Banyak perusahaan juga masih menganggap proses rekrutmen inklusif itu rumit. Padahal penyesuaian seperti menyediakan tes dalam format cetak besar atau wawancara via online bisa dilakukan dengan biaya yang sangat terjangkau - bahkan Akomodasi yang Layak sudah dijamin dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Sayangnya, hukum sering berhenti sebagai dokumen saja. Implementasinya masih jauh dari kata adil.
Â
Kuota yang Masih Jadi Formalitas
Undang-undang yang sama menetapkan kuota 1% penyandang disabilitas untuk perusahaan swasta, dan 2% untuk instansi pemerintah.
Namun dalam praktiknya, banyak yang mengaku "sulit menemukan kandidat yang sesuai."
Masalahnya bukan karena kami tidak ada.
Kami ada. Tapi kesempatan belum diberikan.
Â
Dari Regulasi ke Realisasi: Apa yang Bisa Dilakukan?
Pemerintah:
* Tegakkan kuota dengan sanksi administratif bagi pelanggar.
* Berikan insentif pajak bagi perusahaan yang merekrut pekerja disabilitas.
* Selenggarakan pelatihan vokasional yang kontekstual dan sesuai kebutuhan pasar.
(Misalnya coding untuk tunanetra, layanan pelanggan daring untuk disabilitas fisik, atau keuangan digital untuk disabilitas sensorik.)
Perusahaan:
* Ubah cara pandang. Jangan ukur kemampuan hanya dari jenis disabilitas.
* Latih HR dan pimpinan untuk memahami kebutuhan akomodasi dan menjalankan proses rekrutmen yang inklusif.
Masyarakat:
* Dukung UMKM milik penyandang disabilitas.
* Bangun budaya yang menghormati disabilitas bagian dari keberagaman.
 Baca juga: May Day Harus jadi Perjuangan Semua Buruh Termasuk Buruh Disabilitas
 Kami Bukan Beban -Kami Bagian dari Solusi
Saya telah bekerja bersama berbagai kementerian, organisasi, dan sektor swasta untuk membangun layanan publik dan ruang kerja yang inklusif.
Dengan teknologi seperti pembaca layar dan kerja tim yang kolaboratif, saya bisa menyumbangkan gagasan dan menjalankan tanggung jawab secara utuh.
Jadi, Yang kami butuhkan sebagai disabilitas bukan belas kasihan,
tapi kesempatan yang setara dan lingkungan yang mendukung.