Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Seseorang yang bermimpi berbuat sesuatu yang luar biasa untuk masyarakat dan negara-nya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Merdeka

25 Agustus 2022   15:48 Diperbarui: 25 Agustus 2022   15:55 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Pexels.com

Andru memegang sepasang sepatu contoh yang telah diperbaiki oleh ayahnya, maksudnya supaya calon pelanggan mengetahui hasil kerja mereka. Tapi nyata-nya tak banyak orang yang peduli akan hal itu.

Jika merasa lelah, anak beranak itu biasa duduk di tepi trotoar, pinggiran toko, atau di mana saja yang sekiranya tidak mengganggu orang lain. Kali ini mereka melepas lelah di Pasar Kemuning, Kota Baru.

Banuri duduk di bawah pohon sambil menjulurkan kakinya yang lelah. Sementara itu Andru berbaring di paha ayahnya sambil memejamkan mata. Bocah malang itu sangat kelelahan setelah tadi pagi hanya sarapan sepotong roti yang sudah hampir kadaluarsa.

Sesekali Andru membuka mata sambil membaca spanduk-spanduk di tepi jalan yang banyak bertuliskan kata "merdeka".

"Merdeka!" seru Andru sambil mengepalkan tangan.

Banuri tersenyum kecut. Ia mengelus rambut anaknya yang bertekstur lurus itu, mirip dengan tipe rambut mendiang istrinya.

Tak lama kemudian, Andru beranjak dan menawarkan jasa jahit sepatu kepada orang yang lewat, Banuri semakin terluka hatinya. Ia merasa tak pantas menjadi ayah, karena tak bisa memberikan hal yang selayaknya.

"Jahit sepatu ... jahit sepatu, Pak!" seru Andru kepada seorang pria yang lewat di hadapan-nya. Namun orang tersebut melengos saja, seperti tak sudi didekati seorang anak yang berpakaian lusuh.

Begitulah, sebagian insan yang berdomisili di Kota Pontianak barangkali menjadi cerminan bagaimana sikap apatis dipraktekkan di tengah masyarakat yang mengeklaim masih menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan budaya.

"Sudahlah, Nak." Banuri langsung memeluk anak satu-satunya itu. Ia menahan air mata.

"Kenapa, Ayah?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun