Mohon tunggu...
Ariya Hadi Paula
Ariya Hadi Paula Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Fiksionis, jurnalis independen dan kolomnis sosial humaniora.

Alumni IISIP Jakarta, pernah bekerja di Tabloid Paron, Power, Gossip majalah sportif dan PT Virgo Putra Film sebagai desainer grafis dan artistik serta menjadi jurnalis untuk Harian Dialog, Tabloid Jihad dan majalah Birokrasi. Saat ini aktif sebagai Koordinator masyarakat peduli dakwah & peradaban (MPDP) Al Madania dan pengurus Yayasan Cahaya Kuntum Bangsa (YCKB).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mami Benci Kemerdekaan

17 Agustus 2022   17:16 Diperbarui: 6 September 2023   12:09 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mami Benci Kemerdekaan

By Ariya Al Batawy

Djati negara, 17 Agustus 1955. Matahari pagi menyengat pusat kota Jakarta tempo dulu. Meskipun berstatus metropolitan, namun masih banyak pepohonan rindang menaungi rumah rumah semi permanen disepanjang jalan Kampung Melayu. Hampir pada setiap pekarangan rumah tertancap tiang bendera dari bambu atau kayu kaso sebagai tempat berkibarnya sang merah putih. Termasuk sebuah rumah kecil sederhana dengan bangunan yang mulai menua diberbagai sudutnya.

"Papi Kamu itu tentara Heiho terbaik. Dai Nippon dan tentara Asia Raya yang sudah membantu bangsa ini mempersiapkan kemerdekaannya.  Bukan para pengecut yang ngaku-ngaku pejuang  lalu  menyerang  markas Papi yang memang sudah meletakan senjata!"  ujar seorang perempuan tua sambil  melepaskan sebuah bendera merah putih ukuran 30 x 50 centimeter dari dinding.  Dilepasnya paku-paku kecil pada setiap sudut bendera dengan perlahan serta hati-hati.

Dinding rumah perempuan itu terbuat dari papan-papan yang mulai lapuk, karenanya dia harus ekstra hati-hati supaya  tak gompal.  Bersamaan itu  membayang sosok suaminya yang disebut Papi tengah  mengenakan seragam Heiho lengkap dengan senjata laras panjang dengan bayonet di ujungnya.  Papi adalah pemuda kelahiran Manado yang bergabung dengan pasukan Dai Nippon di bawah pimpinan Jenderal Hitoshi pada tahun 1942.

"Jadi Kamu harus ingat Djoni, Dai Nippon  bukan penjajah!  Mereka yang mengajarkan  anak-anak  supaya  dapat angkat senjata. Mereka juga yang bangkitkan semangat  dan harga diri  sebagai manusia merdeka! Tegas  perempuan berambut panjang yang sepertiganya mulai memutih.  Bendera yang tadi dilepas dari dinding kemudian diikatkan pada  sebatang tongkat kayu setinggi  satu setengah meter lalu diserahkan kepada  anak lelaki kecil yang hanya mengenakan celana pendek.


Mami. Kalau Papi dan  tentara Heiho  baik, kenapa  mereka diusir?" tanya Djoni kecil sambil menegakkan tongkat beserta bendera yang diberikan ibunya.

"Bukan diusir wahai Djoni  Junior.  Satu hari setelah Hiroshima dan Nagasaki  dijatuhkan bom oleh sekutu, Kaisar Jepang memerintahkan semua pasukannya di Asia segera pulang dan menyerahkan  kepemimpinan kepada rakyat setempat," tegas  Mami.

Tapi Mi, teman-teman bilang para pejuang itu merebut kemerdekaan dari Nippon," jawab Djoni kecil sambil mengusap cairan hijau yang mulai keluar dari lubang hidungnya.

"Betul itu. Mereka merebut kemerdekaan yang emang sudah disiapkan Dai Nippon bersama pemuda republik," jawab Mami sambil menuju sebuah bangku kayu kecil dekat pintu masuk.  Walau masih banyak terdapat pohon rindang di sekitar rumah, serta lantai rumah masih tanah merah yang keras dan diratakan, namun suasana hati yang emosional membuat Mami merasa kegerahan.

"Mereka hanya bisa merebut. Mereka tidak sehebat Papi dan Heiho yang baku hantam menghajar kolonial dan mengusir sekutu dari negeri ini!"  sungut Mami setelah duduk di kursi kecil yang mulai reyot.

Mendegar sungutan Mami,  bocah bertubuh kurus pendek pun bersemangat mendekati ibunya.

"Papi hebat ya Mi?" tanya Djoni Junior dengan mata berbinar.

Mami mengangguk sambil tersenyum.

Papi  juga pejuang kemerdekaan ya Mi?" tanya anaknya lagi penuh antusias.

Mami pun mengangguk lagi sambil tersenyum. Tapi kini pandangannya terarah pada wajah anak semata wayangnya. Pandangannya menerawang  ke masa lampau sepuluh tahun yang lalu. Bentuk  wajah, garis alis, ikal rambut serta tatapan sosok lelaki kecil  kini, sangatlah mirip dengan sosok dewasa yang pernah hidup bersamanya  selama  dua tahun sebelum berpisah 17  Agustus 1945.

"Mi, sekarang Papi ada dimana?", tanya Djoni lagi.

Mami pun hanya dapat jawab dengan kata entah.  Sejak kekaisaran Jepang memerintahkan seluruh pasukannya kembali ke negerti matahari terbit, Papi bersama pasukan Heiho berangkat ke Jepang.

"Papi orang Jepang Mi?"

"Bukan," jawab Mami.

"Papi Kamu lahir di Manado dan Mami orang Jakarta asli. Tapi Papi seorang lelaki yang setia dan tahu balas budi. Papi lebih memilih  terus bersama pasukannya, meninggalkan Mami dan Kamu yang baru saja lahir persis di hari ini," ujar Mami dengan wajah sendu.

Teringat olehnya kali pertama sekaligus terakhir pertemuan Papi dengan bayi laki-lakinya.  Jelang fajar, sebelum keberangkatan seluruh komponen Dai Nippon ke Jepang, Papi Djoni menemui Mami Masni yang baru saja melahirkan Djoni kecil  di Wisma Asih Jakarta. Selang beberapa jam kemudian berkumandang yel-yel merdeka di segenap penjuru kota setelah  diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada pukul 10 pagi.

"Mi, sudah Mi. Jangan sedih lagi Mi, ucap Djoni  sambil memeluk ibunya tercinta yang mulai meneteskan air mata."Aku paham Mi, kenapa Mami benci hari kemerdekaan ini,  ucap Djoni lagi sambil mengelap butiran air mata di pipi Mami menggunakan ujung bendera.

Pada saat bersamaan terdengar  sekelompok anak sebaya Djoni menyerukan  pekik merdeka.  Ketika tepat berada di depan pekarangan rumah Djoni dan maminya, mereka kompak memanggil nama putra tentara Heiho.

"Djoni! Pawai yuk! Djoni! Main yuk!" teriak para bocah serempak.  Sebagian anak mengangkat naik turun tongkat dengan bendera merah putih pada ujung atasnya. Sementara sebagian anak memukul-mukul  kentongan atau kaleng bekas minyak goreng curah sehingga menimbulkan suara gegap gempita.

"Mi, boleh Aku  ikut pawai dengan teman-temanku?" tanya Djoni  sambil siap siaga.

Raut wajah Mami segera beruah cerah. Disadarinya kehidupan anaknya yang tanpa kehadiran ayah,  kondisi mereka yang penuh keterbatasan dengan mengandalkan segelintir perhiasan peninggalan suaminya seorang serdadu Jepang.  Mami pun merasa bersalah menampilkan kesedihan pada hari itu.

"Tentu saja boleh Djoni.  Hari ini Mami memang benci kemerdekaan. Tapi hari ini juga Mami bahagia atas hari kelahiramu sayang, ujar Mami sambil menciumi kedua pipi anaknya.

"Hore! Mami  senyum lagi. Merdeka!" teriak Djoni sambil mengangkat tongkat benderanya.

"Kamu memang anak tentara Jepang, tapi Kamu anak merdeka di negeri yang merdeka. Sungguh Mami cinta kemerdekaan anak  yang merdeka. Hanya saja tidak untuk hari ini," gumam Mami setelah Djoni bergabung dengan teman-temannya dan berlalu dari situ.

Lenteng Agung, 18 Muharram 1444H / 17 Agustus 2022M

In memoriam to Paula Djoni (alm.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun