Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Seseorang yang bermimpi berbuat sesuatu yang luar biasa untuk masyarakat dan negara-nya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebodohan yang Kita Pelihara Setiap Lebaran

17 Mei 2021   23:00 Diperbarui: 17 Mei 2021   23:19 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Pixabay.com

Saya waktu itu sedang asyik mengunyah rengginang yang ada dalam kaleng Khong Guan. Entah sudah berapa kali saya tertipu, tapi tak pernah jera. Tiba-tiba dari dekat pintu masuk, seorang teman, sebut saja namanya Bang Sat, bertanya sesuatu kepada sepasang suami-istri yang kalau tidak salah sudah enam tahun menikah.

"Masih belum dapat anak juga kalian?" tanya si Bang Sat kepada Rubi dan Ainun dengan suara keras.

Tampak pasangan itu bingung akan bersikap seperti apa. Saya perhatikan baik-baik wajahnya. Marah dan malu berbaur jadi satu. Mereka tersenyum kecut saja.

"Masih belum rezeki, Bung," jawab sang suami dengan suara lirih.

***

Kali ini, di lain kesempatan, saya sedang bertarung dengan pedasnya rendang daging sapi. Keringat sebesar biji jagung menetes dari dahi saya. Siapa pun yang membuatnya pastilah seorang ahli boga nomor wahid.

Kalau tidak salah, pada suapan ke-sepuluh, Bang Sat melakukan manuver lagi. "Kerja di mana kau sekarang, Jun?"

Junaidi langsung salah tingkah. Saya tahu persis, pria jangkung itu adalah orang yang pendiam. Tak pernah macam-macam sepanjang saya sepuluh tahun mengenalnya. Sayang dua tahun terakhir, ia terpaksa menganggur karena virus Corona yang menyerang sendi-sendi perekonomian di Kota Pontianak.

Mendiamkan kezaliman macam itu, menurut saya, adalah dosa besar. Maka segera saya letakkan sepiring nasi rendang yang belum habis itu. Belum sempat Junaidi menjawab pertanyaan, saya segera menarik batang hidungnya keluar rumah.

"Jun, bisakah kau memodifikasi beberapa bagian sepeda motorku ini?" tanya saya sambil meraih lengan bajunya dengan agak paksa. Awalnya Junaidi heran, tapi perlahan ia mengetahui apa maksudnya. Ia kemudian mencengkeram, bahu saya.

"Terima kasih," kata Junaidi. Tangannya masih memegang bahu saya dengan sangat kencang ... sangat kencang.

***

Sudah dua mangkuk bakso saya habiskan. Awalnya hanya saya makan satu mangkok, tapi ketika tuan rumah mempersilakan untuk menambah, tak saya sia-siakan kesempatan itu.

Saya kemudian memperhatikan keadaan sekitar, semua rekan sedang khusyuk bertarung dengan makanan masing-masing. Tapi saya mulai khawatir ketika Bang Sat telah mengosongkan piringnya. Ia mulai lirik sana-sini. Setiap kali beradu pandang, ia selalu buang muka. Sepertinya ia menganggap saya musuh politik atau sejenisnya.

Akhirnya dia menemukan mangsa yang tepat. Gawat!

"Hun, kapan kau menikah? Lama-lama pacaran untuk apa? Zina?"

Mihun tersedak, sebutir bakso yang belum sempat digigit melompat keluar dari mulutnya. Pria brewok itu segera minum, namun tersedak lagi. Sistem motoriknya seakan terganggu.

Bang Sat kali ini sudah keterlaluan. Rekan-rekan lain akhirnya bereaksi.

"Memangnya kau sudah menikah, Sat?"

"Kau punya pacar-kah? Tak ada? Berarti kau tak laku!"

"Bantulah si Mihun bayar tenda untuk acara resepsi nanti, Sat!"

Saya sudah tak tahu lagi siapa saja yang kemudian memberondong si Bang Sat dengan pertanyaan. Hari itu ia bunuh diri. Paling penting adalah dia harus mengingat pengalaman buruk itu baik-baik.

Mampus kau, Sat!

***

Lebaran dewasa ini, setidaknya di lingkungan pergaulan saya, mengalami banyak pergeseran makna.

Seharusnya lebaran itu tentang rekonsiliasi, cinta, dan datangnya pertolongan. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: "Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezeki-nya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia bersilaturahmi." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)

Memang tidak selalu terjadi, tapi lebaran di masa sekarang dihiasi tingkah dari orang-orang yang ingin pamer, merendahkan orang lain, dan sejenisnya.

Biasanya orang-orang seperti itu menjalani puasa yang hanya lapar dan haus saja. Tidak meresapi makna. Makanya setelah lebaran tak mendapatkan apa-apa kecuali rasa rakus yang ia tahan selama satu bulan lamanya. Ironis.

Saya yang lahir dan hidup di Kota Pontianak, sejak saya paham apa artinya simpati dan empati, pada akhirnya menyadari bahwa sebagian orang di sini memang secara sengaja atau pun tidak telah memelihara "budaya kebodohan" sebagai pembuka pembicaraan, perkenalan, dan sejenisnya. Celakanya, biasanya pertanyaan yang berpotensi menyakiti itu adalah sebuah gerbang bagi canda-tawa.

Penyebab utama, dalam sudut pandang saya tentunya, adalah kurangnya literasi khususnya tentang agama.

Apa pun nama kitab suci Anda, saya yakin tidak ada "BAB Cara Menyakiti Orang Lain" dalam lembar pertama sampai terakhirnya.

Anggaplah Anda tidak punya agama. Tapi sudah seharusnya kita berprinsip: "Kesedihan orang lain tidak boleh berasal dari tawa saya". Sederhana, bukan?

Belajar bahasa asing itu sangat keren. Namun ketika lebaran, kita hanya perlu satu: bahasa cinta.

----

Dicky Armando, S.E. - Pontianak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun