Benak Sita sekonyong-konyong melayang ke momen itu, masa remaja SMP yang sudah peka terhadap penilaian orang-orang. Dirinya sering mengeluh karena tidak secantik Sri, dan Sri sering minder karena bukan orang berada sepertinya. Mereka bertetangga, rumahnya berhadapan-hadapan, orangtua Sita bertitel haji tajir punya toko kelontong dan matrial. Sementara orangtua Sri, buruh serabutan dengan rumah tua yang lebih cocok disebut gubuk, begitu kata orang-orang.
Sita dan Sri selalu memperbandingkan nasib bak bumi dan langit di antara mereka. Saling menginginkan kelebihan masing-masing yang tidak dipunyai. Jomplangnya kesenjangan sosial, menuntun mereka menapaki masa depan berbeda. Jika Sita didorong fokus mengejar pendidikan, sedang Sri dibebani keharusan membantu mengikis himpitan ekonomi keluarga, meskipun belum cukup dewasa.
Sri satu-satunya harapan Mak Titien dan Bah Wardi, sebab anak lelaki sulungnya bernasib naas terkubur hidup-hidup saat bekerja menggali pasir. Ia sempat dilema antara harus bekerja atau menerima pinangan satu dari banyak lelaki yang di antaranya menjanjikan harta. Sita pernah bilang,"Masih kecil jangan nikah dululah, Sri." Nadanya memelas berharap agar sang sahabat tidak asal mengambil keputusan. Beruntung pendapatnya didengar lantas Sri mengukuhkan hati pada niat awalnya. Bekerja.
Sewaktu Sita duduk di kelas dua SMA, secara mengejutkan Sri pulang dari kota dan memutuskan menikah. Kenapa begitu tiba-tiba? Pertanyaan penuh heran dan penasaran itu, terjawab saat usia perkawinan baru enam bulan, tetapi sudah melahirkan. Sebagai sahabat, Sita tak bisa lolos dari rasa kecewa, pikirnya saat itu Sri sungguh-sungguh dengan niatnya. Lebih-lebih bikin miris amat pendek umur perkawinannya.
"Ada banyak yang kusesali, Ta. Kali ini aku benar-benar pengen niat cari kerja, janji bikin mereka senang. Si Juita biar Mak sama Bapak yang asuh, aku yang cari duit."
Sita ingat betul Sri pernah mengatakan itu dan tak lama setelahnya tidak tahu ke mana ia pergi. Pokoknya orangtuanya bilang ia kerja ke tempat yang jauh dan setelah berbulan-bulan tidak ada kabar, Sita berhasil mendapati jejaknya dari media sosial. Namun, secara penampilan, Sri bukanlah Sri yang dulu. Ia bertransformasi menjadi perempuan kota penuh gaya dan berani. Kian molek juga seksi. Sita dibuat shock melihatnya.
Gaya hidupnya melejit bak kelas elite, mall, hotel, kolam renang besar, apartemen, klub malam, pernah Sita lihat dari unggahan yang akunnya disamarkan namanya. Sering pula ia bepergian ke berbagai kota, seminggu bisa update pelesiran di Bali, minggu selanjutnya ada di Lombok, lalu tahu-tahu sudah di Palembang atau ibu kota. Mutar-mutar entah apa yang ia kerjakan dan pergi bersama siapa. Ia tidak tahu sampai sejauh itu.
Perlahan demi perlahan keluarganya di kampung mulai mujur nasibnya, rumah gedong berpagar beton menjelma jadi hunian mereka, Mak Titien dan Juita dipakaikan banyak perhiasan emas. Bah Wardi dibelikan tanah, sawah dan dimodali. Satu dekade lebih merantau, hidupnya semakin makmur. Tentu peningkatan taraf hidup yang menggiurkan, memunculkan banyak atensi dan tanya bahkan sampai masyhur nyaris seantero desa.
"Kerja apa si Sri?"
"Di mana dia bekerja?"
Katanya ini? katanya itu? Pertanyaan-pertanyaan dan omongan yang kerap diselipi perasaan dengki, tidak pernah terjawab pasti. Keluarganya tak pernah benar-benar terus terang, apa pun desas-desus yang berseliweran cukup dihadapi dengan bungkam. Perempuan itu pun senantiasa menjaga muka keluarga, setiap pulang yang kadang setahun sekali hanya lebaran, tidak pernah menunjukkan sisi berbeda dalam dirinya seperti yang ia kenakan dan tampilkan di perantauan, pun tak bersolek kelewatan.