Era modern yang serba cepat dan penuh kompetisi, manusia sering kali terjebak pada ilusi bahwa dirinya mampu menciptakan segalanya. kesuksesan, kebahagiaan, bahkan masa depan. Padahal, hakikat yang mendasar tidak pernah berubah, manusia adalah makhluk yang diciptakan. Kesadaran ini sangat penting, karena di balik segala daya upaya, perencanaan matang, dan kerja keras, ada realitas transenden yang melampaui batas kemampuan manusia. Søren Kierkegaard, menyebutkan bahwa ada “ruang transenden” yang tak dapat dijangkau rasio manusia, sebuah wilayah yang hanya milik Tuhan. Maka, sekuat apa pun usaha manusia, secerdas apa pun strategi yang ia rancang, hasil akhirnya tetaplah berada dalam genggaman Sang Pencipta. Sementara Al-Qur’an menegaskan, “Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat” (QS. Ash-Shaffat: 96). Ayat ini menggugurkan klaim bahwa manusia sepenuhnya penguasa hasil, sebab pada kenyataannya, manusia hanya berikhtiar, sementara Allah yang menentukan keberhasilan.
Julian Rotter melalui teorinya tentang locus of control menjelaskan bahwa sebagian orang meyakini kendali penuh pada dirinya (internal locus), sementara sebagian lain meyakini adanya kekuatan di luar diri (external locus) yang menentukan hasil. Islam memadukan keduanya dengan sangat indah. Rasulullah SAW bersabda, “Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah” (HR. Muslim). Hadis ini menekankan kewajiban berusaha sekuat tenaga, namun tetap bersandar penuh kepada Allah. Inilah keseimbangan yang menjadi kunci manusia memiliki peran aktif dalam usaha, tetapi hasil sepenuhnya berada di tangan Allah. Dengan demikian, keberhasilan tidak melahirkan kesombongan, dan kegagalan tidak menghancurkan harapan, karena keduanya dipandang sebagai bagian dari takdir yang terbaik.
Namun, pandangan ini sering dikritisi oleh sebagian kalangan ateis atau kaum sekuler yang beranggapan bahwa kehidupan manusia sepenuhnya ditentukan oleh rasionalitas, sains, dan kebebasan individu tanpa campur tangan Tuhan. Mereka meyakini bahwa kesuksesan hanyalah hasil kalkulasi usaha manusia semata. Akan tetapi, argumen ini justru lemah, sebab sains modern sekalipun mengakui adanya variabel-variabel di luar kendali manusia seperti genetika, lingkungan, bahkan fenomena uncertainty (ketidakpastian) yang tak pernah dapat sepenuhnya dikendalikan. Dalam perspektif Islam, menafikan peran Tuhan berarti mengingkari realitas terdalam keberadaan manusia sebagai ciptaan. Al-Qur’an menegaskan, “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. Ath-Thur: 35). Kritik ini menunjukkan bahwa mengabaikan campur tangan Allah tidak hanya menyalahi akidah, tetapi juga bertentangan dengan logika dan kenyataan hidup yang sarat dengan keterbatasan manusia.
Konsep takdir tidak dimaksudkan untuk melemahkan usaha manusia, tetapi justru untuk mengokohkan jiwa. Imam Al-Ghazali menjelaskan melalui teori kasb bahwa usaha manusia memang nyata, namun tetap berada di bawah kehendak Allah yang mutlak. Filosofi ini sejalan dengan psikologi positif yang menekankan pentingnya acceptance (penerimaan) terhadap hal-hal di luar kendali manusia, karena sikap ini terbukti meningkatkan ketahanan mental, mengurangi kecemasan, dan memperkuat rasa syukur. Dengan menyadari keterbatasan dirinya, manusia akan lebih mudah menerima kenyataan hidup, sekaligus lebih tekun berusaha. Inilah bentuk tawakal yang sejati, bekerja maksimal dengan keyakinan penuh bahwa apapun hasilnya adalah ketentuan Allah yang selalu terbaik.
Kesadaran bahwa manusia diciptakan, bukan menciptakan, mengajarkan kita tentang makna kerendahan hati, kesabaran, dan keteguhan iman. Hidup tidak semata-mata tentang siapa yang paling cerdas atau paling kuat, melainkan tentang siapa yang paling mampu mengintegrasikan usaha dengan doa, rencana dengan tawakal, serta ikhtiar dengan kerelaan hati menerima keputusan Allah. Maka, janganlah kita tertipu oleh ilusi kekuasaan atas diri sendiri, sebab hakikatnya manusia hanyalah hamba yang terbatas. Serahkanlah segala hasil kepada Allah, karena hanya Dia yang mengetahui apa yang benar-benar terbaik. Saat manusia menanamkan keyakinan ini, hidup akan terasa lebih tenang, penuh makna, dan terarah menuju kesuksesan hakiki, yakni ridha Allah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI