Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Tradisi Bermaafan yang Bergeser

14 April 2021   06:00 Diperbarui: 15 April 2021   19:16 2703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bermaafan. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Kini tradisi-tradisi unik yang sarat dengan kearifan lokal tersebut dapat dikatakan sudah jarang dilakukan, apalagi di era covid. Kebiasaan bermaafan dengan berkumpul dan berjabat tangan sudah tergantikan oleh silahturahmi daring. 

Apabila menjelang tahun 2000-an silahturahmi daring diawali dengan pengiriman pesan SMS berbayar per pesan yang terkirim, maka kini lewat internet pengiriman pesan bisa dilakukan relatif tanpa batas dan bisa tatap muka lewat video call, baik berdua ataupun bersama-sama (video conference), tanpa biaya berlangganan untuk penggunaan aplikasi.

Catatan Ramadan hari Pertama-Ucapan ramadan di WAG /foto pribadi
Catatan Ramadan hari Pertama-Ucapan ramadan di WAG /foto pribadi
Dari sisi kepraktisan, silahturahmi daring memang benar-benar praktis. Kita tidak perlu berdesakan dan bermacet ria saat mudik serta menempuh jarak yang jauh untuk berjumpa dengan saudara dan sahabat.

Karena itu tidak ada yang keliru dengan adanya pergeseran tradisi bermaafan secara daring, terlebih di era covid kita dituntut untuk jaga jarak. Secara prinsip tidak menjadi masalah karena intinya saling memaafkan adalah niat meminta maaf dan memberi maaf. 

Jika setiap saat orang berkenan menaklukkan gengsi kediriannya untuk meminta maaf saat berbuat salah, dan sebaliknya dengan legawa memberikan maaf, maka tujuan bermaafan dapat tercapai. 

Dengan bermaafan maka tak akan ada konflik yang bertahan lama, apalagi berujung pada kekerasan.

Namun secara pribadi, saya merasa ada sesuatu yang hilang. Secara umum tidak ada aura personal dari setiap pesan yang diterima. 

Kalimat atau kata-kata yang dikirim pun tidak terasa kekhususannya karena sekedar menyalin (copy paste) dari pesan yang sudah ada. Jabatan tangan atau pelukan tidak bisa tergantikan oleh pesan-pesan yang dikirim secara instan karena berpandangan teknologi mempermudah semua urusan.

Saya pun merasa bahwa bertemu secara langsung lebih baik daripada melalui SMS, Whatsapp, dan lainnya, karena media sosial tak bisa membawa mimik wajah, dan emosi tidak ikut. 

Saat ketemu langsung kita berjabat tangan, berpelukan, ada mimik wajah dan kata-katanya yang bisa didengar dengan penghayatan.

Iya tetapi sekarang kan masih covid dan kita mesti menjaga jarak untuk mencegah penularan virus covid?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun