Mohon tunggu...
Arini Saadah
Arini Saadah Mohon Tunggu... Suka nulis, tapi tidak tahu apa yang hendak ditulis.

Pernah menjadi mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi di Ponorogo.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wali atau Tidak, Gus Dur Tetap Maestro Keberagaman

7 Januari 2020   22:16 Diperbarui: 7 Januari 2020   22:27 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya orang yang picik dan tidak menyukai indahnya keberagaman yang tidak mencintai Gus Dur. Presiden ke-4 Republik Indonesia ini memang menjadi sang maestro keberagaman akibat pikiran dan tindakan revolusioner yang ia lakukan. Sang Kyai ini memang sering melakukan hal-hal yang bahkan tidak terpikirkan oleh pikiran orang awam.

Aku mengenal (mengetahui) tokoh Gus Dur dari cerita dan diskusi kawan-kawanku di warung kopi, forum, dan sekret UKM ketika masih mahasiswa dulu. Aku pun tidak banyak membaca buku-buku Gus Dur. Namun, aku menyukai sosoknya karena begitu mencintai keberagaman. Bahkan, tindakan toleransinya terhadap pemeluk agama lain membuat banyak orang cemburu.

Sebagai upaya menanamkan kecintaan generasi muda terhadap toleransi dan keberagaman, diskusi yang membahas pemikiran Gus Dur pun banyak digelar. Beberapa waktu lalu, tepatnya 5 Januari 2020, aku bergabung satu forum dengan Aan Anshori, yang merupakan koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi atau disingkat JIAD. Forum yang digelar oleh Jaringan Gusdurian Ponorogo itu menurutku cukup unik. Peringatan satu dekade Haul Gus Dur itu diisi dengan orasi kemanusiaan. Aan Anshori sebagai oratornya.

Bagi saya, yang menarik dari orasi Aan Anshori yang berjudul "Membaca Gus Dur dengan Tafsir Lain" itu adalah bahwa Gus Dur, sosok yang pernah menduduki jabatan presiden itu (meski hanya singgah) adalah sosok wali. Membaca pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid, tidak hanya bisa dibaca dari kacamata sosial yang rasional dan empiris, serta positivistik. Karena, pemikiran Gus Dur berkelindan dengan laku kehidupan dengan diliputi kejadian suprarasional.

Ternyata, kewalian seseorang itu bisa diretas. Bagi saya yang masih awam ini tentu saja perkara yang bagi saya adalah absurd, namun menjadi tampak nyata karena argumen dasar yang dilontarkan aktivis gusdurian Jombang itu.

Sebelumnya, mari kita telisik terlebih dahulu definisi wali Tuhan. Saya mengutip dari laman NU Online, jika rasul itu bersifat ma'shum atau terjaga dari kemaksiatan. Maka wali bersifat mahfudz yang artinya selalu dalam penjagaan Allah baik dalam taat maupun khilaf.

Kewalian itu ada yang bersifat sirri (tersembunyi), ada juga yang bersifat jahri (terang-terangan, jelas). Berdasarkan pendapat dari Ibnu Athaillah, Allah menyatakan sebagian wali-Nya, dan menyembunyikan sebagian wali-Nya di dalam masyarakat tanpa diketahui seseorang. Lantas, bagaimana kita mampu mendeteksi seorang wali atau bukan, pasalnya wali juga manusia biasa yang hidup berdampingan dengan manusia lainnya?

Di dalam kitab Syarhul Hikam karya Syekh Ibnu Abbas juz II halaman 2, mencantumkan keterangan Guru dari Ibnu Athaillah, Syekh Abul Abbas Al Mursi pernah mengatakan "Mengenal wali lebih sulit dari mengenal Allah. Allah dapat dikenali dengan kesempurnaan dan keindahan-Nya. Tetapi, mengenal wali lebih sulit karena wali sama seperti manusia biasa. Karena ia makan sebagaimana kita makan, ia juga minum sebagaimana kita minum.

Kemudian, Ibnu Athaillah berkata di Lathaiful Minan, "Jikalau Allah menghendakimu kenal dengan salah satu wali-Nya, maka Allah akan melipat unsur manusiawinya di matamu, dan Allah memperlihatkanmu keistimewaannya."

Gus Aan, begitu sapaan akrab Aan Anshori, mengatakan Gus Dur ini memiliki ciri kewalian yang jahri. Alasannya sangat sederhana sekali, yaitu karena banyaknya orang yang mengunjunginya pasca wafat. Bahkan Gus Dur yang telah terkubur itu bisa menghidupi manusia yang hidup. Menurut saya ini fenomena extra ordinary.

Sekitar 250 juta setiap bulan dihasilkan dari makam Gus Dur. Dana itu digunakan untuk menghidupi jutaan umat, disumbangkan, disedekahkan untuk kemanusiaan. Bayangkan, orang mati bisa menghidupi orang yang hidup. Apa sebutannya kalau bukan wali? Saya saja yang masih hidup, menghidupi diri sendiri saja susah.

Di dalam buku Ritual Gus Dur dan Rahasia Kewaliannya, yang ditulis oleh Gus Nuril Soko Tunggal dan Khoerul Rosyadi, keduanya melihat Gus Dur sebagai wali, karena memang Gus Dur merupakan trah keturunan darah biru yang sangat kuat dan tajam nuraninya untuk menangkap isyarat langit. Bagaimana tidak, kedua kakeknya, merupakan tokoh kharismatik pemimpin tertinggibdi dalam tubuh ormas besar saat ini, yaitu Nahdlatul Ulama. Tentu saja, leluhur Gus Dur berperan besar dalam membentuk sosok Gus Dur sebagai tokoh yang terjaga spiritualnya.

Baiklah, kita geser dulu ke konsep kewalian, yang lebih rasional. Wali itu di dalam term ada tiga arti: lover (Pencinta), protector (menjaga nama nama Tuhan supaya tetap di hati manusia), pengasih dan penyayang (perasaan yang menunjukkan kasih sayang pada orang yang sakit, miskin, dll). Artinya, seorang wali akan memberikan kehangatan kepada orang yang kedinginan, memberikan kesejukan kepada orang yang sedang kepanasan, memberikan ketenangan di dalam sengkarut urusan kehidupan, dan membimbing manusia ke jalan yang Allah berkahi.

Bagi sebagian masyarakat di Indonesia, bahkan dunia, telah mengakui kesejukan yang dibawa oleh Gus Dur. Pemikiran-pemikirannya yang revolusioner membuatnya terkenal sebagai intelektual publik. Tulisan-tulisannya memenuhi media cetak (seperti media Tempo dan Kompas) pada zamannya. Hingga akhirnya ia terjun ke dalam dunia politik. Meskipun begitu, ia tetap menegaskan "Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan."

Sebenarnya, tanpa embel-embel wali ataupun tidak, Gus Dur tetaplah menjadi primadona berkat keteguhannya dalam bekerja untuk kemanusiaan dan toleransi. Bagi saya yang menarik dari sosok Gus Dur karena ia memposisikan humanity di atas segalanya. Barangsiapa yang rajin sholat, akan tetapi tidak membuatnya semakin berperikemanusiaan dan berkeadilan maka tentu saja ada yang salah dengan cara beragamanya.

Hal yang membuat kita sebagai muslim prihatin adalah, masih banyak golongan muslim yang mengutamakan identitas keagamaannya dalam kerja kemanusiaan. Untuk sekedar membantu korban bencana alam misalnya, tidak perlu lah kita tanya dulu apa agamanya baru kita tolong. Semua manusia, apapun agamanya, apapun kepercayaannya, selama kita sadar bahwa kita adalah manusia, maka sudah menjadi kewajiban kita menolongnya.

Inilah kenapa, Gus Dur rela menggadaikan identitasnya supaya setara dengan kelompok-kelompok minoritas di muka bumi ini, khususnya bumi nusantara. Ia menghadiri perayaan natal umat kristiani, hanya untuk memberikan gambaran bahwa semua agama adalah sama posisinya. Gus Dur berusaha keras supaya tidak ada umat agama yang dipersekusi.

Hidup di era isu sentimen agama membuat kita rindu akan kehadiran Gus Dur. Bagaimana tidak, cara beragama yang bersifat primordialisme membuat seseorang atau kelompok menganggap bahwa agamanya lebih utama dari yang lain. Akibatnya ia merendahkan bahkan mencaci agama lain dengan kaku.

Perasaan fanatisme golongan inilah yang berusaha diredam oleh Gus Dur. Akan tetapi, bagaimanapun usaha para penggiat keberagaman, sektarianisme ini masih saja hidup subur di masyarakat Indonesia. Padahal Gus Dur pernah mengatakan, bahwa kemajemukan harus bisa diterima tanpa perbedaan.

Saya akan menutup artikel saya ini dengan sebuah puisi yang disampaikan oleh kawan-kawan komunitas ketika malam pentas peringatan satu dekade Haul Gus Dur kemarin. Puisi tersebut merupakan kutipan kata-kata Gus Dur yang mungkin bagi sebagian Gusdurian (para penganut pemikiran Gus Gur) sudah mengetahuinyan. Gus Dur pernah menasehati, "Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya, merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya."

Salam kedamaian dan salam keberagaman untuk kita semua!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun