Kalau semua manusia lahir sempurna, lengkap, sehat, cantik, ganteng, putih, tinggi semampai, apa dunia ini akan lebih baik? Belum tentu. Malah bisa jadi lebih rusak. Jika semua orang merasa dirinya “sempurna”, lalu siapa yang mau belajar rendah hati? Jangan pernah samakan bagaimana cara Allah menciptakan satu makhluknya dengan cara pabrik yang mencetak satu jenis produk yang sama persis hasilnya, seperti seragam atau ember-ember di toko bangunan. Allah itu Sang Pencipta, Maha Kaya akal, Maha dari Maha segala-galanya. Dia mencipta dengan skenario, dengan variasi, dengan warna-warni. Kalau mungkin kita heran, kenapa ada yang lahir (maaf) pincang, ada yang buta, ada yang gagap, itu sama saja seperti kita heran kenapa ada durian, ada jambu dan ada nanas.
Pertama-tama yang harus kita sadari bahwa Allah itu Pemilik segalanya. Kita ini cuma numpang hidup. Kita dikasih mata, telinga, kaki, bukan karena kita pantas, tapi karena Allah Maha baik hati. Dan kalau ada orang lain yang tidak dikasih salah satunya, bukan berarti Allah kejam. Berbaik-sangkalah bahwa justru karena Allah sedang mendidik kita dan mendidik dia dengan cara yang berbeda.
Kalau Semua Sama, Dunia Jadi Membosankan
Bisa kita bayangkan kalau semua orang lahir sempurna? Semua tampan, semua cantik. Apa nggak repot nanti cari pasangan? Semua pintar, semua juara kelas. Siapa yang jadi murid biasa-biasa saja? Semua sehat, semua kaya. Lalu siapa lagi yang mau belajar sabar, siapa lagi yang mau belajar berbagi?
Kalau semua manusia sama, dunia ini isinya malah persaingan tanpa ada belas kasihan. Yang ada cuma sombong massal. Maka Allah “membedakan” hamba-Nya. Ada yang dititipi kekurangan, supaya ada yang belajar tentang empati. Ada yang dititipi kelebihan, supaya ada yang belajar untuk berbagi.
Kekurangan Itu Sebenarnya Hadiah
Kadang Allah ambil satu nikmat dari seseorang, kemudian Dia ganti dengan nikmat yang lebih besar. Ada orang yang tidak punya kaki, tapi justru semangat hidupnya bikin kita yang sehat ini malu luar biasa. Ada orang buta, tapi doanya tembus sampai langit, jauh lebih jernih daripada kita yang matanya normal tapi hatinya buta. Seorang yang gugur syahid di medan perang kehilangan nyawa, tapi Allah berikan dia kehidupan abadi di surga. Itu artinya kehilangan di dunia seringkali hadiah di langit. Kita yang sehat ini mungkin merasa “beruntung”, padahal bisa jadi justru kita yang tertipu karena tidak belajar apa-apa dari nikmat itu.
Siapa yang Sebenarnya Cacat?
Kita suka bilang orang buta itu “cacat”. Orang pincang itu “tidak sempurna”. Tapi coba kita bercermin; Jika ada orang lengkap fisiknya, tapi suka merendahkan orang lain, mereka itu yang sebenarnya cacat akhlak. Orang tajam matanya, tapi buta hatinya, itu cacat sejati. Orang sempurna tubuhnya, tapi pincang logikanya, timpang imannya, itu cacat yang paling berbahaya.
Jangan-jangan yang kita sebut “orang cacat” itu lebih mulia di sisi Allah daripada kita. Jangan-jangan kita yang sehat-sehat ini justru cacat di mata langit, karena tak tahu bagaimana caranya bersyukur.
Allah Tidak Pernah Main-main
Yakinlah bahwa ada hikmah di balik setiap perkara. Allah tidak pernah menciptakan sesuatu secara sia-sia. Termasuk kekurangan kita. Kalau ada yang lahir pincang, buta, atau tuli, bisa jadi itu jalan Allah untuk meninggikan derajatnya. Bisa jadi itu juga jalan bagi kita untuk belajar empati, berhenti sombong, dan mengerti bahwa kesempurnaan hanya milik Allah.
Makanya, kalau ketemu orang yang punya keterbatasan, jangan buru-buru kasihan. Jangan merasa lebih baik. Siapa tahu dia sedang ditinggikan Allah, sementara kita ini justru dibiarkan sibuk dengan kesombongan kita sendiri. Allah mencipta dengan sengaja, dengan skenario, dengan cinta. Tidak ada yang sia-sia. Yang kita sebut “kekurangan” bisa jadi justru karunia. Yang kita kira “penderitaan” bisa jadi tiket masuk surga.
Nah, apakah kita mau terus mengeluh? atau maukah kita membaca hikmah di balik setiap perbedaan yang Allah letakkan di dunia ini?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI