Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Penulis, Pemerhati hubungan internasional, sosial budaya, kuliner, travel, film dan olahraga

Pemerhati hubungan internasional, penulis buku Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. http://kompasiana.com/arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kedaulatan Masih di Tangan Rakyat, Jangan Sampai Terlindas Keadaan

30 Agustus 2025   09:32 Diperbarui: 30 Agustus 2025   10:28 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tuntutan bubarkan DPR, sumber foto: Kompas Megapolitan

Almarhum Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, mungkin tidak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berakhir dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob. Ia juga mungkin tidak sedang membayangkan bahwa keberadaannya pada aksi demontrasi pada 27 Agustus 2025, suatu saat nanti akan mendapatkan ganjaran sebagai pejabat negara, wakil rakyat atau setidaknya komisaris sebuah perusahaan, seperti yang terjadi pada sebagian tokoh Reformasi 1998.

Pada 27 Agustus 2025, Affan sedang menyeberang jalan untuk mengantarkan makanan pesanan pelanggan. Ia bukan demonstran, ia bukan orator di barisan massa, ia hanyalah warga biasa yang mencari nafkah. Namun nasib berkata lain, rantis barracuda yang melintas di tengah aksi demonstrasi merenggut nyawanya.

Di lain pihak, beredar pula gambar dan video yang menampakkan sejumlah aparat keamanan terluka saat bertugas mengamankan aksi demo dan bahkan ada yang meninggal dunia.

Berbagai peristiwa tragis ini membuka mata kita bahwa benturan antara rakyat dan aparat, baik disadari maupun tidak, bisa menghadirkan korban di pihak yang sama-sama tidak seharusnya saling berhadapan. Affan adalah rakyat. Aparat pun sejatinya anak dari rakyat. Namun dalam logika kekuasaan, keduanya sering kali dipertemukan dalam posisi berseberangan.

Padahal, dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 jelas ditegaskan: "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Artinya, rakyatlah pemilik sah kedaulatan. Aparat, pejabat, maupun wakil rakyat di Senayan, hanyalah pelaksana amanah rakyat. Ironisnya, di jalanan, yang terlindas justru rakyat sendiri.

Demonstrasi yang terjadi tersebut di atas, bukan tanpa sebab. Akar masalahnya berawal dari respons publik atas gaji dan tunjangan jumbo anggota DPR di tengah-tengah pandangan masyarakat bahwa kinerja mereka yang tidak bagus. Alih-alih meredakan, beberapa anggota Dewan justru melontarkan pernyataan yang menambah luka. Pernyataan seorang anggota DPR dari Fraksi Nasdem, Nafa Urbach, misalnya, yang menilai wajar tunjangan rumah Rp. 50 juta per bulan demi bisa tinggal dekat DPR, memicu kegeraman publik. Belum lagi pernyataan anggota DPR Ahmad Sahroni dari fraksi yang sama yang menyatakan rakyat tolol karena ingin membubarkan DPR ataupun aksi sejumlah anggota Dewan seperti Eko Patriot dan Uya Kuya yang berjoget di ruang sidang di tengah mahalnya harga barang pokok dan sejumlah kebijakan yang tidak berpihak ke rakyat, seolah memberi pesan bahwa rakyat boleh susah, tapi mereka tetap bersuka cita.

Oleh karena itu, peribahasa "gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga" terasa sangat pas untuk menggambarkan kondisi ini. Segelintir tindakan tidak sensitif dari sebagian anggota DPR merusak citra lembaga secara keseluruhan. Padahal, DPR adalah simbol representasi rakyat. Ketika simbol ini retak, kepercayaan publik ikut terkikis.

Oleh karena itu pula, di titik inilah semestinya kita harus berhati-hati. Jangan sampai ketidakpuasan rakyat pada wakilnya di Senayan justru berujung pada benturan dengan aparat keamanan. Aparat dan rakyat tidak boleh saling dipertentangkan, karena sejatinya keduanya berasal dari rahim yang sama yaitu rakyat Indonesia. Aparat hanyalah anak-anak bangsa yang mendapat mandat menjaga keamanan, sementara rakyat adalah pemilik kedaulatan itu sendiri.

Peristiwa tragis yang menimpa Affan dan sejumlah aparat keamanan seharusnya menjadi alarm. Korban jiwa di pihak rakyat maupun aparat bukanlah jalan demokrasi yang sehat. Kita mestinya belajar dari sejarah Reformasi 1998 bahwa perubahan besar tidak seharusnya diikuti dengan daftar panjang korban. Jangan sampai bangsa ini kembali terjerumus pada pola lama, di mana aparat dipertemukan dengan rakyat, sementara elite politik menyaksikan dari kursi empuk kekuasaan. Sudah saatnya kita menjaga kedaulatan dan merawat demokrasi

Kedaulatan rakyat bukanlah slogan kosong. Kedaulatan adalah amanat konstitusi. Untuk menjaganya, para wakil rakyat di DPR mesti kembali menundukkan telinga ke suara publik, bukan menutupnya dengan kenyamanan privilese. Aparat pun perlu meneguhkan diri sebagai pengayom masyarakat, bukan sekadar pelaksana perintah yang membabi buta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun