Mohon tunggu...
Arman Sagan
Arman Sagan Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pengamat Kehidupan, Abdi Negara, Petugas Pemasyarakatan

Karena ku ingin menulis maka aku menyimpan kata, menaruhnya rapih di almari benak, tuk kelak menumpahkannya lewat aksara yang berbaris, ber'shaf, berlapis, dan kuharap bermakna.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Greenland", Siapa kita di Depan Kematian?

25 November 2020   21:36 Diperbarui: 25 November 2020   22:01 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Greenland | rottentomatoes.com

Dari segi cerita, film yang naskahnya ditulis oleh Chris Sparling ini, tidak terlalu istimewa, dengan plot yang cenderung standar, begitu pula akting para pemainnya tergolong biasa walau tidak bisa dibilang jelek. Beberapa adegan malah terlihat seperti pelengkap tidak selaras dengan adegan lain, meski tidak menganggu alur film.

Walau begitu secara keseluruhan penyajian film terbilang apik, penonton dibawa ke dalam nuansa tegang dan atmosfer ketidakpastian yang telah dibangun sejak adegan pertama dan terus berlanjut hingga adegan terakhir, meski diselingi dengan beberapa dialog yang terkesan keluar dari tema utama, tapi perlu untuk memperkuat cerita. Dengan special efek yang tidak terlalu banyak tapi cukup untuk mendukung cerita, film ini benar-benar fokus pada kisah orang biasa dalam situasi yang sangat luar biasa.

Meskipun alurnya terasa lambat, tapi drama yang disuguhkan cukup menyentuh dan meninggalkan kesan yang berbeda dengan film-film bencana lainnya.

Cerita film fokus pada perjuangan sebuah keluarga yang dipilih oleh pemerintah untuk dievakuasi namun akhirnya ditolak karena kondisi medis sang anak yang mengidap diabetes. Terpisah di tengah kepanikan massa, keluarga ini berjuang untuk kembali bersatu, dan menyelamatkan diri dari musibah kepunahan massal.

Berbeda dengan film bencana lainnya, Greenland lebih banyak menampilkan sisi kemanusiaan dari cara orang dalam menghadapi bencana alam terbesar dalam hidup mereka. Bagaimana sifat terburuk manusia yang melakukan segala cara untuk bertahan hidup, berbanding terbalik dengan sifat beberapa orang yang rela menghabiskan sisa hidup mereka demi menjamin keselamatan yang lain.

Perkembangan karakter tokoh utama tak lepas dari dinamika sifat manusia, dari seorang yang hanya peduli pada keselamatan keluarganya hingga sampai pada titik terendah dalam hidupnya, menjadi seorang yang rela menembus lalapan api demi menyelamatkan orang asing yang terperangkap dalam mobil terbakar.

Film ini berkali-kali menampilkan respon seseorang dalam menghadapi akhir hidupnya, ada yang panik, marah, kecewa, ada yang berusaha sekuat tenaga untuk bertahan, tapi ada pula sekelompok orang yang memilih untuk berpesta di atap gedung sambil mengolok-olok komet yang akan mengambil nyawa mereka. 

Di sisi lain ada kisah para prajurit yang dengan sukarela membantu tugas evakuasi padahal mereka dan keluarganya tidak ikut diselamatkan. Ada pula tokoh yang memilih untuk beraktivitas seperti biasa, menghabiskan detik-detik terakhir, di rumah tempat mendiang istrinya meninggal.

Epilog

"Temanku bilang, ketika kita mati, kilasan-kilasan hidup kita akan melintas di depan mata, saya pikir akan lebih baik bila kita melihatnya ketika masih hidup, dengan itu kita bisa melihat semua kenangan manis yang telah dialami dan berbahagia"

Serpihan dialog dari tokoh Nathan seorang anak pengidap diabetes tipe 1, berusia 7 tahun yang harus menghadapi kenyataan pahit bahwa Dunia yang dikenalnya akan berakhir, namun ia berhasil menemukan sisi positifnya, dan bahagia bisa bersama orang-orang yang ia sayangi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun