Ia yang kukenal hebat berpidato di depan massa, menggebu-gebu, pandai memainkan emosi, sedih bahagia pendengar ada di ujung lidahnya. Kini terkulai lemas setiap kali mataku menatap wajahnya, tanpa keceriaan, tanpa kata-kata yang berapi-api.
Ia pula yang menjadi inspirasi dan teladanku dalam tulis menulis. Dulu ia kerap menghiasi rubrik berbagai media dengan karya romantisnya. Kini tak pernah lagi kulihat karyanya. Sekonyong-konyong jemarinya menganggur dan lebih banyak murung. Pikiran kritisnya pun sudah tumpul.
Siang ini aku bersamanya menyeruput kopi hitam, ia tumpahkan segalanya. Bahwa dunia literasinya yang mundur seribu langkah tak lain dan tak bukan, pemicunya karena dibunuh bayangan masa lalu.
Bayangan masa lalunya yang penuh duri hadir kembali menyapa, membuatnya tertawan sulit menemukan jalan keluar. Sosok-sosok yang pernah ia lukai datang membayang merengek di wajahnya. Dan sulit memberi kata maaf. Bahkan ia pun tak bisa memaafkan dirinya sendiri.
Aku membatin, lalu bergumam;
Jangan remehkan bayangan masa lalu. Ia bisa membunuh nama besar dan kegemilangan seseorang.
(Catatan langit, 19/03/19)