Mohon tunggu...
Ariya Hadi Paula
Ariya Hadi Paula Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Fiksionis, jurnalis independen dan kolomnis sosial humaniora.

Alumni IISIP Jakarta, pernah bekerja di Tabloid Paron, Power, Gossip majalah sportif dan PT Virgo Putra Film sebagai desainer grafis dan artistik serta menjadi jurnalis untuk Harian Dialog, Tabloid Jihad dan majalah Birokrasi. Saat ini aktif sebagai Koordinator masyarakat peduli dakwah & peradaban (MPDP) Al Madania dan pengurus Yayasan Cahaya Kuntum Bangsa (YCKB).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mahabbah

31 Desember 2023   15:04 Diperbarui: 31 Desember 2023   15:09 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pandangan perempuan berusia  74 tahun itu  segera menerawang jauh menelusuri masa lalu.  Kedua bola matanya mulai berkaca-kaca saat syaraf-syaraf memorabilia di kepalanya menemukan kilasan gambar dan suasana  akhir tahun 1960-an.  Masa-masa puncak krisis ekonomi dan pergolakan politik yang dihiasi aksi demonstrasi mahasiswa  di ujung keruntuhan  kekuasaan Sukarno.  Kemiskinan hebat mendera  keluarga besar sang nenek yang  terdiri dari sembilan bersaudara.   Sawiyah muda, demikian sang nenek mengenalkan dirinya, terpaksa bekerja serabutan  sebagai penjaga toko, menerima jahitan sederhana, hingga membersihkan rumah eks patriat di kawasan Menteng Jakarta Pusat.

 

Sebagai anak perempuan tertua di keluarga, dirinya merasa bertanggung jawab mencari  tambahan biaya  hidup dan makan yang selama ini ditanggung Baba (Bapak) yang bermata pencaharian sebagai  buruh bangunan temporer sekaligus pekebun.

 Soal tanah dan rumah tinggal  bukan persoalan bagi Baba dan keluarga, bahkan satu kebun warisan  di pinggiran kota  atau sebuah rumah besar  yang dikontrakan kepada penyanyi top era 60-an Ade Manuhutu menjad sebuah kebanggaan. Namun kebutuhan makan yang besar di kala krisis  membuat  upah buruh dan hasil berkebun selalu tidak mencukupi kebutuhan  mereka.

Pada masa-masa  bekerja serabutan itulah Sawiyah muda  mengaku jumpa pertama suaminya.  Suatu senja di Bunderan Hotel Presiden (sekarang Plaza Indonesia).  Saat itu  dirinya pulang kerja berjalan kaki dari arah Bunderan Hotel Indonesia menuju Taman Suropati, bersama beberapa rekan seperjalanan asyik bercerita ceria. Tapi tiba-tiba ada seseorang  mencolek punggung kirinya  membuatnya reflek menengok ke kiri, tapi dilihatnya  dua teman di sebelah  masih terus bercakap tanda tidak memanggilnya.

"Mau pulang kemana Non?" tanya seorang lelaki muda secara tiba-tiba di sisi kanannya yang membuat kaget seetengah mati.

Sawiyah muda pun segera menyimpulkan kalau lelaki muda inilah yang telah mencolek punggung kirinya.  Spontan ucapan kesal atas kegenitan  lelaki muda itu  keluar dari mulutnya. Namun yang lebih menjengkelkan, orang iseng itu malah meminta berkenalan sambil mengenalkan dirinya sebagai Djoni anak masa kini. Meski dongkol dan disertai  was-was, Sawiyah muda menerima perkenalan dengan berat hati.

"Waduh, Kakek eh Engkong mudanya nakal juga ya Mak? potong penjaga makam  kian serius mendengarkan cerita sang nenek.

Perempuan tua itu mengangguk sambil tersenyum mengiyakan komentar  penjaga makam,  tapi dia mengungkapkan pertemuan seperti itu di lokasi yang sama hanya terjadi beberapa kali setelahnya mereka tak lagi berjumpa. Sampai beberapa tahun kemudian Sawiyah muda bekerja sebagai staf bagian gizi di Rumah Sakit Cpto Mangukusumo (RSCM) Jakarta Pusat.  Suatu ketika dia diperbantukan merawat  seorang ibu yang tengah mengalami depresi berat di unit layanan kejiwaan.  Telaten dan disiplin  memberi asupan gizi membuat ibu itu membaik  kebugarannya seiring  jiwanya pun mulai tentram stabil.

Tiada disangka sanak famili tunggal dari ibu yang depresi tadi ternyata adalah Djoni, lelaki muda yang suka menggodanya sepulang kerja dulu.

Sang nenek  tertawa sebentar  ketika sampai pada bagian itu,  dirinya muda telah keliru menilai Djoni sebagai pemuda  berandal yang suka mengganggu  anak perawan di jalan.  Ternyata  dia memang bernama asli Paula Djoni dengan ejaan lama dan bekerja  pada sebuah perusahaan importir mesin percetakan di Pasar Baru.  Djoni bekerja untuk  bertahan hidup bersama maminya yaitu ibu yang beberapa pekan terakhir dirawatnya di RSCM.   Djoni menjelaskan bahwa penyebab mami mengalami tekanan berat  setelah  menyadari harta bendanya habis untuk modal dagang suami keduanya. Awalnya ada toko, barang dagangan dan sedikit keuntungan diperlihatkan papi baru Djoni, namun beberapa tahun belakangan semuanya raib termasuk si papi sambung.  Belum lagi kebiasaan buruk mami menghamburkan uang juga tak terkendali. Ujungnya tiada tersisa peninggalan dari papi Djoni, sebaliknya mereka harus tinggal  di kontrakan kecil di pemukiman padat nan kumuh dekat Pasar Jatinegara (Mester).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun