Nanar tatapan Sita melihat kondisi fisik teman karibnya dulu, Sri, tergolek lemah di ranjang besar nan bagus itu. Kenapa bisa sampai seperti ini? Batin Sita getir. Setelan piyama yang biasanya terlihat nge-pas kini tampak longgar. Tubuhnya menyusut, kulitnya kehilangan seri, mengering seperti terhisap sesuatu sampai merusak kemolekannya.
Dulu mana ada keriput dan mata panda, justru kini kebalikannya. Sorot mata penuh pesona itu telah redup tak memancarkan cahaya yang kata para lelaki kerap menggoda. Pun paras paripurna yang selalu jadi buah bibir berubah pias kehilangan daya pikatnya. Rambut hitam legam dan panjangnya sudah tak terlihat jejak perawatan, hanya diikat asal. Miris, Sita nyaris tak percaya yang ia lihat adalah Sri yang dikenalnya.
Penyakit apa yang bersarang di tubuh, Sri? Benak Sita mulai dirong-rong kekhawatiran yang telah lama ia pendam. Namun, ia cepat enyahkan pikiran itu, lagian keluarga punya alasan sendiri bahwa Sri terjangkit tipes ke semua orang yang menanyakan.
Beberapa bulan ke belakang saat masih di rantau, kabar sakit janda kembang satu anak ini pernah terdengar. Seperti yang lainnya, Sita pikir cuma sakit biasa dan pulih secepatnya, tahunya makin parah sampai harus pulang kampung dan dirawat oleh keluarganya.
"Di kota aku sudah bosan keluar masuk rumah sakit, Ta. Biar saja di kampung kan dirawat Mak. Si Juita juga marah ditinggal terus, pengen liat ibunya lama di rumah," sahutnya lemah disusul batuk kering di balik maskernya. Urat-urat di pelipisnya menggurat menegang, mimiknya kentara kesakitan membuat siapa saja yang melihatnya meringis kasihan.
Sita mengiyakan, setuju dengan keputusannya, buat apa pula kalau sakit-sakitan memaksakan bertahan di rantau. Sementara di sini punya rumah, ada orang tua dan anak. Apalagi Juita sudah berumur tiga belas, ditinggal mengembara olehnya dari umur dua tahun tepat sebulan cerai dari suaminya, Marwan, yang bertemu di kota tempat kerjanya dulu.
Selama merantau ke sana kemari pernah ada selentingan bahwa dirinya kawin siri dengan beberapa lelaki. Namun, kabar itu sampai saat ini tidak pernah diiyakan atau disangkal, keluarga tidak merasa perlu bicara apa pun sebab tentang anaknya bukan urusan orang lain.
***
"Kau mending banyak yang suka, Sri. Aku mana ada?" seru Sita saat Sri merendahkan dirinya sendiri karena keadaannya.
"Kau lebih beruntunglah, Ta! Anak orang kaya, apalah cantik doang kalau nggak punya apa-apa tetap direndahkan, dihina-hina!"