Di dunia yang bergerak secepat guliran layar ponsel, seni dan media sudah tidak bisa lagi dipisahkan. Keduanya adalah denyut yang sama dari satu nadi besar: cara manusia menafsirkan keberadaannya. Hari ini, ketika gambar, suara, dan gerak berpadu dalam layar lima inci, kita menyaksikan bab baru dalam sejarah peradaban estetika — bab di mana klik menjadi bentuk ritual, dan scroll menjadi cara baru manusia membaca dunia.
Namun di balik semua kemudahan itu, muncul pertanyaan yang jauh lebih tua dari teknologi itu sendiri: apakah seni masih bisa disebut "seni" ketika diciptakan oleh mesin? Apakah manusia masih punya ruang untuk rasa, jika algoritma ikut menentukan selera dan makna?
Baca: Kotak Media di Kota Pesta: Musim ke -1 (Bagian I)
Pertanyaan inilah yang membuat pengkajian media seni menjadi medan yang bukan hanya akademik, tapi eksistensial. Ia menguji ulang apa arti menjadi manusia di tengah tumpukan kode, sinyal, dan simulasi.
Medium yang Menjadi Pesan
Marshall McLuhan, jauh sebelum era TikTok dan AI art, pernah memperingatkan bahwa "the medium is the message." Artinya, bukan hanya isi pesan yang membentuk manusia, tapi juga cara ia disampaikan. Ketika televisi, film, atau media sosial menjadi bagian dari keseharian, sesungguhnya kita sedang dibentuk oleh logika masing-masing medium itu — oleh kecepatannya, tampilannya, bahkan cara kita menatapnya.
Dalam konteks seni, hal ini berarti bahwa sebuah karya digital tidak hanya berbicara lewat apa yang ditampilkan, tapi juga lewat bagaimana ia hadir. Seni video, misalnya, membawa logika waktu; seni instalasi membawa logika ruang; sementara karya AI membawa logika komputasi. Maka memahami media berarti membaca "bahasa dalam bahasa," lapisan di balik tampilan visual yang kita konsumsi setiap hari (McLuhan, Understanding Media, 1964).
Baca: Kotak Media di Kota Pesta: Musim ke - 1 (Bagian II)
McLuhan, tentu saja, tidak hidup di zaman Reels atau NFT. Tapi ide dasarnya tetap segar: setiap medium menyembunyikan kekuatan sosial di balik estetika. Ia tidak netral. Ia membentuk cara berpikir, cara berinteraksi, dan bahkan cara berempati.
Melihat dan yang Dilihat
John Berger (1972) dalam Ways of Seeing menulis bahwa cara kita melihat sesuatu tidak pernah polos. Ia selalu diwarnai oleh kebudayaan, kekuasaan, dan teknologi. Dalam seni rupa tradisional, misalnya, penonton ditempatkan sebagai pengamat pasif; sementara dalam seni digital, penonton berubah menjadi partisipan — penulis komentar, pencipta ulang, atau bahkan algoritma kecil dalam sistem besar interaksi.
Di sinilah batas antara pencipta dan khalayak menjadi kabur. Seni tidak lagi hanya "ditampilkan," melainkan "dijalani." Video pendek, meme, dan fan edit menjadi bentuk ekspresi baru yang hidup dari logika partisipasi. Berger mungkin akan tersenyum menyaksikan bagaimana setiap remaja kini menjadi "kurator pandangan" di akun media sosialnya, tanpa sadar sedang mengolah citra, narasi, dan makna dalam format mikro.