Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dunia Baru Untuk Wanita Pendosa

7 Oktober 2017   16:41 Diperbarui: 11 Oktober 2017   12:52 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku terus berlari. Meski beban perut buncit ini menghalangi gerakku. Tapi itu tidak masalah. Aku masih punya semangat yang bisa diubah menjadi energi. Lagipula, aku berlari menyelamatkan calon anak manusia yang ada di rahimku. Dan untuk itu, aku harus mengerahkan seluruh daya yang kupunya.

*

            Aku sudah mengenal kedua orang tuaku sejak kukumandangkan tangisku sampai ke daun telinga mereka. Mereka mengulum senyum bahagia dibalut dengan air mata. Kupikir mereka senang menyambut kelahiranku di dunia ini. Ingin rasanya aku bergabung dengan mereka meneteskan air mata yang sama. Namun kulitku masih merah dan lengket. Dan kata-kata yang bisa kukeluarkan hanyalah tangisan.

            Aku diasuh dalam keluarga serba berkecukupan. Dan aku bagaikan putri mahkota yang dimanjakan dengan segala harta dan kemewahan. Ayah ibu adalah raja dan ratunya. Mungkin mereka melakukan hal ini karena aku adalah anugerah pertama yang diberikan Tuhan dalam keluarga kecil ini. Itu sebabnya mereka mau melakukan apa saja agar hatiku senang.

            Tapi lama kelamaan aku merasa ada sesuatu yang kurang. Meski kebutuhan materi aku dapatkan dari mereka, aku merasakan ruang hampa dalam lubuk hati yang tidak bisa diisi oleh meteri duniawi. Perasaan ini menuntutku untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dan lebih tapi aku sendiri tidak tahu apa sesuatu yang bisa mengisi ruang itu.

            Umurku semakin bertambah dan tepat hari ini aku berusia 16 tahun. Yang kurang dari keluarga ini adalah kedua orang tuaku selalu sibuk dengan bisnis mereka sendiri. Hal ini sudah terlihat sejak aku berusia 12 tahun. Perlahan-lahan, jam kebersamaan di antara kami bertiga mulai berkurang. Ketika aku mengajak ayah dan ibu untuk makan bersama, mereka berdalih dengan alasan bisnis. Ayahku bekerja di sebuah perusahaan tekstil di bagian pemasaran dan ibu membuka bisnis salon.

            Ya aku tahu kalau apa yang mereka lakukan demi kebahagianku. Demi memenuhi kebutuhan materi. Tapi sejujurnya aku merindukan saat-saat aku bisa satu meja dengan kedua orang tuaku. Aku rindu saat aku bisa tertawa ceria menikmati wahana roller coaster yang menguji andrenalin. Aku rindu saat kedua orang tuaku memuji prestasi juara kelas yang kuraih dengan belajar giat setiap malam.

            Maaf ya, Zahra. Ayah sedang sibuk menghitung pengeluaran perusahaan. Nanti saja ya, ujar ayah saat aku mendapatkan juara umum sewaktu aku duduk di bangku SMP kelas 7.

            Ibu, aku terpilih jadi ketua koordinator OSIS bidang kesenian, seruku pada ibu.

            Wah selamat ya, Nak. Sukses ya. Itulah reaksi ibuku ketika aku memberitahu padanya kalau aku sudah jadi salah satu pengurus OSIS di kelas X SMA namun konsentrasi ibu tetap tertuju pada peralatan salon yang sedang dibereskannya.

            I hate this situation. They're always busy with their fuckin' bussiness, rutuk batinku sambil memukul-mukul tembok. Air mataku meluruh pasti seiring dengan kesedihan hatiku. Aku tidak tahu mau mengadu pada siapa lagi. Aku mengambil ponsel yang tergeletak di ranjang tidur lalu mencari narahubung yang bisa kutelepon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun