Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Seseorang yang bermimpi berbuat sesuatu yang luar biasa untuk masyarakat dan negara-nya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sistem Zonasi Versi Bapak Saya

24 Juni 2019   14:59 Diperbarui: 25 Juni 2019   06:00 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Pixabay.com

Masih dalam suasana kisruh sistem zonasi sekolah di sana-sini termasuk di media sosial. Banyak perspektif dikemukakan, banyak yang setuju, begitu pula sebaliknya.

Secara tidak langsung, bapak saya---seorang pensiunan PNS bidang infrastruktur jalan dan jembatan---sepertinya setuju dengan sistem tersebut. Ia telah melakukannya bertahun-tahun lalu kepada saya dalam hal pemilihan sekolah.

Saat masuk SD, ia memilih SD Muhammadiyah (dua) Pontianak sebagai tempat saya mengenyam pendidikan. Alasannya: anaknya yang nakal ini harus mendapatkan banyak pemahaman agama Islam. Kedua, jarak tempuh yang dekat dari kantornya, kurang lebih seratus dua puluh meter, satu menit berjalan kaki.

Pada zaman itu, SD Muhammadiyah (dua) juga tidak bisa dibilang murah dalam hal biaya, tapi barangkali---dalam pikiran bapak saya---jarak yang dekat sebenarnya merupakan penghematan, baik materi dan keselamatan. Singkat cerita, mudah beliau menjemput, dan saya tidak harus menunggu terlalu lama seperti teman-teman lain.

Zaman SMP, ia mendaftarkan saya ke SMP Negeri (tiga) Pontianak yang merupakan sekolah favorit. Padahal ada sekolah negeri yang lebih dekat dari rumah. Lagi-lagi alasannya masih seputar jarak tempuh penjemputan yang tidak jauh. Saya pun kebetulan memenuhi syarat masuk ke sekolah itu.

Saya sendiri bukan tipe siswa yang gandrung dengan sekolah-sekolah favorit, karena sudah lama doktrin bapak melekat di kepala saya: "Kalau kamu jadi pintar, bukan karena guru atau sekolahnya, tapi karena hasil kerja keras! Kalau kamu jadi bego, bukan salah guru atau sekolahnya, tapi salah sendiri malas belajar!"

Doktrin itu cukup masuk akal, tidak perlu alasan tertentu untuk mendaftar sekolah dalam level SD sampai SMA.

SMP Negeri (tiga) Pontianak, juga tidak terlalu jauh dari kantor bapak, beliau masih di kantor lama seperti saat saya SD. Jaraknya sekitar satu kilometer, atau kurang lebih empat belas menit berjalan kaki.

Sampai di zaman SMA, bapak saya sudah pensiun. Ia banyak beraktivitas di rumah. SMA Negeri (empat) Pontianak adalah tempat saya bersekolah berikutnya. Jaraknya kurang lebih dua ratus lima puluh meter, atau empat menit berjalan kaki. Anda pasti sudah tahu siapa yang mendaftarkan saya di sini. Benar, bapak saya-lah pelakunya.

Alasannya kali ini berbeda, bukan jarak tempuh, melainkan menghemat biaya bensin. Saya disuruhnya jalan kaki saja, dan tidak ada penjemputan dari orang tua.

Sebelumnya, saat lulus dari SMP, saya merengek minta dibelikan sepeda motor. Biasalah, terpengaruh kawan-kawan lain yang sudah punya. Bagi yang membaca, sikap seperti ini tidak boleh dicontoh (saya bahkan baru sadar ternyata perilaku ini kurang ajar), orang tua kita susah payah cari uang, jangan dipersulit dengan permintaan yang aneh-aneh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun