekan sakelar lampu. Lampu pijar berpendar terang. Ia berjalan menuju sumber suara guci pecah itu lalu diamatinya secara seksama. Tapi disadarinya aku sudah berdiri di belakang sambil menodongkan pucuk pistolku pada kepalanya.

"Selamat malam, Pak," sapaku padanya.

"Mau apa kau kemari?! Mau maling ya?!" tanyanya penuh kewas-wasan.

"Aku ke sini mau minta hartamu sedikit saja untuk biaya berobat ibuku. Boleh?"

"Tidak! Biarkan saja ibumu mati! Dasar miskin! Anak koruptor kelas kakap!" Caciannya begitu panas di telinga dan di hatiku.Melihatku yang agak lengah, si lelaki lajang tua buru-buru berlari menjauhiku. Mungkin ia ke kamarnya untuk melindungi hartanya.

"Dasar orang serakah!" Aku membidik pistolku di kepala bagian belakang. Dalam dua kali tembakan, ia sudah roboh bersimbah darah. Begitupasti kalau ia sudah tak bernyawa, aku melangkah menuju kamar guna mengambil harta-harta yang dia simpan di sana.

Dalam tempo 30 menit, aku sudah keluar dari rumah itu. Namun hampir lepas jantungku ketika ada dua orang pemuda tanggung tak sengaja melihat aksiku melompat pagar.

 "Maling!" Ketika salah satu dari mereka memekik, aku cepat-cepat berlari meninggalkan merekamenuju hutan. Sebenarnya aku bisa saja menembak mereka akan tetapi aku sudah terlambat menyadarinya. Kutambahkan kecepatanku berlari walau terkadang kakiku tersandung batu dan hampir goyah, yang terpenting jangan sampai tertangkap oleh mereka. 

Untungnya aku memegang kunci cadangan rumah. Dengan serba gelagapan, aku membuka engsel rumah. Kamar ibu dan adikku masih gelap. Menandakan kalau mereka sudah terlelap. Tanpa menukarkan pakaianku, aku langsung melompat ke arah ranjang reot lalu menundungi diri dengan selimut hijau.

***

Walau kejadian tadi malam membuat dadaku berdebar-debar, aku mencoba bersikap biasa. Aku memakai baju dinasku untuk segera pergi bekerja. Tapi ketika aku akan menaruh dompet ke dalam saku celana, air wajahku berubah dratis. Aku tak melihat dompetku berada di kantong celana jins yang kukenakan tadi malam.

Apa mungkin... jatuh?Aduh bisa gawat kalau sampai mereka dapatkan itu! Argh! Aku terus merutuki kemalanganku. Aku tak bisa membayangkan kalau sampai aku berurusan dengan polisi.

"Kak... kakak kenapa?" tanya Sisca lembut.

Begitu ditegur adikku aku langsung berubah sikap. "Eh eng-enggak apa-apa. Kakak cuman lagi sakit gigi aja." Adikku mengangguk pelan mendengar alasan yang kubuat.

"Kak, kakak semalam dengar ya ada ribut-ribut di luar? Kayaknya warga teriak-teriak ada maling gitu?" tanya Sisca padaku yang sedang mengunyah nasi.

"Hmm, enggak. Kakak enggak dengar apa-apa kok," balasku sambil tetap berkonsentrasi pada nasi kunyahanku.

"Kak, kakak---" tak mau adikku bertanya macam-macam, aku menyela, "aku sudah kenyang. Kakak pergi kerja dulu ya, Dik. Bilang sama Mama." Aku bangkit dari kursi lalu berpaling dari adikku. Adikku benar-benar tak mengerti atau mungkin dia merasa ada sesuatu tak beres dengan kakaknya.

Aku melangkah dengan biasa menuju jalan raya. Ketika akan menuju ke rumah besar itu, aku melihat kerumunan warga dan dua mobil polisi memadati halaman depan rumah itu. Aku buru-buru mempercepat langkah kakiku. Tak mau kalau sampai orang-orang yang ada di sana bertanya padaku.

***

Awan langit mulai berurai menjadi lebih tepis. Membiaskan warna orange yang menjadi ciri khas senja. Aku melirik arloji yang baru saja kubeli menunjukkan pukul 17.02. Di tangan sebelah kiri, aku menenteng plastik putih berisi obat herbal Cina. Harga obat ini berkisar dua ratus ribu. Uang hasil curianku lebih dari cukup untuk membeli obat-obatan Ibu. Bahkan dengan uang itu, aku membeli dua stel kemeja lengan panjang, dua stel celana jins, gel rambut dan parfum bermerek.

Sesampainya di rumah, bola mataku membeliak. Tiga orang pria berseragam polisi sedang berada di ruang tamu. Aku berjalan pelan-pelan sambil bertanya dengan sopan.

"A.. ada perlu apa ya, Bapak-Bapak datang ke sini?"

 "Apa betul dompet yang kami pegang milik Anda?" tanya seorang polisi berwajah halus sambil memperlihatkan dompet itu padaku.

 "I-itu kan dompet saya? Bapak bisa dapat darimana dompet itu?" tanyaku seolah aku merasa benar-benar kehilangan dompet.

"Dompet ini kami temukan di hutan yang berada di Barat desa ini tidak jauh dari rumah besar yang terkena kasus perampokan dan pembunuhan."

"Maksud Bapak-bapak di sini apa ya? Saya jadi enggak ngerti deh," elakku pada mereka.

"Sebaiknya Bapak jelaskan dompet ini di kantor polisi." Salah seorang polisi sudah meletakkan borgol di pergelangan tangan sebelah kanan. Aku menggeleng tak percaya.

"Tunggu dulu, Pak. Jangan bawa pergi saya dulu. Izinkan saya menemui Ibu saya. Saya ingin memberikan obat ini padanya. Kalau Bapak ragu, Bapak-bapak bisa menemani saya ke kamar Ibu saya." Dua polisi di kanan dan kiriku menatap satu sama lain. Mereka berdua ikut mengangguk sambil mengantarkanku ke kamar ibu.

Aku menekan gagang pintu kemudian kudorong pelan. Kulihat ibu memandangku iba dan seolah tak percaya. "Ibu yakin kamu bukan pembunuhnya kan? Pasti kamu tidak bersalah dan akan pulang lagi ke rumah kan, Nak?"

Aku tidak bisa menutupi kesedihan melihat raut wajah Ibu. Serasa ingin mengatakan kalau aku tidak membunuh si pria lajang tua itu tapi sedalam apapun kututupi atau sebaik apapun aku berdusta, suatu saat akan ketahuan juga.

"Ibu... kalaupun aku tidak kembali, aku harap Ibu dan Sisca bisa tegar dan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa pada keluarga kita." Begitu mengucapkan kalimat terakhir, kedua polisi itu menggiringku keluar dari kamar ibu lalu memborgol kedua tanganku ke belakang.

***

Di sinilah aku sekarang. Di sebuah ruangan yang dibatasi teralis besi yang mengasingkanku dari keluarga dan duniaku. Namun aku tidak sendirian di dalam sini. 

Aku bersama seorang lelaki yang seumuran denganku dan sering kuajak berbincang-bincang. Namanya Jhonson. Dia sudah mendekam di penjara  selama tiga tahun.

Ia bercerita padaku kalau dirinya divonis selama lima tahun penjara akibat mencuri tiga potong roti untuk makanan kedua adiknya. Ia sama sepertiku. Ia berasal dari keluarga orang miskin. Tak punya uang untuk menyewa pengacara agar hukumannya bisa dikurangi dan terpaksa menjalani hukuman sesuai putusan vonis hakim agung.

Ketika aku sedang berbicara dengan Jhonson, aku melihat dua orang polisi menuju ruangan penjaraku sambil membuka , "Bersiaplah. Hari ini merupakan pembacaan putusan vonismu olehhakim agung." Saat polisi mengatakan hal itu padaku, jujur aku merasa degdegan bercampur dengan khawatir. 

Kudengar cerita dari Jhonson, mereka yang terlibat kasus pembunuhan paling lama menjalani hukuman 10 tahun penjara. Aku berdoa dalam hati semoga putusan vonis hakim bisa lebih ringan. Jikalau aku dipenjara sampai selama itu, siapa yang akan menafkahi Ibu dan adikku? Siapa yang akan menjaga mereka? Aku berharap Tuhan masih berbaik hati padaku.

Dua puluh lima menit perjalanan menuju gedung pengadilan. Kedua kakiku sudah melangkah menuju ruang pesakitan tempat para hakim dan jaksa agung akan menjatuhi hukumanku. Aku melihat ibu dan adikku sudah berada di barisan di belakang kursi yang akan segera diduduki.

"Dengan menimbang keputusan majelis hakim bahwa terdakwa Edgardo terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana dan perampokan pada saudara Filipi Kons, maka terdakwa dijatuhi hukuman mati di kursi listrik. Terdakwa akan dieksekusi pada tanggal 26 Juni. Demikianlah pembacaan hasil putusan vonis hakim agung." 

Hakim agung mengetuk palu tiga kali menandakan hukumanku telah sah diberlakukan. Kedua mataku mendelik, bibirku bergetar begitu mendengar putusan vonisku. Aku menggeleng tak percaya. Seberapa parahkah kejahatanku sampai aku harus menerima hukuman itu? Aku menoleh ke kiri, melihat ibu dan adikku menangis tersedu-sedu. Aku pun tidak bisa berbuat banyak untuk menghentikan semua ini.

***

Dua minggu berlalu sudah. Aku sudah lama mendekam di sel khusus. Tibalah saatnya aku akan menjalani eksekusiku. Selama dua minggu itu pula aku tak henti-henti merutuki kemalanganku. Aku membayangkan ketika aku mendengar vonis hukuman mati, aku merasa bukan hanya bulu romaku merinding, bahkan pembuluh darah dan darah di dalamnya berdesir lebih kencang. Detak jantungku semakin tak karuan. Lewat kertas dan pena aku menuliskan salam perpisahan kepada ibu. Kepada adikku. Kepada seluruh orang yang menyayangiku. Aku harus pergi meninggalkan mereka semua. Aku kehabisan kata-katadan daya untuk menuliskan betapa malangnya hidupku.

Puncaknya aku mencampakkan buku dan pulpenku. Aku menangis sejadinya. Dalam hatiku, mama, aku tidak mau mati. Aku tidak mau berakhir tragis di atas kursi listrik. Hidupku masih panjang. Seandainya aku tahu kalau hidupku akan seperti ini, aku berharap aku tidak pernah dilahirkan sebelumnya. Jika aku tidak dilahirkan, tidak mungkin aku menghadapi persoalan pelik seperti ini. Tapi... tapi semuanya sudah terjadi.

Ketika aku masih larut dalam tangis penyesalanku, aku melihat sebuah bayangan sedang menuju selku. Bayangan kecil itu akhirnya berwujud seorang lelaki berbadan kekar mengenakan sebuah topeng yang terlihat bagian mata, hidung dan mulutnya saja. Oh tidak! Itu pasti algojo yang akan membawaku ke kursi listrik. Siapapun, tolong selamatkan aku! Kursi listrik itu sungguh-sungguh menakutkan!

Aku tak bisa menahan rasa takutku sampai-sampai aku memohon pada algojo di sampingku, "Tidakkah kau kasihan melihat seorang lelaki miskin mati konyol hanya karena persoalan sepele. Aku hanya terlibat pembunuhan biasa. Mereka terlalu berlebihan menjatuhkan hukuman mati padaku."

Akan tetapi algojo di sampingku tak merespon perkataanku. Ia hanya menatap kosong padaku. Namun aku belum mau menyerah, "tolong lepaskan aku. Aku cuma lelaki miskin dari keluarga orang miskin. Tolong lepaskan aku dari hukuman mengerikan ini!"

Sang algojo sudah mendudukkanku di atas kursi listrik. Kedua tanganku sudah terikat. Begitu juga dengan kedua kakiku. Di hadapanku terlihat beberapa orang sedang menanti eksekusiku. Tak ada yang bisa kuharapkan lagi. Aku berdoa dalam hati. Memohon mukjizat Tuhan membebaskanku.

Kutunggu-tunggu begitu lama, aku tidak melihat atau merasakan apapun sesaat setelah aku berdoa. Yang ada malah sang aljogo sudah selesai dengan urusan teknis kursi listrik lalu bertanya padaku, "ada kata terakhir yang mau kau sampaikan?"

Dalam hitungan beberapa detik, aku belum bisa berkata apa-apa. Aku menatap sekelilingku, pada kerumunan orang mengamati prosesi hukuman matiku. Tapi kedua bola mataku tertuju pada seorang gadis berambut panjang melewati bahu. Aku sempat tak berkedip melihatnya. Ia tidak sendirian. Lelaki berperawakan tinggi dan tampan menyunggingkan senyum mengejek padaku sambil merangkul bahunya.

Tidak kusangka-sangka, Monna, gadis yang telah berpacaran denganku selama dua tahun sampai hati mengkhianatiku. Dia pernah bilang sesulit apapun kondisiku, dia tidak akan pernah meninggalkanku. Dan kini apa yang kulihat di depan mataku, hanyalah sebuah omong kosong. Apa dia pikir dia bisa menyingkirkanku?! Tak sadarkah kalau yang dia lakukan bagaikan meludah ke mata mataku! Oh mungkin saja dia sengaja membiarkanku mati dan menyaksikan detik-detik sakratul maut menjemput nyawaku?! Oh tidak!Tidak bisa dibiarkan! Aku harus pergi! Aku harus keluar dari sini!

Percuma. Percuma aku menggoyang-goyangkan kedua tangan dan kedua kakiku.Percuma saja aku memaki-maki mereka. Tak ada yang bisa kulakukan selain pasrah. Air mataku meluruh pelan-pelan tapi pasti. Aku menolehkan kepala ke arah algojo di sampingku lalu menggeleng dua kali, memberitahu kalau tidak ada kata-kata terakhir apapun.

Arus listirk mulai menyerbu aliran darahku. Aku tak sempat menerka-nerka berapa ratus volt tegangan listrik menusuk jaringan otak, paru-paru dan jantungku. Mereka seakan-akan membakar darahku.Tubuhku tidak kuat lagi menahan tegangan listrik yang mulai memanggang jaringan lemak dari tungkai kaki sampai pipi. Hidung mencium bebauan seperti bau daging gosong.

Beginilah akhir hidupku. Benar-benar tidak ada artinya. Semua orang yang berada di sana bisa menyaksikan bagaimana tragisnya kematianku. Benar-benar tidak ada artinya. Tapi ke mana ibuku? Ke mana adikku? 

***

Wajah gadis berusia 14 tahun itu tergeletak begitu saja di atas meja makan. Buih putih memenuhi mulut. Hela napasnya tak lagi berembus dari hidung maupun dari mulutnya. Tak jauh dari sana, seorang wanita paruh bayamenggantung di seutas tali berbentuk lingkaran. Kedua kakinya mengambang di udara. Kursi plastik di belakang tubuhnya jadi saksi bisu bagaimana dia membualatkan tekada mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu.

Maafkan aku, Fran. Aku tidak bisa menjaga mereka. Aku dan putrimu akan menyusulmu di sana.

Tinta dalam pulpen hitam menjelma menjadi kalimat yang memperlihatkan kalau itu menjadi surat terakhir sebelum ia mengakhiri kehidupannya sendiri.

Selesai.

Note:

Cerita ini ditulis dan dikembangkan berdasarkan tafsiran saya mengenai makna lagu Queen 'Bohemian Rhapsody'. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun