Mohon tunggu...
Arip Nurahman
Arip Nurahman Mohon Tunggu... Freelancer - Pengejar ilmu

Menulis dengan sepenuh hati

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Referendum Papua Tidak Pernah Ada

17 November 2020   18:12 Diperbarui: 17 November 2020   19:01 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disclaimer : tulisan ini akan dimuat di beberapa media nasional. Diterbitkan di kompasiana dengan izin dari penulis.

Oleh: John A.L. Norotouw, ex pejuang Papua Merdeka selama 30 th.

Mengawali langkah bangsa seusai perayaan HUT Kemerdekaaan ke 75, tahun 2020 energi bangsa terkuras untuk mengatasi kerusuhan di Tanah Papua.

Sesuai judul tulisan ini, saya tidak ingin terjebak dalam pemikiran rasisme yang mempersempit peran orang Papua sebagai warga negara sebuah negara yang kian mencuat dalam peta dunia menjadi salah satu negara demokrasi terkuat.

Jika sejenak kita pelajari isu rasisme dan segala seluk beluk perkembangan bumi dan penduduknya serta keberadaan bangsa-bangsa dan kemerdekaan mereka maka rasisme adalah kekuataan kolonialisme untuk menguasai dan menjajah dan menguras serta merampok koloni- koloni jajahan tanpa memperdulikan harkat dan hakekat kemanusiaan bahkan lebih dari itu masyarakat di koloni- koloni itu dijadikan budak yang diperjual belikan atau dipekerjakan sebagai pekerja rodi.

Sebaliknya rasisme adalah senjata ampuh yang mendorong manusia yang ditindas memperjuangkan hak, harga diri, hakekat kemanusian untuk diakui oleh para penguasa kolonial.


Itulah perjuangan yang sesungguhnya yang membangkitkan perlawanan dan perang untuk merdeka.

Kemerdekaan Indonesia adalah kemenangan bangsa Indonesia atas rasisme kolonial Belanda selama 350 tahun. Dalam memperdebatkan isu rasisme terkini di Indonesia khusus kasus "MONYET" oleh sekelompok ormas dan oknum penegak hukum di asrama mahasiswa di Surabaya yang berakibat kerusuhan di tanah Papua tentu merupakan pelajaran terpenting tentang nasionalisme Indonesia yang belum berakar kuat terutama tentang kebinekaan phisik yang tidak mengikat rasa batin kemanusiaan.

Meskipun demikian, saya tidak ingin menerima kata "monyet" dari pikiran rasisme karena pikiran seperti itu akan merusak batin hati kemanusiaan, akhirnya akan membawa saya ke alam dunia hewan, karena sejak lahir saya adalah manusia atau akan menodai prinsip- prinsip dan hakekat kemanusiaan yang diajarkan oleh agama khususnya agama kristen kepada saya dalam hukum kasih.

Tetapi apabila saya menerimanya dan berlaku seperti monyet maka ajaran kristen yang saya anut dan diajarkan di gereja oleh para pendeta gagal menjadikan saya seorang kristen. Hal ini sangat erat dengan perjuangan menentang rasisme di bumi yang dipelopori oleh Gereja.

Saya yakin bahwa senjata ampuh orang Papua untuk merebut Indonesia adalah rasisme itu dan bahkan sebaliknya perbedaan kulit dan rambut saja yang masih tersisa dari banyak perbedaan yang merupakan kekuatan terakhir untuk merasa bukan Indonesia.

Di negeri kita, jarang kita dapati pemimpin yang karismatik pembela kesejatian hakekat kemanusiaan seperti alm. Gusdur, atau tokoh orang hitam Amerika, Marthen Luther King, atau Nelson Mandela tetapi yang kita miliki itu segudang aktivis pembela hak azasi manusia yang menjual ilmunya.

Saya juga tertarik dengan isu merdeka melalui Referandum. Kerusuhan yang berawal dari Monyet yang rasisme bargaung kuat dirana Papua Merdeka dan isu Referandum. Pihak Kepolisian menetapkan Benny Wenda dan ULMWP sebagai otak dibalik kerusahan Papua melalui investigasi yang telah dilakukan dan dipelajari secara saksama.

Meskipun demikian, saya tidak ikut campur urusan negara, tetapi sebagai sesama orang Papua saya harus ikut bertanggung jawab tentang memberikan pemahaman yang jelas tentang "mengapa referandum menjadi penting di Perserikatan Bangsa-Bangsa".

Referanfum di PBB hanya berlaku terhadap koloni atau daerah jajahan yang belum merdeka dan terdaftar resmi di Komite Dekolonisasi PBB. Apakah Papua terdaftar di Komisi Dekolonisasi PBB? Atau dengan kata lain apakah masyarakat Papua berhak menuntut Referandum didalam koridor hukum internasional ataupun hukum nasional Indonesia agar merdeka?

Sejak terjadinya disput teritori Nederlands Niew Guinea atau Papua oleh Indonesia dan Belanda karena Papua adalah koloni Belanda, PAPUA TIDAK PERNAH DIDAFTARKAN OLEH BELANDA SEBAGAI KOLONI BELANDA DI KOMISI DEKOLONISASI PBB yang dikenal dengan nama Komisi 24 untuk merdeka. Karena PBB menganut azas Uti potidetis uris, azas keikut sertaan daerah koloni dalam kesatuan kemerdekaan daerah koloni sebuah negara kolonial atau penguasa maka Indonesia berhak atas teritori Papua sebagai daerah dalam kemerdekaan Indonesia dari Belanda sebagai negara penguasa sebelum Indonesia merdeka.

Kemudian saya tidak ingin terlibat dalam diskusi tentang pandangan pemimpin-pemimpin Indonesia tentang Papua dalam sejarah Indonesia tetapi dasarkan tulisan ini pada legalitas UUD 1945 sebagai fondasi hukum Indonesia.

Saya menulis artikel ini memahami sejarah perjuangan Papua sejak awal, yaitu ketika Belanda mengumumkan Ten Years Development Plan sebagai langkah persiapan Kemerdekaan Papua secara sepihak tanpa melibatkan PBB dalam rangka proses self goverment proses di daerah koloni. Jika kita simak sejarah ini bahwa Dewan Papua dibentuk dalam rangka persiapan tersebut ketika kedua belah pihak terlibat konfrontasi merebut Papua.

Belanda sebagai negara kolonial yang jauh dari kawasan Asia Pasifik merasa kehilangan Indonesia masih berusaha mempertahankan Nederlands Niew Guinea sebagai daerah koloninya. Namun demikian sesudah Perang Dunia ke II serta pembentukan PBB sebagai badan pengatur dan pengawas dunia, maka semua proses sudah diratifikasikan dalam sebuah Piagam PBB, bahkan ditetapkan secara tegas dalam konvensi Internasional yang bernama ICCPR (International Convenant of Civil and Political Rights) maka Belandapun akhirnya terpaksa harus kehilangan seluruh daerah koloninya karena kemerdekaan, maka Papua termasuk dalam proses yang sama dengan daerah koloni lainnya.

Sesudah pembentukan PBB maka azas uti potidetis uris secara mutlak berlaku untuk Papua. Meskipun bertahun- tahun orang Papua berusaha mempersoalkan status Papua dalam NKRI, PBB tidak pernah berubah dalam prinsip Papua adalah Indonesia.

Namun demikian para aktivis Papua merdeka terus menerus memberikan informasi miring kepada rakyat Papua yang bermodalkan semangat merdeka untuk percaya bahwa Referandum seperti yang terjadi di Timor Timur dapat terjadi di Papua. Hal ini tidak benar karena status kedua daerah ini berbeda, pertama daerah yang memiliki status koloni berbeda dan hal kedua Timor Timur terdaftar di Komisi Dekolonisasi sebagai daerah koloni Portogis yang dapat menentukan nasib sendiri melalui Referandum.

Hal lain yang perlu dijelaskan disini adalah Resolusi PBB 2504 tentang Pepera yang ditetapkan di Sidang Umum PBB tahun 1969. Hasil voting negara-negara anggota PBB waktu itu 84 negara menerima Pepera dan 30 negara tidak memilih. Dan Resolusi 2504 menjadi sah bahwa azas uti potidetis uris berlaku bahwa Papua telah merdeka bersama Indonesia.

Selama ini, orang Papua percaya bahwa Belanda sudah mempersiapkan kemerdekaan Papua, tetapi jika kita telusuri proses dekolonisasi secara cermat, unsur-unsur penting menjadikan Papua sebagai sebuah daerah dekolonisasi yang berhak atas menentukan nasib sendiri tidak pernah terjadi.

Maka kesimpulannya bisa dikatakan bahwa Ten Years Development Plan untuk Papua sampai kepada Pembentukan Dewan Papua dan penetapan atribut negara seperti Bendera Papua, Lagu Kebangsaan Papua, dan simbol simbol kenegaraan Papua lainnya, hanya sebuah usaha politik kolonial untuk terus berkuasa di Papua.

Hal ini bisa beralasan karena Belanda sebagai anggota PBB yang merancang dan menyetujui serta mengetahui azas uti potidetis uris yang dianut oleh PBB maka setelah Indonesia merdeka, Papua akan terus dijajah untuk kemungkinan merdeka diluar azas ini.

Disisi lain, jika sejarah Pulau Niew Guinea tidak dipisahkan oleh penjajahan mungkin hari ini kita dapati realitas yang berbeda dengan apa yang sudah terjadi dan dipatronkan dalam sistim politik dunia.

Jadi apapun tuntutan kita, bagaimanapun usaha kita, Referandum bukan jawaban. Tanggung jawab masa depan Papua secara sah sudah diletakan bersama 250 juta bangsa Indonesia didalam Negara Republik Indonesia. Salah satu jawaban terpenting diera Reformasi dan Demokratisasi adalah UU OTOMI KHUSUS, No. 21 Tahun 2001.

Orang Negro yang disamakan seperti anjing oleh orang kulit putih Amerika kini menjadi penduduk dunia yang hebat dan memimpin Amerika karena UU Civil Right, Undang-Undang Penyamaan Hak, tahun 1961 yang dikeluarkan oleh Presiden Kennedy.

Perbedaannya, UU OTSUS tidak dikeluarkan oleh karena orang Papua disamakan dengan "monyet" tetapi oleh sebuah perjuangan merdeka yang tidak ada didalam sistim hukum dan politik PBB seperti diatas. Hak-hak kita sebagai warga negara Indonesia adalah sama diseluruh Indonesia.

Namun demikian hak-hak orang Papua menjadi istimewa karena UU OTSUS adalah wujud tanggung jawab pemerintah dan negara Republik Indonesia tentang masa depan orang Papua sebagai perintah Millenium Summit PBB tahun 2000.

Saya mendengar sendiri dari seorang pemimpin Pasifik, Tuan Barak Sopeh, Mantan Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Vanuatu ketika menyampaikan pidato dukungan Negara Vanuatu untuk Papua Merdeka di Sidang Umum Millenium, hal mana jawabannya adalah masalah Papua dibahas di Komisi 24 tentang Dekolonisasi, tetapi Papua bukan teritori atau koloni jajahan yang terdaftar di Daftar teritori yang dapat diberi self government dibawah sistim PBB, tetapi Papua adalah wilayah sah berkedaulatan Negara Republik Indonesia, maka masa depan Papua adalah masa depan Indonesia.

Indonesia berkewajiban melaksanakan masa depan Papua, maka UU OTSUS adalah wujud resmi dari sebuah tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat Papua.

Saya menulis artikel ini sebagai seorang yang pernah teribat langsung dalam perjuangan Papua Merdeka selama 30 tahun dengan menjadikan Referandum sebagai senjata perjuangan untuk merdeka.

Harapan saya agar generasi muda Papua tidak terprovokasi dengan isu Referandum. Mari berjuang didunia digital karena kebodohan saja yang akan mengalahkan Papua di era kompetisi yang kian luas dan terjadi didepan mata kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun