Sore itu, sebuah studio TVRI di Banda Aceh dipenuhi orang. Kamera bersiap, lampu menyala, dan seorang lelaki tua duduk bersila di atas panggung. Di hadapannya ada pedang kayu, boneka plastik, sehelai sarung berwarna merah biru, dan sebuah rapa'i. Dari kursinya ia mulai bercakap—kadang mendendangkan pantn, kadang melagukan doa, kadang menirukan suara pintu diketuk atau kapal dagang yang masuk pelabuhan. Penonton bergelak, lalu hening, lalu hanyut.
Nama lelaki itu Teungku Haji Adnan PMTOH. Bagi sebagian orang Aceh, ia bukan sekadar pencerita, tapi perantara. Lewat suaranya, masa lalu bisa ditarik mendekat, dan kegelisahan masa kini bisa diolah jadi kisah.
Adnan lahir di Meukek, Aceh Selatan, tahun 1931. Hidupnya tidak langsung di panggung. Ia memulai karier sebagai pedagang obat keliling. Dari pekerjaan itulah ia mengasah kemampuan berpidato, melucu, menirukan suara, bahkan berimprovisasi untuk meyakinkan pembeli. Jalanan adalah sekolah pertamanya. Ketika kemudian ia menekuni tradisi hikayat, semua modal itu terbawa. Hikayat yang biasanya dibacakan panjang dan kaku, olehnya diubah menjadi peristiwa teaterikal. Ia menambahkan musik, gerak, boneka, bahkan suara-suara tiruan yang membuat penonton merasa hadir langsung di dalam cerita.
Bagi masyarakat Aceh, hikayat bukan sekadar cerita rakyat. Ia adalah cara memahami hidup, mengajarkan moral, juga menyalakan imajinasi kolektif. Ada hikayat perang, hikayat cinta, hikayat nasihat, dan hikayat sejarah. Semuanya menyatu dalam satu benang: kata-kata yang hidup. Di tangan Adnan, hikayat terasa sangat cair. Ia bisa mulai dengan doa, lalu tiba-tiba berubah jadi adegan pasar yang ramai. Ia bisa menirukan seorang ayah yang bijak, lalu dalam detik berikutnya menjadi seorang putri yang manja. Tidak ada jarak antara panggung dan penonton; yang ada hanyalah rasa kebersamaan.
Salah satu repertoar terkenalnya adalah seri Hikayat Raja Lahuda Dang Deria, terutama episode Putri Lahuda Peukan Mencintai Bang Gam Rimba. Sekilas, hanya cerita percintaan: seorang putri jatuh hati pada pemuda yang ternyata keturunan sultan. Tetapi di balik kisah romantis itu, Adnan menyelipkan banyak hal: cara berdagang yang curang, akibat kesombongan seorang saudagar, juga tegangan antara peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga Aceh. Semua dibungkus dengan humor. Misalnya, saat memerankan putri yang gelisah, ia menggunakan boneka kecil, lalu menirukan suara perempuan dengan nada tinggi. Penonton tertawa, tetapi juga menangkap pesan: cinta, bisnis, dan adat tidak pernah berdiri sendiri.
Keberanian Adnan justru sering mengundang keberatan. Ia kerap memerankan tokoh perempuan, lengkap dengan pakaian dan suara. Bagi sebagian ulama, itu menyalahi batas agama. Tetapi Adnan punya bekal yang tidak dimiliki setiap seniman: ia seorang teungku sekaligus haji. Status itu memberinya otoritas moral. Orang bisa mengkritiknya, tapi sulit mengabaikan pengaruhnya. Ia menjadikan panggung sebagai ruang tawar-menawar antara agama, adat, dan kenyataan hidup. Ia tahu bahwa hidup tidak pernah hitam putih, dan hikayat justru berfungsi untuk menyalakan percakapan di ruang abu-abu itu.
Apa yang membuat pertunjukan Adnan begitu penting bukan sekadar kelucuan atau inovasi. Ia menjembatani generasi. Orang tua yang akrab dengan hikayat klasik bisa menemukan gema lama dalam syairnya. Anak muda yang mungkin bosan dengan teks panjang bisa terhibur dengan improvisasi, suara-suara, dan gerakan panggungnya. Dengan kata lain, Adnan membuktikan bahwa tradisi bisa relevan bila ada yang mau menghidupkannya ulang. Ia tidak hanya menjaga masa lalu, tapi juga membuatnya berguna untuk sekarang.
Ketika Adnan wafat pada Juli 2006, majalah Tempo menulis, "Aceh kehilangan seorang juru bicara Indonesia dan seniman besar." Kata-kata itu terasa makin berat karena sebagian besar rekaman penampilannya musnah saat tsunami 2004 melanda. Banyak generasi setelahnya hanya mendengar cerita, tanpa pernah menyaksikan langsung. Dan memang, gaya Adnan sulit diwarisi. Terlalu personal, terlalu kompleks, sekaligus terlalu berani. Tidak banyak yang punya keberanian tampil sebagai perempuan di tengah masyarakat yang kian konservatif. Tidak banyak pula yang sanggup menggabungkan suara, syair, musik, dan humor dalam satu tubuh.