Andru memegang sepasang sepatu contoh yang telah diperbaiki oleh ayahnya, maksudnya supaya calon pelanggan mengetahui hasil kerja mereka. Tapi nyata-nya tak banyak orang yang peduli akan hal itu.
Jika merasa lelah, anak beranak itu biasa duduk di tepi trotoar, pinggiran toko, atau di mana saja yang sekiranya tidak mengganggu orang lain. Kali ini mereka melepas lelah di Pasar Kemuning, Kota Baru.
Banuri duduk di bawah pohon sambil menjulurkan kakinya yang lelah. Sementara itu Andru berbaring di paha ayahnya sambil memejamkan mata. Bocah malang itu sangat kelelahan setelah tadi pagi hanya sarapan sepotong roti yang sudah hampir kadaluarsa.
Sesekali Andru membuka mata sambil membaca spanduk-spanduk di tepi jalan yang banyak bertuliskan kata "merdeka".
"Merdeka!" seru Andru sambil mengepalkan tangan.
Banuri tersenyum kecut. Ia mengelus rambut anaknya yang bertekstur lurus itu, mirip dengan tipe rambut mendiang istrinya.
Tak lama kemudian, Andru beranjak dan menawarkan jasa jahit sepatu kepada orang yang lewat, Banuri semakin terluka hatinya. Ia merasa tak pantas menjadi ayah, karena tak bisa memberikan hal yang selayaknya.
"Jahit sepatu ... jahit sepatu, Pak!" seru Andru kepada seorang pria yang lewat di hadapan-nya. Namun orang tersebut melengos saja, seperti tak sudi didekati seorang anak yang berpakaian lusuh.
Begitulah, sebagian insan yang berdomisili di Kota Pontianak barangkali menjadi cerminan bagaimana sikap apatis dipraktekkan di tengah masyarakat yang mengeklaim masih menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan budaya.
"Sudahlah, Nak." Banuri langsung memeluk anak satu-satunya itu. Ia menahan air mata.
"Kenapa, Ayah?"