Mohon tunggu...
Aris Armunanto
Aris Armunanto Mohon Tunggu... Penghobi jalan pagi.

Hati yang gembira adalah obat yang manjur,...(Amsal 17:22).

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dari Espresso ke Kapal Api. Menyimpan Secangkir Kenangan Manis dan Pahit

11 Oktober 2025   13:03 Diperbarui: 12 Oktober 2025   10:28 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sambil menyeruput kopi di cangkir yang masih agak panas, saya pun merenung dan bertanya pada diri sendiri. Apakah saya penikmat kopi sejati? Apakah rasa kopi mencerminkan kehidupan ini?

Biasanya saya minum satu cangkir kopi sehari. Bubuk kopi 6 gram ditambah satu sendok teh gula pasir, lalu diseduh dengan air panas. Jarang sekali minum kopi sampai dua cangkir sehari.

Dulu sempat "kecanduan" kopi instan 3 in 1. Bisa minum sampai 2 cangkir sehari. Kopi instan sachet ini sangat praktis. Tinggal seduh saja dengan air panas. Kombinasi kopi, gula dan krimer  nikmat rasanya dan tersedia varian rasa yang beragam.

Walaupun sempat menikmati kopi instan 3 in 1 yang bebas ampas, namun akhirnya berhenti total. Penyebabnya waktu seorang teman, pensiunan guru, berpesan melalui istri saya. Dia bilang, "Pak Aris suruh mengurangi minum kopi instan 3 in 1 agar tetap sehat sampai tua." Sebaiknya minum kopi yang biasa saja katanya.

Pada awalnya sulit untuk mengurangi minum kopi yang cita rasanya sudah pas di lidah. Apalagi saya biasa menyetok aneka varian kopi instan 3 in 1. Butuh waktu, sampai akhirnya saya bisa. Tidak cuma mengurangi, namun berhenti total. Nasihat baik, tidak salah untuk dijalani, pikirku.

Setelah itu, beberapa bulan saya tidak tertarik minum kopi lagi. Seduhan teh tubruk ditambah setengah sendok teh gula pasir sebagai gantinya.

Suatu ketika, timbul keinginan untuk minum kopi lagi. Saya pun beli kopi Kapal Api Special Mix dengan komposisi kopi + gula. Dan kopi Kapal Api Special, kopi bubuk kemasan 6 gram. Minumnya pun masih kadang-kadang. Tidak setiap hari. Sampai akhirnya kembali lagi minum secangkir kopi sehari.

Mengenang ke masa lalu, ketika usia masih belasan tahun sampai 20-an, minum kopi jadi rutinitas harian saya. Apalagi waktu itu masih berstatus sebagai perokok, yang bisa menghabiskan satu sampai dua bungkus rokok kretek filter per harinya.

Dengan perjuangan keras, beberapa kali mengalami kegagalan, akhirnya di usia ke-26, saya berhasil berhenti merokok. Seiring berjalannya waktu, kenikmatan secangkir kopi bisa saya rasakan tanpa kehadiran rokok.

Di usia 20-an, ketika sering mengunjungi Bandar Lampung dan pernah tinggal sebentar disana. Saya menyukai kopi lokal dari daerah itu dan membelinya. Yaitu kopi Lampung cap Bola Dunia. Rasa pahitnya yang kuat, seketika membangkitkan semangat yang layu.

Dimasa kuliah di Semarang, saya cenderung menyukai kopi yang dominan rasa pahit. Saya hanya menambahkan sepucuk sendok teh gula pasir. Tak sedikit teman yang komplain ketika menyeruput kopi saya. Mereka lebih menyukai yang manis.

Seorang teman satu kos asal Jember, Jawa Timur. Ketika kembali dari mudik, dia beberapa kali membawa kopi jahe racikan ibunya. Saya suka sekali.

Racikan kopi jahe yang disangrai memiliki rasa yang unik. Rasa kopi yang pahit menyatu dengan sensasi hangat serta aroma khas jahe. Sungguh nikmat.

Mantan pacar yang sekarang menjadi ibu bagi kedua anak laki-laki saya pun turut menorehkan kenangan tentang kopi. Keluarganya memproduksi kopi sendiri. Untuk dijual dan sebagian untuk kebutuhan sendiri. Buah kopinya hasil petik sendiri di kebun belakang yang luas warisan leluhur.

Ketika itu, saya pernah melihat "calon ibu mertua" menyangrai kopi secara tradisional. Metode ini tentunya membutuhkan keahlian khusus karena sulit mengontrol suhu secara presisi. 

Wajan dari tanah liat dipanaskan dengan api yang berasal dari kayu bakar. Ini akan menghasilkan panas secara alami. Biji-biji kopi robusta terus diaduk, sambil memantau perubahan warna dan aromanya sampai pada tingkat kematangan yang diinginkan.

Sungguh nikmatnya berbeda. Kopi hasil petik kebun sendiri yang disuguhkan dengan cinta. Setiap sesapannya terasa spesial. Bikin ketagihan.

Terlebih lagi bisa melihat langsung tanaman kopi di kebun yang luas. Ikut memetik kopi ceri yang merah matang. Buah kopi yang muda berwarna hijau, tunggu waktunya untuk berubah warna. Di pohon yang lain, indra penciuman ini bisa mencium aroma wangi bunga kopi putih mekar.

Cerita tentang kopi pun berlanjut ketika saya berkesempatan tinggal di negeri Kangaroo selama dua tahun. Dari tahun 1996 - 1998. Tak terasa saya sudah tidak muda lagi ya?

Sambil menyeruput kopi hangat yang terasa pahit dan manis, saya berusaha mengingat kenangan puluhan tahun silam itu. Minum teh maupun kopi ditambah susu, terkadang krimer, merupakan ritual rutin ketika mengikuti tradisi Morning Tea bersama teman Australia.

Kota Hobart, Tasmania, turut mewarnai wawasan saya tentang kopi. Minuman yang disukai banyak orang. Bisa disajikan panas maupun dingin. Namun, kisah yang satu ini berbeda.

Tiga jam non stop mata kuliah "singkat" tentang kopi masih terekam kuat di kepala ini. Sensasi manis dan pahit sangat kontras, sehingga akan mudah diingat jika telah merasakannya.

Kopi jenis arabika mendominasi pangsa pasar kopi di dunia. Disusul dengan kopi jenis robusta.

Tanaman kopi arabika tumbuh baik di iklim sub-tropis dan dataran tinggi, serta membutuhkan perawatan yang lebih intensif dan mahal.

Sedangkan tanaman kopi robusta lebih tahan terhadap hama dan kondisi cuaca yang tidak ideal. Sehingga mudah ditanam dan lebih murah biaya perawatannya.

Kopi arabika disukai karena memiliki cita rasa yang kompleks. Jika anda penyuka kopi jenis arabika tentunya sudah terbiasa dengan sensasi rasa lembut, manis, asam dan lainnya, tergantung dari Single Origin atau tempat asal tumbuhnya.

Setelah mendapatkan teori singkat tentang kopi. Dengan Espresso machine, satu persatu dari kami membuat kopi. Setelah itu, kami meneguk kopi arabika dan robusta yang ada di meja. Saya pun berusaha mencatat sensasi rasa kopi tanpa gula yang telah saya teguk.

Keheningan melanda ruangan kelas. Mengecap rasa pahit dalam kurun waktu yang cukup lama bukanlah hal yang mudah. Apalagi kewajiban untuk mencatat setiap rasa yang dihasilkan oleh kopi arabika dan robusta. 

Lega rasanya setelah menyelesaikan kuliah tentang kopi selama tiga jam ini. Saya dan teman-teman dari Australia pun pulang dengan membawa kepahitan di lidah kami masing-masing. 

Cerita tentang kopi di negeri orang pun berlanjut. Kali ini berkaitan dengan pekerjaan. Saya tentunya sangat senang ketika bisa mendapatkan pekerjaan part time atau paruh waktu, apalagi di negeri orang.

Pagi hari sebelum kuliah, beberapa hari dalam seminggu saya bekerja di Hobart Mid City Hotel. Bekerja sebagai Room Service Attendant. Tugas utama saya adalah menyiapkan dan mengantar pesanan breakfast ke kamar tamu.

Sebagai Room Service Attendant, saya tetap berhubungan dengan kopi ketika ada tamu yang memesan kopi. 

Tanggung jawab pertama yang harus saya lakukan ketika tiba di hotel, adalah menuju ke coffee shop. Menyalakan mesin espresso (espresso machine) dan kemudian menuju ke Drip Coffee Maker atau mesin kopi drip.

Setelah menyalakan Drip Coffee Maker, saya menaruh tujuh scoop kopi bubuk ke dalam filter kertas. Kemudian mengisi air diatasnya. Air perlahan akan dipanaskan dan menetes ke bubuk kopi yang di dalam saringan.

Air panas yang menetes ke bubuk kopi akan mengekstrasi rasa dan aroma kopi. Lalu menghasilkan kopi cair yang kemudian menetes ke dalam kopi kettle kaca di bawahnya.

Dua tugas itu menjadi rutinitas yang tidak boleh saya lupakan agar karyaman di coffee shop ketika datang nanti, bisa langsung melayani pembeli. 

Cerita tentang kopi tetap berlanjut sampai saya kembali ke tanah air. Di Pulau Seribu Pura saya mempunyai dua pengalaman menarik yang berhubungan dengan kopi.

Yang pertama, di sebuah kafe di Ubud. Pengunjung kafe didominasi oleh orang bule. Banyak yang bilang bahwa Kafe tersebut menjual kopi ternikmat di Bali. "Kopi Bali yang paling enak, pas roastingannya," kata mereka.

Saya pun tersenyum mendengarnya karena tahu bahwa biji kopi yang dijual di kafe tersebut belinya di Jawa Timur. Sopirnya yang mengatakannya pada saya.

Menurut saya, kopi yang dijual di kafe itu, kopi blend arabika dan robusta. Kombinasi dua karakter kopi yang berbeda. Arabika cenderung manis dan lembut, sedangkan robusta dengan rasa pahit dan pekat, menghasilkan cita rasa yang seimbang.

Perlu diketahui, bahwa Kopi Arabika Kintamani Bali merupakan kopi asli Bali yang cukup digemari oleh para penikmat kopi. Memiliki citarasa yang unik, seperti aroma citrus. Penanaman pohon kopi varietas arabika di kebun yang sama dengan tanaman sayuran, jeruk dan buah-buahan lainnya menciptakan rasa kopi yang khas.

Kembali ke kafe yang di Ubud. Saya pun sempat beberapa kali membuatkan minuman kopi pesanan pelanggan dengan menggunakan mesin espresso. Seperti Kopi Espresso, Americano, Cappucino, Moccacino dan Cafe Latte. 

Ketika merasa ngantuk, saya terkadang meneguk espresso di kafe itu.  Rasa kantuk pun segera hilang setelah meminumnya.

Kopi espresso adalah ekstraksi bubuk kopi dengan tekanan dan suhu tinggi yang menghasilkan kopi kuat, pekat dan kental yang disajikan dalam porsi kecil.

Saya juga pernah menikmati sensasi nikmat Kopi Luwak Bali seharga Rp. 50.000 per cangkirnya. Lokasinya diseberang jalan sebelum Pura Uluwatu. Disana saya diberi kesempatan tes rasa aneka kopi dan teh dan diberi penjelasan yang cukup detail. Terlalu banyak informasi yang didapatkan, sehingga sulit tuk diingat seluruhnya.

Sambil menyeruput kopi yang masih tersisa setengah cangkir. Saya berusaha mengingat kenangan lainnya seputar kopi. 

Sebelum gempa hebat mengguncang Lombok. Saya sempat kesana, mengunjungi adik dan kakak ipar saya, saudara kandung dari istri. Kenangan yang di dapat adalah sensasi minum kopi sambil duduk di Berugak.

Burugak Lombok adalah bangunan multi fungsi terbuat dari bambu atau kayu dengan atap ijuk atau daun kelapa kering. Salah satu fungsinya adalah sebagai tempat menerima tamu sambil ngobrol dan ngopi.

Sekarang ini, saya cukup puas menikmati kopi Kapal Api bubuk 6 gram plus gula pasir satu sendok teh. Alasannya sederhana saja; rasa kopinya ringan, mudah didapat dan harganya pun murah. 

Ekspektasi saya tentang rasa kopi tentunya sangat berbeda jauh dengan anak saya. Dia yang masih tinggal bersama dalam satu rumah adalah Youtuber kopi.  Dia telah banyak mereview aneka kopi yang dipesan secara online.  Dan secara rutin mengupload video baru tentang kopi. Sehingga suasanya kopi selalu menyertai keseharian saya. 

Sebagian koleksi bungkus kopi anak lelski saya (dokpri)
Sebagian koleksi bungkus kopi anak lelski saya (dokpri)

Jika anak saya itu sedang "baik hati", kopi dari penjuru tanah air, bahkan dari luar negeri, yang masih tersisa, bisa saya seruput kenikmatannya. Tak perlu saya nongkrong di kedai kopi tuk merasakan kopi berkualitas. 

Namun, dalam keseharian, saya tetap setia menyeruput kopi Kapal Api. Kopi murah meriah yang menurut saya cukup nikmat. Biarlah kopi terasa pahit, asalkan kepahitan hidup tidak berlangsung lama, dan segera kembali terasa manis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun