Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tumbal Arwah Jelangkung - 10

12 Maret 2016   18:25 Diperbarui: 12 Maret 2016   18:49 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Rasa nyeri hebat masih berdenyut di kepalanya. Donni sudah sadar. Namun, ada hal janggal di tempatnya berada sekarang. Tempat ini beraroma kemenyan dan wewangian yang belum pernah dibauinya. Hanya terdapat satu lubang ventilasi yang berada di atas jendela yang memiliki dua tirai. Dan satu hal yang pasti—tempat ini begitu remang. Bisa dibilang hampir gelap. Donni melihat seorang wanita berjubah hitam sedang menghampirinya.

“Kau sudah bangun?”

Kedua bola mata Donni mendelik.  Ia kenal betul, suara wanita yang membelakanginya saat ini. Wanita itu sedang berjongkok menyalakan susunan pentagram lilin hitam di atas tubuh seorang wanita yang terbaring tak berdaya.

“Lina? Mau kau apakan dia?!” pekik Donni. Ia tak bisa menggerakkan badannya leluasa karena dililit tali tambang dan lengannya dirantai.

“Entah apa yang membuat kalian terlambat menyadari, bahwa semua ini adalah ulahku,” Wanita itu berbalik badan, menghadapkan diri ke arah Donni. Ia tak percaya tubuh Lina sudah ditaburi dengan kembang tujuh rupa dan di atas dadanya sebuah boneka perempuan ditaruh dengan posisi duduk.

“Arwah anakku ingin sekali meminta tubuh yang masih hidup sebagai pengganti tubuhnya yang sudah mati. Ia merasa, tubuh temanmu ini, cocok sekali untuknya,” tutur ibu Hesty. Tangan kirinya memegang sebuah pisau dapur.

Donni tak mengerti sama sekali apa yang dikatakan oleh gurunya. Sialnya, ia juga tak bisa menemukan menemukan kancing peniti yang biasanya ia dilekatkan di saku belakang celana jeans-nya.

“Kau sepertinya tidak mengerti dengan penjelasanku. Baik, akan kujelaskan semua. Aku bukanlah orang yang suka mengajar murid-murid seperti kebanyakan guru, meskipun aku adalah sarjana pendidikan matematika. Aku lebih suka dengan menjahit dan membuat mainan seperti boneka.”

“Lalu, kenapa kau bisa menjadi guru di sekolah kami? Ada apa dengan keluargamu?” Donni sudah menemukan letak kancing peniti itu. Pelan-pelan ditariknya hingga peniti itu berada di genggaman tangannya.

“Anakku meninggal dunia karena dibunuhteman-temannya. Teman-teman sebayanya iri padanya karena anakku merupakan murid terpintar meskipun dia punya cacat di bagian matanya. Hatiku hancur mengetahui putriku satu-satunya dibunuh ditambah lagi suamiku meminta cerai. Aku memutuskan pindah rumah ke komplek Grand Morista. Ya, untuk memenuhi kebutuhan hidupku, aku mempergunakan ijazahku untuk melamar sebagai guru honor di sekolahmu tercinta.”

Ia tak terlalu memperhatikan apa yang dikatakan gurunya. Kedua tangannya masih sibuk membentuk lubang kunci yang pas pada gembok yang membelenggunya.

“Oh ya, walaupun sudah berlalu dua tahun, rasa sakit karena kehilangan putri kesayanganku membuatku makin merana. Apalagi, dia selalu datang ke mimpiku dengan wajah penuh kemalangan dan kesedihan. Aku selalu menangis jika membayangkan hal itu.”

“Suatu hari, aku anakku datang lagi dalam mimpiku. Ia menyuruhku, menjahit sebuah boneka sebagai media pemanggilan arwah sekaligus penyegelan jiwa-jiwa yang ditumbalkan. Semakin banyak jiwa yang ditumbalkan, akan membuatnya semakin kuat menempati raga yang dipilihnya. Sekarang, dia sedang merasuk ke dalam raga anak ini. Dan jika anakku sudah berhasil mengambil alih raganya, roh perempuan ini akan tersegel dalam bonekauntuk selamanya, hahaha!” ibu Hesty tertawa jahat, menyadari rencananya akan segera terwujud.

Donni mengetahui bahaya besar akan menimpa nyawa temannya. Donni berteriak sekuat tenaga membangunkan Lina, tapi ia masih saja tertidur. Kelopak matanya mengatup erat seolah dia berada dalam kondisi tidur yang begitu dalam.

Kondisi Lina tak jauh beda dengan Donni. Ia tak bisa berkutik di tangan makhluk itu. Makhluk itu mencekik kuat lehernya hingga membuatnya napasnya tersendat-sendat.

“Pergilah! Ini tubuhku!” hardikan makhluk itu meremangkan bulu kuduk Lina.

Makhluk itu menatap geram ke arah Lina. Ia menyunggingkan seringai lebar menyeramkan yang membuat pertahanan Lina kian mengendur.

“Menyerahlah, maka aku akan membiarkan kau hidup dan kau bisa melihat teman-temanmu.”

Kini, untuk mengangkat jari-jarinya ia sudah sangat kesulitan. Ia mulai merasakan urat nadi di lehernya mati rasa. Terlintas di pikirannya untuk menyerah dan membiarkan makhluk itu menguasai raganya.

“LINA! LINA! KAU DENGAR AKU? BANGUNLAH LINA! KAU TAKKAN MUNGKIN KALAH!” pekik Donni sekuat-kuatnya berharap Lina bisa mendengarnya. Ia melihat gumpalan asap hitam mengepul dari rahang mulut Lina yang menganga.

Lina bisa mendengarnya. Sekilas, teriakan itu menyebut-nyebut namanya—itu Donni—ya Donni. Ia berusaha mengerak-gerakkan satu jarinya tapi makhluk itu semakin menguatkan cengkramannya di leher Lina.

“Lina!”

“Bagus anakku, tinggal sedikit lagi maka kau akan mendapatkan tubuh yang kau inginkan!” raut wajah ibu Hesty semakin sumringah. Ia melebarkan senyumnya seiring membesarnya gumpalan asap yang keluar dari mulut Lina.

“Apakah ini akhir dari hidupku?” gumam Lina. Jika dia masih diberikan kesempatan hidup oleh sang Mahakuasa, ia ingin menyatakan perasaannya pada Donni. Menghabiskan hari-harinya bersama Donni. Ia belajar sungguh-sungguh untuk mencapai cita-citanya sebagai seorang sutradara film. Lina berharap Shanti akan menjadi partnernya dalam film-film buatannya nanti.

“Berani-beraninya kau menyakiti sahabatku, makhluk jelek!” suara itu sontak membangunkan Lina dari dunia khayalannya. Bondan, Indra dan Shanti bersiap di belakang Lina, menolongnya supaya terbebas dari jeratan makhluk terkutuk itu.

“Kami datang untuk menolongmu.” ujar Bondan seraya tersenyum kecil. Sungguh tak diduganya, mereka bertiga datang di saat dirinya hampir menyerahkan nyawa pada kematian.

Makhluk itu melepaskan cekikannya pada leher Lina. Makhluk itu mengambil sikap was-was dengan kehadiran ketiga temannya yang datang tanpa sepengetahuannya.

“Ayo kita lakukan!” Lina bergabung bersama ketiga temannya. Ia hanya mengangguk pelan, dengan napas agak sesak. Mereka bersama-sama mengangkat kedua telapak tangan, seolah mengumpulkan kekuatan untuk menghempaskan makhluk itu keluar dari tubuh Lina.

“Akkkhhh!” makhluk itu melolong keras ketika kekuatan yang dikumpulkan di telapak tangan mereka, berhasil menghempas tubuh makhluk itu keluar dari raga Lina.

“Sekarang, dia sudah pergi. Waktunya bangun, Lina. Donni sangat membutuhkan pertolonganmu.” tutur Shanti lembut. Ia tak dapat menahan air matanya bisa melihat sahabat dalam kondisi seperti ini—teduh dan menyejukkan hati.

“Kami harus pergi..., selamat tinggal.”Lina bak patung, memandangi tubuh halus teman-temannya yang pelan-pelan menipis. Air matanya terus meleleh mengiringi perjumpaan singkat di alam pikirannya. Terakhir kali, ia hanya melihat tangan mereka yang melambai lambat. Kini, tinggallah Lina sendiri.

“Selamat tinggal...” gumam Lina.

Gumpalan kabut hitam yang menyelimuti boneka, lenyap seketika. Ibu Hesty tercengang sementara sosok makhluk yang merasuk tubuh Lina, terhempas keluar dan bertelut membelakangi ibu Hesty.

“Apa yang terjadi?” Donni juga terheran-heran. Gembok yang mengunci tangannya sudah terbuka namun tali tambang masih mengikat kencang tubuhnya. Donni melihat Lina sudah mulai mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali.

“A-a-apa yang terjadi anakku?” tanya ibu Hesty terbata-bata. Bola mata sosok perempuan itu merah menyala. Pandangannya liar seakan-akan ingin menerkam apa yang berada di hadapannya. Deru nafasnya begitu berat. Ia menggeram dengan suara tercekat.

“Iiiibbbuuuuuuu!!!” sosok itu meraung hebat. Air mukanya menjadi lebih beringas dan kejam. Kali ini, sosok itu benar-benar tampak mengerikan. Ia mengubah dirinya menjadi segumpal kabut hitam lalu menebus tubuh kasar ibu Hesty.

Perubahan mengerikan tampak nyata dalam diri ibu Hesty. Wajahnya yang sepucat tisu, tertutupi rambut panjangnya. Sorot matanya tajam dan mematikan. Kornea matanya memutih. Rahangnya kaku menegang. Genggamannya mengencang pada pisau dapur yang dipegangnya.

“Ma...ti!” Bola matanya tertuju pada Donni yang masih terikat tali tambang.

Ibu Hesty mempercepat langkahnya menuju Donni. Tak seperti ibu Hesty yang dilihatnya sewaktu menyambutnya di ruang tamu. Sosok itu benar-benar sudah mengambil alih tubuh dan pikiran ibu Hesty. Dan sekarang, dari mulutnya, dia mengeluarkan desisan-desisan halus bercampur dengan ceracau yang tak jelas.

“Ini gawat!” Donni tergesa-gesa melonggarkan ikatan tali yang menjerat tubuhnya. Sebelum tali yang menjeratnya terlepas, ibu Hesty tiba di hadapannya.

Tali itu tak kunjung lepas. Ibu Hesty menyeringai penuh kemenangan. Kedua tangannya sudah menggenggam pisau yang terhunus di depan mata Donni. Ia hanya mendelik lebar. Arah mata pisau yang berkilap itu menukik, siap menghunjam keningnya.

Dalam posisi setengah berdiri, Lina berhasil menangkis serangan ibu Hesty dengan menolakkan kedua telapak tangannya mengenai dada ibu Hesty. Tubuh ibu Hesty terpelanting jauh. Bagian belakang kepalanya mengenai dinding beton. Meskipun dirinya sedang dirasuki, ibu Hesty masih merasakan tempurung kepalanya bergetar. Pandangannya berkunang-kunang. Tapi, sosok itu terus memaksanya untuk terus bangkit.

“Cepat Donni. Selagi ada lilin yang menyala, bakar tali yang mengikatmu.” seru Lina. Ia masih berdiri menghadang ibu Hesty yang sudah bisa mengendalikan keseimbangan tubuhnya.

Donni menyeret-nyeret perutnya ke arah lilin yang menyala. Api yang berkobar liar, cukup menghanguskan tali tambang yang tak terlalu tebal pilinannya.

Ia berbalik ke belakang dan mengarahkan tali itu tepat di atas lilin yang menyala. Pijaran api mulai menjilat serat-serat taling tambang. Untuk mempercepatnya, Donni merenggangkan dan menarik kuat talinya agar cepat putus.

Di sana, ibu Hesty sudah menenggakkan pijakan kakinya yang sempat goyah. Ibu Hesty kembali menajamkan sorot matanya yang bengis dan tidak mengenal rasa ampun. Lutut Lina bergetar. Ia tak mampu menahan ketakutannya.

“Cepatlah Donni!” dengus Lina. Tinggal satu meter lagi, ibu Hesty bisa saja mengakhiri kesempatan hidupnya dalam sekejap.

“Pergilah kau ke neraka!”

Donni merentangkan kedua tangan boneka dan mengarahkan badan boneka itu tepat di bagian dadanya. Tinggal beberapa senti lagi, ujung mata pisau yang lancip itu, akan menancap kening Donni.

Donni melepaskan boneka yang dipegangnya. Pisau dapur berhasilmenembus bagian dada boneka. Ibu Hesty membelakkan bola matanya yang memerah. Ia barusan menyadari perbuatan yang dilakukannya.

“Tidak...TIIIIDDDAAAAAKKKKKK!!!” ibu Hesty mengaum keras bak raja hutan yang kehilangan mangsanya. Dia menjambak rambutnya sendiri, merasakan panas luar biasa membakar tubuhnya. Ia kehilangan kendali tubuhnya. Mondar-mandir tak tentu arah. Ibu Hesty terus menepuk-nepuk tubuhnya yang serasa tebakar hingga membuatnya berguling-guling seraya menggelepar bagai ikan yang kehabisan napas.

“Ayo kita pergi dari sini, Lina.” Donni menarik lengan Lina, meninggalkan ibu Hesty yang masih meraung-raung dengan suara yang hampir serak .

Ketika mereka keluar, Heru dan beberapa polisi yang mengikutinya dari belakang telah berhasil menemukan Donni dan Lina. Keduanya letih dengan tetesan peluh yang mengalir lambat dari dahi mereka.

“Kalian tak apa-apa?” tanya Heru. Mereka mengangguk pelan, merespon pertanyaan Heru.

“Polisi sudah menemukan rumah ini setelah beberapa saat kami mendengar suara jeritan wanita, tapi di mana ibu Hesty?”

“Dia berada di dalam.” pungkas Donni seraya mengarahkan jempolnya ke gudang bekas yang terdapat di dalam rumah ini.

Usai diberitahu oleh Donni, pihak kepolisian langsung menyerbu ruangan yang ditunjukkan Donni. Mereka masih bersiaga dengan pistol yang mengacung di depan mata mereka.

“Aku senang semua ini sudah berakhir.” ucap Heru lega. Ia memapah kedua temannya yang kehabisan tenaga, menuju halaman rumah ibu Hesty.

Di luar sana, ayah dan ibu Lina sudah menantikan kehadiran mereka. Rafly, adiknya Lina, berdiri di samping ibunya. Ibunya berlari terlebih dahulu, menyongsong kedatangan anaknya dengan sebuah pelukan hangat.

“Lina, syukurlah kamu selamat, nak!” ujar ibunya penuh haru dan air mata kebahagian. Lina juga tak mampu menahan titik air mata yang berkumpul di ujung pelupuk matanya.

“Ini semua berkat pertolongan mereka, bu.” kepala Lina berputar ke arah Donni dan Heru.

“Terimakasih banyak, ya nak.”

Kedua lelaki itu mengangguk kepala seraya mengulas senyum kecil dari belahan bibir mereka. Mereka semua beranjak pergi dari sana menaiki Toyota yang sedari tadi parkir di halaman rumah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun