Mohon tunggu...
Ari J. Palawi
Ari J. Palawi Mohon Tunggu... Petani Seni dan Akademisi

The Sonic Bridge Between Tradition and Innovation

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kampus Bukan Cuma Pabrik Ijazah: Saatnya Jadi Rumah Ide untuk Masa Depan

22 September 2025   00:15 Diperbarui: 22 September 2025   00:15 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Music Department, University of Hawai'i at Manoa (2014)

Kita sering dengar jargon “Generasi Emas 2045”. Kedengarannya keren banget, seolah Indonesia bakal glow up pas umur 100 tahun merdeka. Tapi, kalau lihat realita kampus hari ini, masih banyak PR.

Kuliah sekarang makin gampang diakses. Kampus tumbuh di mana-mana, dan banyak anak muda bisa jadi sarjana. Tapi faktanya, lebih dari sejuta sarjana masih nganggur (data BPS, 2025). Jadi jelas, punya gelar nggak otomatis dapet kerja.

Masalahnya, kampus sering dianggap kayak pabrik ijazah. Padahal peran aslinya jauh lebih besar: melahirkan ide kritis, jaga akal sehat publik, dan bantu arah bangsa. Sayangnya, dosen kebanyakan sibuk ngurus administrasi (survei Kompas 2025 nunjukin rata-rata dosen kerja 56 jam seminggu, 11 jam buat laporan aja 😅). Mahasiswa pun sering lebih fokus ngejar IPK daripada pengalaman nyata.

Poster Milad Universitas Syiah Kuala ke-56 tahun 2017
Poster Milad Universitas Syiah Kuala ke-56 tahun 2017

Sebenarnya ada harapan. Aturan baru (Kepmendiktisaintek 63/2025) udah mulai ngakuin karya seni, inovasi sosial, bahkan riset praktis sebagai prestasi setara jurnal ilmiah. Mantap kan? Tapi semua itu bisa mentok kalau birokrasi kampus nggak mau berubah.

Kalau lihat ke luar negeri, ada banyak contoh keren. Finlandia bikin mahasiswa terbiasa problem solving real. Jerman punya sistem kuliah + kerja bareng industri. Korea Selatan gas pol di riset teknologi sambil bikin kurikulum global. Artinya, kampus bisa kok tetap akademis tapi relevan buat dunia nyata.

Indonesia juga punya modal. Riset internasional nunjukin masyarakat kita cukup percaya sama ilmuwan, bahkan lebih tinggi dari rata-rata global. Tapi masalahnya, riset sering nyangkut di jurnal, jarang nyampe ke masyarakat. Akhirnya, kampus dicap “menara gading”. Solusinya? Buka dialog! Bisa lewat literasi sains di komunitas, riset bareng warga, atau citizen science biar publik ikut nimbrung di penelitian.

Nah, buat Gen Z dan Gen Alpha, tantangan ke depan makin kompleks. Ada AI yang makin pintar, krisis iklim yang makin nyata, sampai dunia digital yang makin toxic. Skill yang dibutuhin bukan cuma siap kerja, tapi juga:

  • Bisa mikir kritis lawan algoritma,
  • Punya empati di ruang digital yang polarisasi,
  • Berani bikin solusi nyata buat masalah lingkungan.

Jadi, kampus perlu direposisi. Administrasi ribet harus dipangkas. Kurikulum wajib kasih ruang lintas disiplin: bikin energi alternatif di desa, bikin teater komunitas, atau startup sosial. Dana pendidikan harus jadi investasi masa depan, bukan sekadar nutup biaya rutin. Dan jangan lupa, kebebasan akademik penting banget biar kampus jadi ruang pikir yang merdeka.

Pertanyaan buat kita semua: di 2045 nanti, kampus masih mau jadi pabrik ijazah atau beneran jadi rumah ide? Tempat dosen bisa mikir bebas, mahasiswa bisa mimpi besar, dan masyarakat ikut terlibat. Kalau itu kejadian, generasi emas bukan cuma slogan pemerintah, tapi kenyataan yang kita wujudkan bareng-bareng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun