Setiap tanggal 17 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Buku Nasional yang bertepatan dengan Hari Perpustakaan Nasional. Momentum ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan pengingat pentingnya literasi dalam membangun peradaban bangsa.
Sejatinya, konsep literasi bukanlah hal baru. Ia telah hadir sejak wahyu pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melalui perintah "Iqro!"---bacalah. Sebuah seruan agung yang menandai awal peradaban berbasis ilmu dan pengetahuan. Lebih jauh lagi, salah satu pendiri bangsa, Mohammad Hatta, pernah menyatakan, "Aku rela dipenjara asal bersama buku, karena dengan buku aku bebas." Ungkapan itu menegaskan bahwa membaca bukan hanya soal mengisi waktu, melainkan jendela untuk meraih kemerdekaan intelektual.
Membaca: Barometer Kemajuan Bangsa
Budaya membaca adalah indikator utama kemajuan suatu bangsa. Barometer ini diukur melalui pertumbuhan intelektual masyarakat, banyaknya publikasi buku yang diterbitkan, hingga kemampuan literasi warga negara dalam memahami, menganalisis, dan memanfaatkan informasi. Negara-negara maju seperti Finlandia dan Jepang, misalnya, menempatkan literasi sebagai pilar strategis dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM).
Namun, realitas di Indonesia masih jauh dari ideal. Berdasarkan data Perpustakaan Nasional tahun 2024, dari total 83 ribu desa dan kelurahan di Indonesia, baru sekitar 27 ribu (setara 33%) yang memiliki perpustakaan. Ketimpangan infrastruktur literasi ini menjadi tantangan serius dalam membangun ekosistem pengetahuan yang merata.
Dampak Rendahnya Literasi
Rendahnya tingkat literasi membawa dampak sistemik terhadap pembangunan nasional. Beberapa konsekuensi nyata antara lain:
- Kualitas SDM yang rendah, yang berdampak pada produktivitas dan daya saing.
- Hambatan dalam inovasi dan penguasaan teknologi, yang menghambat transformasi digital.
- Kesenjangan sosial dan ekonomi akibat terbatasnya akses terhadap informasi dan pendidikan.
- Efisiensi ekonomi yang buruk, karena masyarakat sulit memahami dan memanfaatkan peluang ekonomi berbasis informasi.
Masalah literasi tidak bisa diselesaikan secara sektoral. Ia merupakan masalah multidimensional dan bersifat kausal. Artinya, saling terkait antara satu aspek dengan lainnya, mulai dari kualitas pendidikan, fasilitas baca, hingga budaya yang berkembang di masyarakat. Penanganannya pun harus menyeluruh, dari hulu ke hilir.
Terobosan Baru dari Perpustakaan Nasional
Dalam keterbatasan anggaran, Perpustakaan Nasional RI tetap bergerak. Pada peringatan Hari Buku dan Perpustakaan Nasional 17 Mei 2025, mereka meluncurkan serangkaian program strategis yang berorientasi pada penguatan layanan dan perluasan akses terhadap bacaan berkualitas. Empat program unggulan tersebut antara lain :
- Perluasan ruang baca masyarakat melalui distribusi buku-buku bacaan bermutu ke wilayah pelosok.
- Program KKN Tematik Literasi yang melibatkan 1.500 mahasiswa di 1.000 desa, sebagai agen perubahan budaya baca.
- Program Relawan Literasi Masyarakat, yang aktif mendampingi warga dalam pelatihan dan kegiatan literasi fungsional.
- Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial, yang terbukti meningkatkan prestasi akademik sebesar 85%, keterampilan TIK sebesar 91%, dan menciptakan peluang kerja hingga 72% (sumber: kompas.id).