Beberapa waktu terakhir pemerintah Indonesia membuat gebrakan besar dengan mencairkan dana likuiditas sebesar Rp200 triliun ke lima bank milik negara yaitu Mandiri, BNI, BRI, BTN, dan BSI.
Langkah ini langsung menjadi sorotan publik. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, gejolak rupiah, dan kekhawatiran perlambatan pertumbuhan, keputusan tersebut dianggap sebagai strategi berani untuk menjaga daya tahan ekonomi nasional.
Namun ketika kita lihat lebih dekat, kebijakan ini bukan sekadar urusan angka dan laporan keuangan. Di balik itu, ada cerita tentang kepercayaan, relasi sosial, dan arah politik ekonomi yang saling bertautan.
Uang Negara dan Jaringan Kepercayaan
Menurut Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, suntikan dana ini merupakan langkah strategis untuk memperkuat perbankan dan mendorong kredit ke sektor riil.
"Kemarin saya janji akan menambahkan Rp200 triliun ke perbankan. Ini sudah diputuskan. Siang ini disalurkan dan sore sudah masuk," ujar Purbaya (Antara, 2025).
Tujuannya jelas, untuk mempercepat penyaluran kredit agar dana negara yang mengendap bisa kembali berputar di sektor produktif, terutama bagi UMKM, infrastruktur, dan pertanian.
Namun, menariknya, dana ini lebih banyak mengalir ke bank-bank milik negara ketimbang bank swasta. Pilihan ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi di Indonesia sering kali tidak sepenuhnya netral, ia melekat pada jaringan institusi dan kepercayaan yang sudah lama terbentuk antara negara dan lembaga keuangannya.
Tantangan di Lapangan: Dana Ada, Tapi Tak Semua Terserap
Meski jumlahnya fantastis, realisasinya belum maksimal. Bank Tabungan Negara (BTN), misalnya, baru menyerap sekitar 40 persen dari Rp25 triliun yang dialokasikan.
Purbaya bahkan memberi peringatan tegas:
"Kalau dia enggak bisa serap ya kita akan pindahin dalam waktu dekat," ujarnya (IndoPremier, 2025).