Lalu tante Rosa menambahkan, "Kalian berdua tunjukkan di mana kamar Zahra, oh bukan Zahra tapi Sasky." Mereka mengangguk seraya memapahku. Aku membuang muka, menghindari tatapan mata mereka.
      Aku benci mereka. Mereka menjerumuskanku ke dalam dunia hitam ini selama empat tahun. Dan hal ini mengubah seluruh pandangan hidupku mengenai kelahiran yakni---aku dilahirkan untuk memuaskan nafsu kebinatangan para lelaki. Dan merekalah penguasa atas tubuh indah ini. Aku tak bisa menolak sebab tubuh ini sudah seharusnya tercipta sebagai alat pemuas mereka.
*
      Aku menyudahi lamunan kelam masa laluku. Aku bangkit berdiri sambil mengawasi keadaan sekitar. Aku tidak melihat tanda-tanda kehadiran tiga preman itu. pelan-pelan aku keluar dari persembunyian. Kemudian aku mengambil pisau kecil terselip di balik pinggang.
      "Maafkan Ibu, Nak. Tapi Ibu tidak mau membuat kelahiranmu semata-mata hanya sebagai penonton atas penderitaan Ibu. Sekali lagi, maafkan Ibu," Aku menoleh ke langit sesaat lalu menutup mata. Mulai kuturunkan menuju perutku.
      "Hentikan, Zahra!" Aku tersontak kaget ketika suara laki-laki mencoba menghentikan perbuatanku.
      " Ayah... Ibu..." Kedua orangtuaku mempercepat kaki mereka, ingin melepas rindu yang bisa saja membludak di dada. Air mata menggenang di kelopak mata.
      "Maafkan Zahra, Bu, Pak. Maafkan Zahra," ucapku bercampur suara tangis. Ibu dan ayah hanya menggeleng sambil tetap memelukku lalu kuarahkan pandanganku pada lelaki di depanku---Ben Kasio.
      "Ben, apa yang kau lakukan di sini?"
      "Mencarimu dan melamarmu. Aku ingin menikah denganmu. Menjadi ayah untuk janin yang kau kandung saat ini, Zahra/"
      "Kau tidak sedang mabuk atau dalam kondisi mengonsumi narkoba, bukan? Lagipula aku ini cuma seorang pelacur. Aku tak pantas denganmu. Ketiga preman itu---"