Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suara Perempuan yang Terkelupas

17 Oktober 2017   23:51 Diperbarui: 18 Oktober 2017   00:53 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oka Rusmini. Dok. The Jakarta Post.

Gurat kekesalan itu masih tergambar jelas di wajah I Luh Satriyani. Suara yang sedikit memekik dan kepalan tangan yang sekilas saya tangkap selama dialog, cukup menggambarkan ada sesuatu yang sebenarnya lama terpendam. Perempuan yang terlalu dikekang tatanan adat pasti akan teriak. Bagaimanapun mereka adalah manusia, sama seperti laki-laki yang selalu diagungkan di tanah leluhurnya. Persinggungan saya dengan dunia Bali sudah berlangsung cukup lama. Hubungan intim itu dimulai ketika saya memutuskan untuk kuliah di Universitas Udayana.

Empat tahun delapan bulan adalah waktu yang cukup untuk mengenal, bagaimana sebenarnya Bali bersama pewarisnya menjalani keseharian. Unik karena di tengah modernisasi mereka tetap tekun menjalankan tradisi. Menarik karena di antara penguasa patriarki, ternyata masih ada perempuan Bali yang mau tersenyum ayu ketika berpapasan dengan yang lain.

Adalah sebuah fakta jika sampai sekarang masyarakat Bali masih terbagi-bagi ke dalam stratifikasi sosial yang disebut kasta. Namun belakangan, ketika saya membaca sejumlah karya milik orang Bali sebenarnya tatanan semacam itu telah dikritisi oleh pewarisnya sendiri. I Luh Satriani hanya salah satu contoh generasi yang ingin lepas dari jerat tradisi. Selain itu ada Oka Rusmini, seorang pengarang perempuan keturunan Bali dan lama hidup di ibukota. Melalui karya-karyanya senantiasa mengkritisi adat yang dianggapnya banyak yang harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat Bali yang berubah seiring proses modernisasi.

Melalui kajiannya berjudul Persepsi Pengarang Atas Dunia Sosial Bali,Ida Bagus Putra Manuaba mengatakan bahwa pengarang Bali menulis adat memang berangkat dari ketidakpuasannya atas adat Bali, karena mereka semua mengalami bagaimana diskriminasi dilakukan. Lahirnya karya-karya yang memanfaatkan adat ini, sebagai respons pengarang untuk mengkritik adat yang dinilainya masih belum memberi keadilan bagi semua orang dalam adat Bali.

Menanggalkan Kebangsawanan

Ketika kuliah di Bali saya seringkali membeli buku-buku bergenre sastra. Di antara sekian koleksi yang ada, Oka Rusmini adalah satu dari sekian pengarang yang karyanya saya koleksi. Dulu saya pernah bertemu dengannya di acara Dapur Olah Kreatif, namun tidak untuk berbincang secara mendalam. Statusnya yang memang dari kalangan griya dan berkasta brahmana, tidak lantas membuatnya canggung bergaul. Bahkan melalui karyanya, secara tegas ia ingin melebur dan dipandang seperti perempuan pada umunya. Keinginan ini terbaca dalam diri Telaga di Tarian Bumi.

Darah bangsawan merupakan darah yang sangat diagungkan oleh masyarakat Bali, terutama para kaum bangsawan itu sendiri. Tetapi tidak bagi
Telaga, sebagai salah satu kaum bangsawan, ia tidak pernah mengagungkan darah bangsawan yang dimilikinya. Telaga tidak ingin hidupnya sengsara hanya karena terlalu banyak aturan kebangsawanan yang harus di patuhinya. 

Telaga ingin hidup bahagia seperti yang diinginkannya, walaupun ia harus berkorban dengan meninggalkan darah bangsawannya akibat pernikahannya dengan Wayan Sasmitha yang berasal dari kasta sudra, kasta terendah dalam budaya Bali. Telaga pun harus meninggalkan nama Ida Ayudan menyandang Luhdi depan namanya, dan melakukan upacara patiwangiuntuk menanggalkan kebangsawanannya.

Kumpulan cerpen
Kumpulan cerpen
 Sebagaimana tatanan sosial yang saban hari ditemui Oka Rusmini. Di sana perempuan seringkali dihadapkan pada persoalan yang cukup rumit. Tak terkecuali situasi yang tergambar dalam Sagra. Tokoh Cenana boleh dan berhak tinggal di griya, tempat keluarga besar brahmana tinggal, namun haknya sebagai keluarga dicabut sehingga tidak bisa memakai gelar Ida Ayu.

Meski memberontak atas tatanan sosial yang timpang, di lain sisi Oka Rusmini mengakui bahwa bagaimanapn juga dirinya adalah perempuan keturunan Bali. Ini ia ungkapkan dalam epilog karyanya bertajuk Saiban: "Bagi saya sebagai pengarang yang berlumur beragam ritual agama dan budaya Bali yang membentuk perwujudan saya menjadi lebih lengkap. Saiban mengingatkan saya pada ibu yang bersedia memasak untuk anak-anak dan keluarganya".

Ketegasan Perempuan

Suara lantang tidak hanya milik Luh Satriyani dan Oka Rusmini semata. Minggu lalu, saya kembali menemukan ketegasan sikap perempuan. Ketika penjaringan bakal calon ketua Peradah Komisariat Kecamatan Muncar, muncul beberapa sosok perempuan dan salah satunya adalah Riska. Gadis kelahiran Banyuwangi ini didorong oleh kawan-kawannya untuk berani maju ke depan. Suasana di belakang sempat ribut akan sebuah perdebatan.

Riska
Riska
Riska awalnya ngotot tidak mau karena beberapa alasan. Namun karena desakan situasi ia pun tidak bisa memilih. Tetap maju meskipun sendiri. "Mas, jujur kenapa saya terang-terangan menolak. Itu karena saya paling tidak bisa disuruh ngomongdi depan banyak orang. Saya lebih baik berada di belakang dan langsung terjun ke lapangan," begitulah pengakuannya kepada saya kemudian.

Pada kepengurusan yang lalu (2014-2017), Riska duduk sebagai sekretaris mendampingi  Srisca Sukaningtyas dalam bertugas. Ketegasannya dalam bersikap membuat saya bangga. Sikap itu sangat diperlukan untuk memberikan sebuah negasi. Karena sampai sekarang, ungkapan surga nunut neraka katut (pergi ke surga hanya numpang, namun ke neraka pastilah ikut) masih membelenggu kehidupan sosial perempuan Jawa masa kini.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun