Setiap 1 Oktober Bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila sebagai momentum untuk mengenang peristiwa kelam dalam sejarah, yakni tragedi Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) yang menelan korban enam jenderal dan seorang perwira, serta beberapa korban lainnya.
Untuk itu, masyarakat dihimbau untuk mengibarkan bendera setengah tiang pada 30 September dan mengibarkan bendera penuh pada 1 Oktober.
G30S/PKI adalah suatu pengkhianatan yang paling besar yang terjadi pada bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi di malam hari, tepatnya pada pada pergantian dari tanggal 30 September atau tanggal 1 Oktober. Tragedi ini melibatkan Pasukan Cakrabirawa dan juga PKI yang dipimpin langsung oleh ketuanya pada saat itu, Dipa Nusantara Aidit.
G30S/PKI berhasil digagalkan oleh militer, yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad. Ia berhasil mengendalikan situasi dan memimpin pasukan untuk menumpas gerakan G30S.
Pada gilirannya, peristiwa G30S/PKI ini mengakibatkan jatuhnya kekuasaan Soekarno dan transisi menuju pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto.
Dalam upaya memberikan wawasan tentang dampak sosial dan politik yang dihasilkan oleh G30S/PKI, salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Orde Baru adalah membuat film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI atau Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai Arifin C Noor dan diproduseri oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN).
Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI mengisahkan peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965 yang melibatkan PKI. Film ini menyajikan narasi tentang upaya kudeta yang dilakukan oleh PKI terhadap pemerintahan Presiden Soekarno, penculikan dan pembunuhan para jenderal, serta upaya penumpasan pemberontakan oleh Angkatan Darat.
Film ini diputar setiap tanggal 30 September mulai tahun 1984 di TVRI sebagai sebuah kewajiban.
Terkait dengan film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI, saya jadi teringat pengalaman pertama kali menonton film ini.
Saat itu, sebagai mahasiswa baru di Universitas Indonesia (UI) tahun 1984, saya baru saja mengikuti penataran P4 pola 100 jam. Usai mengikuti penataran, kami seluruh mahasiswa baru UI diwajibkan untuk menonton pemutaran perdana film Pengkhianatan G30S/PKI di Jakarta Convention Center (JCC).
Jadilah kami, mahasiswa baru UI, dengan berseragam jaket kuning kebanggaan menonton film tersebut di pertengahan September 1984, sebelum nantinya diputar di TVRI pada 30 September 1985.
Kenangan menonton film Pengkhianatan G30S/PKI untuk pertama kalinya itu masih begitu membekas. Sebagai mahasiswa baru, tentu ada rasa bangga ketika bersama-sama dengan ribuan rekan seangkatan, berjaket kuning, duduk di dalam gedung megah JCC dan menjadi penonton pertama ketika film tersebut rilis.
Saat layar lebar mulai menampilkan adegan awal film, suasana hening, seakan seluruh ruangan tertarik masuk ke dalam kisah sejarah yang divisualisasikan begitu dramatis.
Adegan penculikan para jenderal, teror malam di Lubang Buaya, hingga penggambaran penderitaan keluarga korban benar-benar menghadirkan rasa ngeri dan haru.
Sebagai penonton muda yang baru memasuki dunia kampus, film ini bukan sekadar tontonan, tetapi seperti sebuah pelajaran sejarah yang hidup, yang menggugah kesadaran akan pentingnya menjaga ideologi Pancasila. Saat itu, rasa takut bercampur dengan amarah, sekaligus muncul rasa hormat terhadap para pahlawan yang gugur.
Bagi saya pribadi, menonton film tersebut bukan sekadar kewajiban yang diberikan oleh pemerintah, melainkan juga menjadi semacam rites of passage atau ritual kebangsaan yang memperkuat identitas sebagai generasi penerus yang harus menjaga negeri ini agar tragedi serupa tidak terulang kembali.
Namun, kini suasana itu telah berubah. Setelah era reformasi, film ini tidak lagi menjadi tontonan wajib di sekolah-sekolah maupun televisi nasional.Â
Pemerintahan Presiden BJ Habibie melalui Menteri Penerangan Yunus Yosfiah dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono Sudarsono menghentikan penayangan wajib film tersebut pada 1998 karena dinilai film ini tidak selaras dengan semangat Reformasi.
Karena itu, generasi sekarang banyak yang hanya mendengar namanya, sebagian bahkan sama sekali belum pernah menontonnya. Tentu saja ada alasan, baik dari sisi akademis maupun politik, karena film ini dianggap sarat muatan propaganda Orde Baru.
Meski demikian, kenangan saya menonton film tersebut tetap menjadi pengingat bahwa sejarah, betapapun kontroversial cara penyajiannya, adalah cermin yang tidak boleh diabaikan.
Generasi hari ini memang tidak diwajibkan lagi menonton film itu, tetapi kewajiban moral untuk memahami sejarah tetap ada. Sebab tanpa mengenang masa lalu, kita bisa kehilangan arah di masa depan.
Maka, pengalaman pertama menonton Pengkhianatan G30S/PKI itu bagi saya bukan sekadar nostalgia, melainkan juga pesan yang masih relevan mengenai ideologi Pancasila harus tetap dijaga, bahwa bangsa ini harus belajar dari luka sejarahnya, dan bahwa generasi muda harus terus kritis dalam menyikapi setiap narasi, baik yang ditayangkan di layar lebar, maupun yang hadir di balik layar politik bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI