Langkah-langkah tersebut hanyalah contoh awal. Yang terpenting adalah semangat kolaborasi: Aceh dan Sumut menjadi mitra, bukan rival. Pemerintah dan masyarakat kedua provinsi dapat meningkatkan dialog kebudayaan, misalnya lembaga adat Aceh dan wakil tradisi Mandailing rutin bertemu. Perguruan tinggi dan lembaga riset bisa menggarap kajian bersama tentang sejarah Aceh—Sumut, dipublikasikan secara terbuka. Pendidikan tinggi di Medan dan Banda Aceh dapat memperkuat studi lintas budaya Sumatra Utara-Aceh. Dengan membangun jejaring kebudayaan, Aceh-Sumut tidak hanya menghubungkan wilayah, tapi juga menghidupkan narasi bersama.
Pada akhirnya, hubungan Aceh dan Sumut seharusnya menjadi pesan bagi bangsa. Keberagaman di dua provinsi ini merupakan cermin kekayaan Sumatran dan kebhinekaan Indonesia. Jika Aceh kembali meneguhkan jati dirinya, ia "kembali menyala, menjadi cahaya hulu... bagi mereka yang mencari arah di ujung dunia". Dan seperti diingatkan kajian pembangunan Medan, dalam dunia yang serba cepat pun "nilai-nilai... tidak boleh ditinggalkan". Aceh dan Sumut memiliki kesempatan berharga untuk memperlihatkan bahwa perbedaan budaya bukan pemecah bangsa, melainkan kekuatan bersama. Dengan kerendahan hati dan visi kebudayaan yang inklusif, kolaborasi Aceh-Sumut bisa menjadi inspirasi nasional—membuktikan bahwa Negara Kesatuan RI justru diperkuat oleh keragaman dan jalinan nilai budaya antardaerah.
Sumber: Analisis berbasis literatur kebudayaan Sumatra dan Aceh, dokumen kebijakan provinsi, serta laporan media terkait isu empat pulau.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI