Mohon tunggu...
Arip Senjaya
Arip Senjaya Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, pengarang, peneliti

Pengarang buku, esai, dan karya sastra

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Buku-Buku Produk Kemitraan Sekolah

30 September 2022   11:07 Diperbarui: 30 September 2022   11:22 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kini makin terbuka sekolah-sekolah untuk bermitra dengan lembaga apa saja, karena begitu terbuka informasi dan banyak jalan untuk bersilaturahmi. Dirjen SMA melatih guru-guru, pengawas, kepala sekolah, unsur BPMP, untuk dapat menjalin kemitraan. Draf demi draf disiapkan pemerintah dan bersama peserta terlatih draf-draf itu disempurnakan.

Memang, sebagian sebenarnya sudah menjalankan kemitraan itu, dan tidak pada tempatnya saya sebutkan di sini lembaga-lembaga tersebut. Ada yang mengembangkan bidang kewirausahaan siswa, literasi, pengembangan produk aplikasi, dan masih banyak hal lainnya. 

Melihat beberapa praktik baik (best practice) yang dilaporkan beberapa sekolah dari Bandung, dari Jakarta, dan Banten, di satu kesempatan yang tidak usah disebutkan, saya sadar bahwa pengalaman kemitraan masih melupakan kualitas. Terutama untuk kemitraan-kemitraan bidang literasi.

Ada beberapa kecenderungan umum memahami produk literasi sebagai produk tulisan, sehingga keberhasilan kemitraan ditandai oleh terbitnya buku-buku siswa, bahkan buku-buku guru yang merasa "malu" dengan siswa mereka yang produktif. Setelah buku-buku itu terbit, jadilah itu praktik baik!

Ah, tentu bukan itu. Praktik baik mesti mengandung evaluasi untuk keterbukaan kemitraan selanjutnya, baik di bidang yang sama maupun di bidang yang lain. Keterbukaan ini ditandai oleh praktik baik yang menyadari kelemahan produknya, sadar juga bahwa pasar tidak tertarik dengan produk buku-buku tersebut. Bagaimana bisa, judul-judul antologi puisi dan cerpen terbitan kemitraan itu ternyata betapa jadul macam Gelora Rindu, Pekik Pandemi, Cita-Cita Jura, dan sekian lain yang sebenarnya formil dan kurang gaul dengan perkembangan bahasa dan kultur. Beberapa contoh buku tadi hadir di masa anak-anak sekolah menggunakan kata gabut, mager, dan sejenisnya. Mengapa bisa buku tidak bersinggungan dengan bahasa zamannya.

Hal lain, yang mungkin aneh bagi saya sendiri, entah bagi Anda, kemitraan itu juga memunculkan bayar-membayar. Sekolah membayar mitra dengan beberapa cara, yang antara lain dengan iuran murid-murid, dan murid-murid itu akan terima bukti cetak buku antologi mereka. Oh, mungkin ini kemtiraan yang terlalu pragmatis, berorientasi pada produk semata. Ada produk maka ada praktik baik.

Bukan soal iurannya, tapi jika dengan iuran saja tidak dapat membangun alam budaya anak-anak, apalagi jika tidak. Posisi mitra sekolah terlalu mengambil untung untuk eksistensi mereka dan mungkin untuk keuntungan finansial mereka juga. Mereka akan umumkan jumlah cetak buku siswa yang jadi mitra mereka, dan mereka diabaikan oleh pasar pembaca buku sebenarnya. Berapa pun buku yang mereka terbitkan, 100, 1000, 1 juta, tokh hanya masturbasi: ditulis oleh mereka, didanai mereka, dibaca mereka.

Jadilah mitra sekolah yang tidak begitu, dan wahai sekolah-sekolah, jangan pula jadi latah. Tujuan pendidikan adalah menyirami, menumbuhkan, mengapresiasi, bukan memumikan karya-karya jadi buku-buku. Baru saja terbit, segera buku demi buku masuk ke perpustakaan dan berdebu.[]

Arip Senjaya, dosen filsafat Untirta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun