Ia berbalik ke belakang dan mengarahkan tali itu tepat di atas lilin yang menyala. Pijaran api mulai menjilat serat-serat taling tambang. Untuk mempercepatnya, Donni merenggangkan dan menarik kuat talinya agar cepat putus.
Di sana, ibu Hesty sudah menenggakkan pijakan kakinya yang sempat goyah. Ibu Hesty kembali menajamkan sorot matanya yang bengis dan tidak mengenal rasa ampun. Lutut Lina bergetar. Ia tak mampu menahan ketakutannya.
“Cepatlah Donni!” dengus Lina. Tinggal satu meter lagi, ibu Hesty bisa saja mengakhiri kesempatan hidupnya dalam sekejap.
“Pergilah kau ke neraka!”
Donni merentangkan kedua tangan boneka dan mengarahkan badan boneka itu tepat di bagian dadanya. Tinggal beberapa senti lagi, ujung mata pisau yang lancip itu, akan menancap kening Donni.
Donni melepaskan boneka yang dipegangnya. Pisau dapur berhasilmenembus bagian dada boneka. Ibu Hesty membelakkan bola matanya yang memerah. Ia barusan menyadari perbuatan yang dilakukannya.
“Tidak...TIIIIDDDAAAAAKKKKKK!!!” ibu Hesty mengaum keras bak raja hutan yang kehilangan mangsanya. Dia menjambak rambutnya sendiri, merasakan panas luar biasa membakar tubuhnya. Ia kehilangan kendali tubuhnya. Mondar-mandir tak tentu arah. Ibu Hesty terus menepuk-nepuk tubuhnya yang serasa tebakar hingga membuatnya berguling-guling seraya menggelepar bagai ikan yang kehabisan napas.
“Ayo kita pergi dari sini, Lina.” Donni menarik lengan Lina, meninggalkan ibu Hesty yang masih meraung-raung dengan suara yang hampir serak .
Ketika mereka keluar, Heru dan beberapa polisi yang mengikutinya dari belakang telah berhasil menemukan Donni dan Lina. Keduanya letih dengan tetesan peluh yang mengalir lambat dari dahi mereka.
“Kalian tak apa-apa?” tanya Heru. Mereka mengangguk pelan, merespon pertanyaan Heru.
“Polisi sudah menemukan rumah ini setelah beberapa saat kami mendengar suara jeritan wanita, tapi di mana ibu Hesty?”