Pemerintah juga membuka opsi untuk menyalurkan dana ke bank daerah agar manfaatnya bisa dirasakan masyarakat di luar kota besar (Reuters, 2025).
Namun, di lapangan, distribusi kredit tidak selalu mudah. Banyak pelaku usaha kecil yang masih sulit mengakses pembiayaan karena kendala jaminan dan literasi finansial. Maka meskipun uang tersedia, kepercayaan dan koneksi sosial tetap jadi faktor penting agar dana benar-benar sampai ke masyarakat.Â
Antara Efisiensi dan Keadilan
Kebijakan ini mengandung dilema klasik: di satu sisi efisien karena lewat bank besar, namun di sisi lain berisiko menimbulkan ketimpangan.Â
Jika dana besar hanya berputar di lembaga besar dan tidak menyentuh koperasi atau usaha kecil, maka manfaat ekonomi menjadi timpang. Risiko lain adalah munculnya moral hazard, ketika bank merasa selalu "diselamatkan" oleh negara dan menjadi kurang disiplin dalam manajemen risiko.Â
Pemerintah telah menegaskan agar dana ini tidak digunakan untuk membeli surat utang atau investasi pasif, tetapi disalurkan langsung ke sektor produktif yang menciptakan lapangan kerja (Reuters, 2025). Namun, tanpa pengawasan ketat, niat baik bisa kehilangan arah.
Narasi dan Kepercayaan PublikDalam situasi ekonomi yang sensitif, masyarakat tidak hanya menunggu kebijakan yang efektif, mereka juga menunggu cerita yang meyakinkan.
Pemerintah berusaha membingkai langkah ini sebagai bentuk "stabilisator ekonomi" dan "penopang rakyat." Namun, legitimasi publik tidak lahir dari kata-kata saja. Ia tumbuh dari transparansi, hasil nyata, dan rasa keadilan.
Jika masyarakat melihat bahwa dana benar-benar sampai ke petani, pelaku UMKM, dan industri lokal, maka kepercayaan sosial terhadap pemerintah akan menguat. Tapi jika dana hanya berputar di lingkaran elite keuangan, maka skeptisisme bisa tumbuh dan kepercayaan itu perlahan terkikis.
Uang Tidak Berdiri Sendiri
Kisah Rp200 triliun ini menunjukkan bahwa ekonomi tidak pernah bekerja sendirian. Ia hidup di tengah jaringan sosial, kepercayaan, dan nilai yang saling menempel.