Oleh Ari Triono, S.S., MDPP.
Setiap 1 Mei, jalanan kota berubah menjadi panggung solidaritas.
Spanduk terangkat, suara orasi bergema, dan ribuan buruh turun ke jalan menuntut hak mereka.
May Day, katanya. Hari Buruh Internasional.
Tapi izinkan saya mengajak Anda duduk sejenak.
Kalau perlu, siapkan kopi atau teh hangat.
Lalu tanyakan perlahan kepada hati yang paling dalam:
"Apakah semua buruh benar-benar terwakili dalam perjuangan ini?"
Buruh Disabilitas: Ada, Tapi Seringkali Tak Terlihat
Ada yang tak bisa ikut aksi di jalan karena trotoar tak ramah kursi roda.
Ada yang tak hadir di rapat serikat karena tak ada juru bahasa isyarat.
Ada yang bekerja sepenuh hati dari rumah karena akses ke tempat kerja tak pernah disiapkan.
Â
Mereka semua buruh. Mereka bekerja. Mereka berkontribusi.
Namun sayangnya, mereka belum sepenuhnya dianggap sebagai bagian dari gerakan buruh.
Fakta Terkini
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022 terdapat lebih dari 720.000 pekerja disabilitas di Indonesia. Angka ini naik 160% dari tahun sebelumnya, namun tetap hanya sebagian kecil dari total angkatan kerja nasional.
Sebagian besar bekerja di sektor pertanian (42,35%) dan jasa (39,95%), sementara di sektor industri hanya 17,7%.
Data Kementerian Ketenagakerjaan (2024) menunjukkan hanya 944 tenaga kerja disabilitas yang ditempatkan di 16 provinsi---angka yang masih sangat rendah untuk sektor formal.
Dari sekitar 5,17 juta penduduk usia kerja disabilitas, hanya 1,04 juta yang masuk angkatan kerja.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) disabilitas hanya 20,14%, dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mencapai 10,8%---jauh di atas rata-rata nasional.
Aksesibilitas dan Akomodasi: Bukan Sekadar Bonus
UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah menegaskan hak atas aksesibilitas dan akomodasi yang layak di tempat kerja. Tapi praktiknya masih jauh dari ideal.
Masih banyak kantor tanpa fasilitas inklusif. Sistem kerja tidak fleksibel.
HRD kerap memandang disabilitas bukan sebagai potensi, melainkan sebagai beban.