Mohon tunggu...
Rinrin
Rinrin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Loteng Tante Amara

3 Maret 2024   16:13 Diperbarui: 21 Maret 2024   20:59 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah berloteng (unsplash.com/@vonshnauzer)

Gelitikan jari-jemariku pada perut buncit Kuroi seketika terhenti, sedari tadi aku tak berhenti terkikik karena Kuroi begitu lucu, tetapi setelah mendengar sesuatu dari atas, semuanya berubah menjadi mendebarkan. Kuroi tak lagi meronta manja, pandangannya sama denganku tertuju ke langit-langit. Kuroi mengeong berkali-kali sembari tetap melihat ke atas, mataku turun naik antara Kuroi dan langit-langit. Aku menelan ludah seturut dengan itu darahku berdesir hebat, suara derap langkah yang bersumber dari loteng semakin tak terbendung. Kuroi tiba-tiba melompat dari kasur lari terbirit-birit keluar kamar dan aku pun mengikutinya. Kucing Persia berbulu sepekat arang itu naik ke tangga dengan cepat. Belum juga kakiku menapaki anak tangga pertama, suara Tante Amara lebih dulu menghentikanku.

"Mau apa ke atas?" 

Napasku tercekat. Astaga! Kenapa dia tiba-tiba muncul seperti itu? Jantungku serasa menggelosor, shock. "M---engejar Kuroi," kataku agak tersendat-sendat.

Dia datang dari balik tangga yang gelap, tangannya membawa empat tangkai bunga peony segar berwarna putih dan pink muda. Kusadari rambut sebahu dan piyama satin putih panjang yang dikenakannya ternyata basah. Di luar tengah hujan dan tangannya menggenggam bunga. Ah, rupanya dia menerobos hujan untuk mengambil peony di taman depan. Pertanyaannya, buat apa dia repot-repot memetik bunga saat hujan dan hari sudah gelap? Bagiku itu hal yang aneh, tapi sayang aku tak cukup nyali untuk menanyakannya.

"Tidak perlu dikejar. Kuroi pasti ingin memburu tikus yang bersarang di loteng," pungkasnya. 

Tante Amara melemparkan tatapan peringatan padaku. Aku mundur dan kembali masuk kamar. Memangnya tikus-tikus di atas sebesar apa? Sampai-sampai suaranya tidak mengindikasikan bahwa itu berasal dari binatang. Tanteku memberi pernyataan seolah aku ini anak TK yang senang menyimak dongeng sebelum tidur. Jika anak kecil akan tidur nyenyak setelah dibacakan dongeng, aku malah dihantui kegelisahan. Lagian itu loteng berisi apa? Sejenis gudang yang diisi dengan benda-benda usang, kah? Sehingga tikus beranak-pinak tumbuh menjadi spesies sebesar tapir? Apa pun yang ada di atas dan bagaimanapun keadaannya, aku sangat penasaran, terlepas dengan suara-suara aneh itu.

Sebelum duduk di ranjang kusempatkan menengadah, suara itu hilang tapi tak lantas membuatku tenang. Hujan semakin deras saja, gemuruhnya sesekali terbelah oleh petir yang mengkilat-kilat merobek gelapnya angkasa. Karena cuaca begitu buruk rasanya sia-sia berharap bisa memperoleh sinyal dan barang tentu aku tak bisa menelpon Farhan, suamiku. Malam kedua di sini aku harus tidur sendirian, Farhan benar-benar sibuk. 

Sepertinya hanya tiga jam aku terlelap, berharap terbangun saat hari sudah terang, ini malah pukul sebelas malam. Kesalnya harus terjaga dibangunkan paksa oleh gelegar guntur dahsyat. Perasaanku kalut, peluh mendadak banjir melumat tubuh yang mulai gemetar. Sebelumnya aku tak pernah mendengar guntur sekeras itu, aku menyesal ikut Farhan bekerja ke luar kota. Malam kemarin ketika ada suara-suara aneh dari atas, Farhan ada bersamaku tapi saat ini aku sendirian. Aku duduk memeluk lutut berbalut selimut di ranjang, mata ini tak bisa dipaksakan terpejam, rasa haus muncul begitu mendesak sampai tenggorokanku terasa sakit. Aku memutuskan untuk tidak pergi ke dapur setelah sayup-sayup langkah naik-turun tangga menebus dinding kamar dan terekam jelas oleh telingaku yang mendadak tajam bak seekor kelelawar. Aku melirik pintu enggan, mungkinkah itu Tante Amara? Kuniatkan untuk memanggilnya tetapi sebelum mulutku bersuara, tiba-tiba listrik mati. Gelap dan engap, semuanya hitam. Berbarengan dengan rasa takut yang meletup-letup tanganku sibuk meraba-raba sekitar mencari ponsel dan setelah meraihnya, langsung kuhidupkan flashlight. Begitu ruangan agak terang pernapasanku kembali lega. Aku paling tidak bisa tidur dalam kondisi gelap. Keinginan tetap di kamar berbekal penerangan flashlight ponsel rupanya tidak bisa dipaksakan dikarenakan baterainya tersisa kurang dari setengahnya. Kalau dipakai sampai pagi, ponselku bisa-bisa mati, dengan sangat berat hati aku harus meminta lilin ke Tante Amara. Meskipun digerayangi rasa takut namun apa daya aku harus berani keluar. Sebelum kakiku menyentuh lantai aku menghela napas dalam untuk mengumpulkan keberanian. Pertama, aku berhasil melewati pintu kamar lalu mencoba menyinari setiap sudut lantai dua dengan flashlight yang penerangannya sangat terbatas. Lengang sekali sewajarnya malam hari, tetapi suasana rumah ini begitu beda, anyep. Entah karena aku seorang tamu tapi kurasa memang rumah ini agak aneh, auranya sulit untuk dijelaskan. Di ujung sana, pintu kamar Tante Amara tertutup rapat. Lalu siapa yang naik-turun tangga tadi? Aku menelan ludah, rasa takut kembali menggoyahkanku. Perlahan kualihkan pandangan ke tangga loteng yang berjarak beberapa meter di sampingku.

"ARGHHHH!" Spontan aku menjerit dengan tubuh langsung terhenyak ke belakang. Hampir terjengkang.

Dadaku terasa begitu sakit saking terkejutnya. Apa itu? Sepasang bola kecil menyala mengambang di kegelapan. Buru-buru kuarahkan flashlight ke tangga, sial sungguh sial aku merasa masuk ke dalam jebakan batman tuan muda, Kuroi, yang tengah berdiri anggun seolah sedang mengintai tikus diam-diam. Namun, untukku itu tak lebih dari sebuah permainan cilukba menjengkelkan.

Jika niatku keluar bukan untuk meminta lilin mengingat keadaannya begitu genting, sudah aku kejar kucing gendut itu dan menggelitik perutnya seperti tadi. Akan tetapi yang lebih penting saat ini adalah Tante Amara, baru saja dua langkah menuju kamar si pemilik rumah, perhatianku teralihkan oleh erangan Kuroi. Kembali kuarahkan flashlight ke tangga, di sana Kuroi mengerang sembari menatap ke atas, dia melihat apa? Aku bertanya-tanya dalam hati dengan sangat was-was.

Namun, tak ragu kuarahkan flashlight ke atas, seketika sekujur tubuhku gemetar hebat, sungguh mataku menangkap keganjilan tepat di anak tangga teratas. Sepasang kaki mungil pucat dengan gaun pink sebetis menggantung di udara tak menapaki tangga. Aku tak sanggup lagi menyinari lebih tinggi dari apa yang telah kulihat. Dengan cepat aku memalingkan wajah, dadaku seolah akan meledak sedangkan kakiku mendadak kaku tidak mau bergerak, mulutku kelu tak mampu berucap. Ketakutan yang memuncak membuatku kehilangan kendali atas tubuhku, beberapa detik aku masih mematung, kaku. Dan ajaibnya tepat gelegar guntur kembali berdentum aku mendapatkan kendali tubuhku lagi, seolah petir adalah mantra pengusir sihir yang menjadikanku sebuah batu. Tubuhku rasanya sangat lemas tapi aku masih punya sisa energi untuk berlari. Ya, berlari ke pintu kamar Tante Amara lalu mengetuknya keras-keras. "Tante Amara? Tante? Tolong buka pintunya!" panggilku tak karuan. Namun tak ada jawaban. Dengan sangat lancang kutekan gagangnya tanpa diduga langsung terbuka, di sana tidak ada siapa-siapa, jejak selimut yang tersibak meyakinkanku kalau Tante Amara pergi keluar. Mungkinkah ke atas? Aku menggeleng keras, tak sanggup jika harus menyusulnya. 

Tanpa pertimbangan sedikitpun aku memilih turun ke lantai bawah siapa tahu Tante Amara ada di sana, selain itu aku pun ingin segera menuntaskan dahaga. Setelah sampai di bawah ketakutanku tak kunjung enyah, ternyata di sana sama lengangnya seperti di atas. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Tante Amara. Dia pasti di loteng, aku semakin yakin. Dan yang paling aku takutkan dan membuatku penasaran siapa sosok sepasang kaki mungil tadi? Mendadak benakku mengingat, Rie, anak perempuan satu-satunya Tante Amara tetapi yang membuatku semakin bergidik, bocah berusia lima tahun itu meninggal setengah tahun yang lalu karena sakit. Jadi sosok itu? Mulutku otomatis menganga, sulit mempercayai hal-hal yang terlintas di kepala. Sungguh, aku merasa tengah terjebak di goa gelap berhantu. Bersamaan dengan perasaan ngeri, aku pun kesal kenapa listrik belum kunjung menyala? Menyadari tenggorokan semakin terasa perih, aku bergegas pergi ke dapur mengambil gelas lalu kutuang air dari dalam kulkas yang masih sangat dingin. Sekali teguk habis. Kucari lilin di sana, dipikir-pikir seperti maling saja mengobrak-abrik dapur orang lain demi sebuah lilin. Namun, nihil aku semakin frustasi, pikiran kacau, dada berdebar bertalu-talu, napas tersengal-sengal, peluh melumat sekujur tubuh, semua kurasakan secara bersamaan sungguh sangat gila.

Dalam hening yang mencekam, ketika suara yang mendominasi hanyalah gemericik hujan. Akhirnya aku menemukan tanda-tanda keberadaan seorang. Aku berbalik cepat lalu menatap pintu kamar mandi yang di dalamnya terdengar suara gelogok air. Aku arahkan flashlight ke sana yang hanya berjarak sekitar tiga meter saja.

"Tante? Tante ada di dalam?"

Sangat berharap mendapat jawaban tetapi yang didapat gebrakan keras dari dalam. Aku terlonjak ke belakang, tubuhku menegang. Gebrakan terus berlangsung lalu disusul dengan gagang pintunya yang bergerak-gerak seolah terkunci dari luar dan yang ada di dalam sedang berusaha minta tolong untuk dikeluarkan.

Ada dua opsi yang bisa aku pilih, buka pintu kamar mandi atau berlari. Tentu saja aku lari, melangkah sangat hati-hati mengingat suasananya yang gelap. Beberapa langkah menuju tangga, kakiku tersandung keset, kemalangan berlanjut ketika ponselku lepas dari genggaman. Flashlight hilang, semuanya gelap. Aku kepalang panik, mencoba meraba-raba lantai marmer mencari ponsel yang terlempar entah kemana. Saat masih berusaha mencari sumber peneranganku satu-satunya itu, sekonyong-konyong ada ketepak-ketepok langkah kaki dari luar, aku melongok ke asal arah lalu mendapati remang-remang cahaya dari jendela. Cahaya itu kian mendekati rumah, pintu utama bergerak, aku menelan ludah, takut. Tubuhku mengesot mundur, begitu suara pintu dibuka aku langsung mengatupkan mata. Saat itu aku berserah diri, selamat atau tidak kalau yang masuk adalah pencuri atau pembunuh nasibku ada di tangan mereka.

Beberapa detik napasku tertahan, mata pun tetap terpejam. Aku merasa getaran di lantai terasa semakin dekat, aku siap segala-galanya, Tuhan.

"Theia? Kenapa kau di sini?" Suara Tante Amara. Bukan pencuri atau pembunuh.

Aku membuka mata flashlight ponsel Tante Amara menyorotku, sangat menyilaukan. Dia melihatku dengan tatapan getir, pasti keadaanku terlihat sangat menyedihkan bukan hanya sudah sepucat mayat tapi tubuhku basah bermandikan keringat seperti baru saja menyelesaikan lari maraton berkilo-kilo meter. Kusadari keadaan dari arah dapur hening kembali, aku pun tidak punya kesempatan untuk menceritakan apa yang aku dengar di kamar mandi atau yang aku lihat di tangga loteng. Dengan suara bergetar, aku bilang padanya bahwa aku mencarinya untuk meminta lilin, aku juga bertanya kenapa dia datang dari luar.

"Maaf, Theia. Tante baru kembali dari klinik karena di rumah tidak ada lilin. Tante mengambilnya dari sana, sekalian untuk mengambil payung yang tertinggal di sana."

Malam itu kami tidak banyak mengobrol, walaupun penampilanku lebih dari cukup menunjukkan bahwa aku dalam kondisi ketakutan, nyatanya Tante Amara tak sampai menaruh simpati apalagi empati. Sehari bersamanya, kutemukan perbedaan sikapnya antara saat menjalani profesinya dengan menjadi dirinya sendiri saat di rumah.

***

Keesokan harinya aku bangun kesiangan, sekitar pukul delapan. Sepertinya aku baru bisa terlelap ketika menjelang subuh karena beberapa jam sebelumnya, guncangan akibat serentetan kejadian menakutkan itu belum mereda. Setelah mandi dan hendak sarapan, aku menemukan note di meja makan yang berbunyi, "Tante pergi ke rumah pasien. Sarapan seadanya saja." Pagi itu aku hanya memakan tempe goreng sisa sore sebelumnya. 

Aku berniat menghabiskan waktu di luar kejadian semalam membuatkan takut jika harus lama-lama berada di dalam. Terlebih listrik belum menyala, aku sangat bosan dibuatnya. Bosan dan putus asa menuggu sinyal, sangat cemas karena sejak kemarin tak bisa menghubungi Farhan, dia juga sampai tak pulang. Tahu begini aku tidak mau ikut dengannya, aku sangat-sangat menyesal dan ingin pulang. Suamiku bekerja sebagai konsultan proyek, minggu lalu dia meminta izin bekerja ke luar kota selama beberapa hari untuk mengawasi sebuah proyek pembangunan. Aku meminta ikut dengannya, karena kebetulan tempat yang ditujunya sebuah desa yang bertetangga dengan desa tempat tinggal salah satu kakak ibunya yaitu Tante Amara. Tante Amara sendiri berprofesi sebagai bidan, dia memiliki klinik dan juga bersedia dipanggil ke rumah-rumah.

Selama kelayapan di luar aku mendapat kabar penyebab listrik mati dikarenakan hujan besar semalam yang menyebabkan tebing-tebing longsor menggusur tiang-tiang listrik juga memblokade jalan. Sedikit lega mendengar kabar tersebut, pantas saja Farhan tidak bisa pulang karena akses jalan tertutup longsoran. Namun, kecemasan itu tak hilang begitu saja selama aku belum mengetahui kabar suamiku. 

Beberapa saat kemudian, aku tertarik mengikuti langkah Kuroi menuju klinik Tante Amara yang jaraknya sekitar dua belas meter dari rumah. Kucing hitam gembul bernama unik nan aneh, seaneh tingkah polah majikannya. Aku bertanya pada Dianti, si tukang beberes klinik, kenapa kucing itu bisa diberi nama Kuroi. Ia menjawab sambil tersenyum ramah, "Aku pernah mendengar dari ibuku, kucing ini diberi nama oleh Pak Hisao yang saat itu masih menjadi suami Bu Amara. Kuroi adalah bahasa Jepang yang berarti hitam dalam bahasa Indonesia."

Satu dari beberapa hal yang membuatku penasaran sudah terjawab. Kucing gendut yang ada di pangkuanku diberi nama sesuai tampilannya, hitam. Kuroi terlihat seram dan misterius tetapi karakteristiknya sangat menyenangkan. Buktinya, meskipun aku orang baru tetapi dia nyaman ada di dekatku. Sebenarnya, aku belum banyak mengetahui tentang Tante Amara dan keluarganya, pernikahanku dengan Farhan baru seumur jagung, menginjak empat bulan, pun perkenalan kami terbilang cukup singkat kurang dari setahun. Sedikit hal yang aku tahu mengenai kehidupan Tante Amara. Dia resmi menjanda dari lima bulan yang lalu tepat sebulan setelah Rie wafat. Entah, badai sepelik apa yang menerpa keluarga kecilnya sehingga berakhir menyedihkan seperti ini. Satu hal lain yang tidak aku lupa juga bahwa Tante Amara satu-satunya anggota keluarga suamiku yang memutuskan memisahkan dan mengasingkan diri dari lingkungan sosial keluarga besarnya di kota. Konon yang membuatnya memilih jalan demikian, selain insecurity akan nasibnya, juga untuk menghindari tekanan-tekanan dari orang-orang sekitar dikarenakan dirinya tak kunjung menikah. Tante Amara adalah anak ketiga dari empat bersaudara, saudara pertama dan kedua adalah laki-laki dan si bungsu yang tak lain adalah ibu dari suamiku. Dulu Tante Amara dilangkahi menikah ibu mertuaku, dia lama hidup sendiri sebelumnya akhirnya menikah dengan pria Jepang.

Satu hal lain yang belum kudapatkan jawaban dari rasa penasaranku adalah loteng. Aku terus menatap dari beranda klinik, jendela tertutup rapat gorden putih, tepat di bawahnya sepetak taman yang ranum oleh peony cantik bermekaran. Benakku melayang teringat malam hari ketika Tante Amara membawa empat tangkai peony ke rumah.

"Mbak, nggak bosan ya memandangi loteng terus?" tanya Dianti yang baru kembali ke beranda setelah menyelesaikan pekerjaan di dalam klinik. Rupanya dia memperhatikanku ditengah-tengah aktivitasnya.

Aku tersenyum dan bertanya, "Apa jendelanya selalu tertutup?"

Dianti duduk, kami ngemper di teras. "Setahuku sejak Rie meninggal, jendela itu tidak pernah dibuka lagi. Dengan membukanya rasa penyesalan Bu Amara akan muncul kembali dan semakin memperdalam lukanya, jadi dia memilih untuk menutupnya saja."

Aku mengerutkan alis, kalimat terakhir Dianti menarik perhatianku. "Penyesalan apa?" tanyaku.

Dianti yang mulanya ikut menatap jendela loteng otomatis menatapku dan balik bertanya, "Maksud, Mbak?" Tampaknya dia setengah tak sadar ketika menjawab pertanyaanku, khususnya bagian yang terakhir. Asal ceplos saja padahal aku yakin dirinya berusaha menjaga ucapannya. Lalu kuulangi ucapan mana yang aku tanyakan.

Dia menelan ludah, mimiknya masam seakan menyesal karena sudah tanpa sadar mengucapkan kalimat terlarang. Dia menatapku ragu-ragu. "Oh soal itu," tuturnya sembari senyum-senyum tak jelas.

"Aku sudah menjadi bagian dari keluarganya. Aku berhak tahu," desakku.

Beberapa saat Dianti diam tak merespon, air mukanya memperlihatkan pergelutan antara gelisah, takut dan tak enak. Setelah menunggu agak alot, wajah perempuan yang diyakini lebih tua beberapa tahun dariku itu menjernih lalu menatapku penuh keyakinan. Tentu saja sorot matanya membuatku antusias sekaligus lega.

Sebelum berbicara dia mencalang keadaan sekitar memastikan tidak ada orang lain di sekitaran klinik juga yang paling penting belum ada tanda-tanda Tante Amara pulang. Dia berdeham, menatapku lurus-lurus. "Sebenarnya yang tahu semuanya adalah ibuku. Namun, ibuku meninggal seminggu yang lalu karena penyebab yang tak begitu jelas. Jauh Ibuku sebelum berpulang, dia sudah membicarakannya padaku. Omong-omong, ibuku adalah orang kepercayaan Bu Amara. Dia sudah bekerja bahkan dari sebelum Rie lahir, dan sudah tiga hari ini aku bekerja untuk menggantikannya. Kupikir memang sudah saatnya pihak keluarga tahu. Aku pribadi sangat kasihan pada Bu Amara dan kuharap setelah aku memaparkan semuanya, Mbak Theia dan keluarga bisa merangkulnya lebih dekat lagi."

Sebelum kisah itu dimulai kusempatkan memberi ucapan dukacita untuk Dianti yang baru saja kehilangan ibunya. Dan setelah itu barulah dia bercerita, bahwa keluarga Tante Amara mulanya baik-baik saja. Kehadiran anak di antara mereka setelah dua setengah tahun menikah membuat keluarga kecilnya sangat harmonis. Anak mereka, Rie, lahir prematur tumbuh menjadi anak yang hiperaktif juga mengalami kesulitan berbicara. Rie didiagnosa menderita gangguan ADHD kepanjangan dari attention deficit hyperactivity disorder, sejenis gangguan mental yang memengaruhi perilaku anak. Selain hiperaktif, anak dengan ADHD juga memiliki perilaku impulsif. ADHD belum bisa disembuhkan secara total, meskipun demikian Tante Amara dan Paman Hisao bahu membahu merawat Rie sebaik mungkin dengan melakukan terapi dan pengobatan.

Dan percikan api dalam bahtera rumah tangga mereka muncul saat ayah Paman Hisao meninggal di kampung halamannya, Jepang. Ibunya yang sedari awal menentang pernikahan anak semata wayangnya dengan Tante Amara menyuruh Pama Hisao pulang untuk meneruskan usaha keluarga. Latar keluarga Paman Hisao adalah farmasi mereka bergelut dalam bidang obat-obatan, Paman dan ayahnya sama-sama seorang apoteker. Saat itulah Paman Hisao mengalami pergolakan batin hebat, awalnya dia bersedia kembali ke Jepang asal dengan istri dan anaknya. Tetapi tanteku menolak, dia bidan yang berdedikasi tinggi, tentu saja tidak ingin meninggalkan profesinya yang dianggapnya sangat mulia. Setelah keributan besar di antara mereka, Paman Hisao memutuskan kembali ke Jepang sendirian. Tante Amara di rumah menjadi sangat keteteran, merawat Rie yang hiperaktif seorang diri dengan sedikit bantuan dari ibunya Dianti yang sudah lanjut usia. Dia sempat mempekerjakan pengasuh tetapi malah berakhir tak mengenakan dimana anaknya diperlakukan kasar. Kesulitan Rie dalam berbicara dan hiperaktivitas yang membuatnya sulit diatur membuat si pengasuh merasa jengkel. Setelah kejadian itu, Tante Amara sangat trauma dan tidak pernah memperkerjakan orang lain lagi. Tante memutuskan membiarkan Rie berkeliaran di klinik selama dia bekerja dan terpaksa tidak lagi menerima panggilan pasien di luar klinik karena putrinya tidak ada yang menjaga. Sebelumnya ketika Paman Hisao ada bersama mereka, dialah yang banyak mengorbankan waktunya untuk mengasuh Rie. Di samping klinik terdapat apotek dan Paman Hisao-lah yang mengelolanya.

Selama mengasuh Rie sendirian, lelah tenaga dianggap tak seberapa karena memang itu tugas seorang ibu. Tetapi kelelahan psikis yang luar biasa mengguncang Tante Amara, ibunya Dianti sering memergoki Tante menangis ketika ditanya kenapa dia menangis, jawabannya karena dia merasa gagal menjadi orang tua.

"Gagal?" tanyaku tidak paham.

Dianti mengangguk pelan mimiknya berubah muram. "Bayangkan saja Mbak, bagaimana perasaan Bu Amara ketika mendapat omongan tak mengenakan dan tatapan aneh dari orang-orang karena keadaan Rie. Orang-orang yang kebanyakan pasien Bu Amara sendiri banyak mempertanyakan, kenapa bisa? Padahal orangtuanya sama-sama berkecimpung di dunia kesehatan, tetapi anaknya tidak kunjung bisa berbicara dan berprilaku berbeda dengan anak-anak lain seusianya. Sungguh semua itu sangat melukai Pak Hisao dan Bu Amara, hanya saja ketika mereka masih bersama, keduanya selalu saling menguatkan sehingga bisa meredam guncangan mentalnya masing-masing. Dan keadaannya jauh berbeda ketika hanya Bu Amara yang merawat Rie sendirian, dia limpung tak ada tumpuan lagi ketika dirinya rapuh. Ketahanan mentalnya runtuh berakibat pada mood-nya yang sering berubah dan sangat sensitif," paparnya.

Sejenak kami diam, barulah aku merasa kasihan pada Tante Amara melupakan sedikit kekesalan oleh abainya dia saat semalam yang menakutkan itu.

"Di titik paling ekstrim, Bu Amara bisa sampai menyeret dan mengunci Rie di kamar mandi, sementara itu dia menangis frustasi di balik pintu mengabaikan gedoran Rie dari dalam."

Aku menelan ludah, dadaku berdegup kencang seolah baru saja mendengar kalimat berisi ancaman. Benakku mundur kembali ketika gedoran misterius dari pintu kamar mandi di malam kemarin yang gelap. Jadi Rie benar-benar bergentayangan. Sulit dipercaya, seharusnya dia sudah tenang di alam sana. Hatiku memelas memikirkan betapa malangnya anak itu. Dianti tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke loteng, aku pun mengikuti kemana tatapannya berlabuh.

Di menjelaskan, pada akhirnya Tante Amara menempatkan Rie di loteng, menguncinya di sana setiap hari. Seabrek mainan dan tempat tidur ada untuknya. Gorden putih itu mulanya selalu dibuka agar Tante yang sedang bekerja di klinik bisa memantaunya. Rie hanya ditemani Kuroi di dalam sana. Rie sangat menyukai bunga peony dan taman di bawahnya dibuat oleh Pak Hiaso khusus untuknya. Dari jendela, Rie sering menunjuk-nunjuk ke bawah, ingin diambilkan peony dari taman miliknya. Tetapi Tante jarang mengabulkan permintaannya dan hanya berakhir memberi gelengan kepala dari bawah sini. Baru setelah Rie meninggal Tante merasa sangat bersalah dan menyesal karena pernah mengunci anak itu di kamar mandi, menempatkannya di loteng dan sering mengabaikan keinginannya berupa bunga peony. Sampai di situ aku pun paham, empat tangkai peony yang dipetiknya saat malam itu mungkin ada kaitannya dengan rasa penyesalannya. Dengan kepergian Rie, keadaan mental Tante Amara tampaknya semakin buruk, aku jadi sangat kasihan padanya.

Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan dan ini mungkin akan jadi klimaksnya. Tentang kematian Rie. "Saat itu keluarga suamiku diberi kabar, Rie meninggal karena demam tinggi dan tidak diperkenankan melihat jenazah. Aneh, bukan? Apa tidak ada riwayat penyakit serius selain ADHD?" 

Dianti cukup lama termangu mendengar pertanyaanku, setelah terlihat mempertimbangkan sesuatu dia pun menatapku lamat-lamat dan menggeleng, "Tidak ada, Mbak. Demam juga tidak, pada intinya Rie meninggal bukan karena sakit."

"J---adi karena ap---a?" Aku bertanya dengan perasaan terguncang.

"Rie meninggal karena tubuhnya terlilit gorden sampai mencekik lehernya sendiri. Ibuku yang menemukan Rie dengan keadaan seperti itu ketika dia dimintai tolong untuk mengambil sesuatu di kamar Bu Amara dan saat itu Kuroi mengeong-mengeong sangat keras. Ibuku memutuskan untuk melihat ke loteng, kebetulan kuncinya tergantung di knop. Ibuku shock luar biasa menemukan Rie sudah tidak bernyawa. Tetapi Bu Amara memilih menutupi kebenarannya."

Otomatis aku menganga itu fakta yang sangat gila. Aku menggeleng-geleng tak percaya. Wajahku mungkin sudah sepucat malam kemarin saat dihantui anak itu. Ya Tuhan, kepalaku mendadak berdenyut-denyut, dadaku sesak merasa hancur mengetahui kebenaran yang mengejutkan sekaligus miris. Aku yakin andai mental tanteku stabil, dia takkan sampai menempatkan Rie sendiri di loteng karena dia tahu anaknya sering berperilaku impulsif yang mana harus mendapatkan perhatian ekstra, bukan malah dibiarkan begitu saja. Dengan begitu, aku yakin penyesalan Tante Amara kian menggunung tak terbendung. Bagaimanapun juga jika Rie tidak sampai dipisahkan dengan dirinya seperti itu, kemungkinan hal tragis itu takkan pernah terjadi.

Dianti melanjutkan, karena hal itu pula Paman Hisao menalak Tante. Beberapa saat setelah Rie ditemukan meninggal, dengan sangat berat hati tanteku menelepon ke Jepang. Dalam kurun waktu kurang dari sehari Paman Hisao sudah sampai di rumah. Awalnya tanteku berkeras tidak mengizinkan suaminya melihat jenazah anaknya, setelah drama pemaksaan, Tante akhirnya pasrah. Setelah melihat kondisi tubuh putrinya yang lebam di bagian tangan dan leher, Paman Hisao sangat hancur dan meraung-raung di loteng di mana jenazah Rie ditempatkan. Dia awalnya mengira putrinya dianiaya tetapi Tante menolak keras tuduhan itu. Sebelum pemakaman dilakukan, mereka berdua tetap meredam amarah masing-masing dan merahasiakan kenyataan yang ada dari orang lain. Setelah jasad Rie dikebumikan dan rumah kembali sepi barulah mereka jatuh dalam pertengkaran hebat, keduanya saling melempar bola api, menyalahkan satu sama lain. Akhirnya Paman Hiaso menyelesaikan masalah itu dengan menceraikan Tante Amara, perempuan yang empat tahun lebih tua darinya itu.

"Sejak Rie tidak ada, Bu Amara seolah memiliki dua kepribadian berbeda. Saat bekerja dia tidak mengurangi keprofesionalannya, tetap bekerja dan melayani pasien sepenuh hati. Namun, ketika di rumah dia akan berubah menjadi sosok yang dingin, pendiam, perenung," jelas Dianti.

Aku membetulkan karena menyadari juga. Bahkan di matanya itu seakan ada lubang hitam menganga memperlihatkan kesedihan yang begitu dalam juga kehampaan. Cobaan hidup Tante Amara begitu bertubi-tubi, anak meninggal akibat kurang pengawasannya, lalu diceraikan setelah sekian lama menunggu status perkawinan. Perasaan sakit yang tidak bisa kubayangkan, juga rasa penyesalan yang akan berdampak seumur hidup. Mentalnya semakin hancur. Sekali lagi aku berdukacita untuknya, aku sangat berempati dengan nasibnya. Aku menoleh ke arah rumah yang seolah dikerubungi kegelapan. Kehangatan rumah itu terbakar oleh keegoisan, pertengkaran dan diperkelam oleh duka yang mendalam.

Wajar sekali jika loteng selalu tertutup dan seakan sangat rahasia karena di sana ada kisah yang meninggalkan duka dan penyesalan besar. Aku juga paham kenapa begitu banyak suara-suara aneh, dikarenakan di loteng terdapat jejak kematian tragis. Semuanya telah diceritakan oleh Dianti, karenanya aku merasa hampa tidak pernah menduga dengan apa yang terjadi menimpa keluarga ini. 

"Lho kok gordennya terbuka?" Dianti berucap sangat pelan nyaris seperti gumaman. Tetapi aku masih bisa mendengarnya samar-samar. Dia berucap saat aku menunduk merenungkan semua yang telah diceritakannya.

Aku menegakkan kepala melihat wajahnya pias, lalu menoleh ke loteng dengan jendela masih tertutup. "Gorden yang mana?" tanyaku.

Dianti menggeleng keras, ekspresinya takut bercampur gugup. Aku tidak ingin memperpanjang soal itu, toh ini masih pagi. Masa iya ada kejadian horor barangkali Dianti salah melihat saja.

Aku memilih bangkit menurunkan Kurio dari pangkuan lalu meminta Dianti mengantarku ke makam Rie, aku ingin berdoa untuknya. Saat kabar kematiannya aku tidak ikut dengan keluarga Farhan ke sini dikarenakan sedang menjalani perawatan pasca operasi usus buntu.

Pekuburan Rie terletak tidak begitu jauh dari rumah, beberapa meter jauhnya dari beranda belakang terhalang tanaman pagar yang merambat membatasi kuburan dan halaman. Di sana aku berdoa singkat lalu buru-buru kembali ke klinik dan mendapati listrik telah menyala. Baterai ponselku sudah sekarat, mau tak mau aku harus bergegas ke rumah untuk mengisi daya. Kuroi ikut bersamaku, dia menemaniku selama di rumah. Ketika aku hendak keluar lagi, tiba-tiba Kuroi mengeong-mengeong tampak cemas, ekornya tidak berhenti bergerak. beberapa kali aku mengajaknya pergi tetapi dia terus mengeong. Seolah berbicara, "Ikutlah denganku ke atas!"

Aku menggeleng. Tidak mau. "Ayolah kau ini kenapa?" tanyaku keheranan.

Kuroi mengeong nyaris liar, sontak membuatku takut. Dia jadi aneh. Dia naik ke tangga lantai dua, aku mengisi daya di lantai bawah meminjam charger Tante Amara yang ada di sana. Di tengah-tengah anak tangga dia kembali menatapku mengeong-mengeong tanpa henti, menatapku dengan sorot mata lebih bersahabat di matanya seperti ada kesedihan. Eongannya melemah terdengar pilu, aku menjadi tak tega. "Oke oke," aku mengikutinya. Kupikir dia akan berhenti di lantai atas tetapi dugaanku salah. Dengan masih mengeong-mengeong seakan sedang memanduku dia mengajakku ke loteng. Sontak aku menggeleng, "Tidak, Kuroi! Tante akan marah padaku jika aku ke sana."

Kuroi mengeong-mengeong keras lagi, wajah legam berkumisnya begitu memelas. "Sebenarnya Apa yang ingin kau tunjukkan padaku?" tanyaku mulai takut.

Kuroi mengeong semakin mendesak. Entah mendapat dorongan dari mana sehingga merasa begitu yakin untuk mengikuti Kuroi masuk ke loteng. Tak ada keraguan lagi aku berjalan penuh keyakinan. Aku terkesiap pintu loteng tidak terkunci. Lho kok bisa? Tidak mungkin Tante seceroboh ini. Aku menatap Kuroi, "Apa kau yang membuka kuncinya?" tanyaku seperti orang tak waras.

Meoww, jawabnya. Ajaib kalau memang Kuroi yang melakukannya. Kubuka perlahan pintu itu, di dalam tidak gelap ada penerangan berupa lampu gantung hias dan keadaannya tidak seperti yang kubayangkan, tidak ada benda usang yang berdebu. Bukan berupa gudang terbengkalai yang biasa ditempati banyak tikus untuk bersarang. Di sana seperti kamar anak perempuan pada umumnya, ruangan itu dipenuhi frame foto kebersamaan Rie dan orangtuanya, Rie sangat cantik bermata sipit juga memiliki senyuman indah, seindah peony favoritnya. Hatiku memelas mengingat kembali kemalangan hidupnya. Di sana juga terdapat banyak mainan, buku-buku dan boneka. Seluruh dinding dicat pink senada dengan karakter Disney Princess, Sleeping Beauty. Loteng tampaknya terawat sekali, aku nyaris tidak menemukan debu hinggap di benda-benda yang ada di sana. Kupikir karena jendelanya sudah tak pernah dibuka lagi, di dalamnya pun menjadi tak terawat. Tak kusangka semuanya begitu rapih dan bersih.

Meskipun loteng sangat colorful akan tetapi auranya berkebalikan dengan tampilannya. Aku menyentuh tengkuk leher. Merinding. Awalnya aku ingin segera turun karena merasa tak nyaman tetapi Kuroi memanduku agar mendekat ke arah tempat tidur minimalis yang ditutupi kelambu. Oke untuk yang terakhir kali aku menuruti keinginannya. Semakin dekat jarakku dengan kelambu, semakin kusadari ada sesuatu yang ganjil di dalam sana. Kubuka kelambu itu dan sontak terbelalak melihat apa yang terbujur di sana, bergaun pink, dengan sebuket bunga peony di sampingnya. Aku cepat mundur, lalu ngibrit turun keluar menerobos pintu rumah langsung berlari ke klinik mencari Dianti. Perempuan itu sedang melayani beberapa pembeli di apotek.

"Ada apa, Mbak?" tanya Dianti terkejut.

"J---asad Rie ada di loteng!" tuturku keras-keras.

Semua orang yang ada di sana terdiam, mencoba mencerna apa yang aku katakan. 

"Mbak, jangan melantur!" sergah Dianti, dia memelankan suaranya. "Tadi kuburan Rie baik-baik saja, bukan? Itu tidak mungkin."

Aku tidak salah lihat, tadi di ranjang ada jasad Rie yang diawetkan. Aku mencoba meyakinkan mereka. Begitu mereka percaya, mereka pun membawa kabar itu ke tokoh-tokoh masyarakat juga pihak berwajib untuk menindaklanjuti laporan penemuan jasad seorang bocah di Loteng Tante Amara.

Aku tercengang sampai-sampai merasa trauma menemukan jasad di sebuah rumah seperti itu. Aku bergidik mengingat dua malam sebelumnya tidur seatap dengan seonggok mayat. Pantas saja aku sampai dihantui karena Rie belum beristirahat dengan tenang. Astaga! Tanteku benar-benar sudah sinting! Dia pasti menggali kuburan Rie diam-diam, mengawetkan jasadnya, disimpan di loteng berbulan-bulan dan dirawat seolah Rei masih hidup. Aku mengerti sekarang alasan sebenarnya loteng selalu ditutup adalah agar perbuatan menyimpangnya tidak terbongkar. Dia pintar memanipulasi keadaan. Rasa penyesalan begitu besar membuatnya sampai tak terima anaknya telah meninggal hingga mendorongnya berbuat sejauh itu. Sungguh miris, aku yakin dia butuh perawatan kejiwaan, aku akan mengusulkan hal itu ke keluarga setelah urusan ini terselesaikan.

"Meoww." Kuroi melihatku lurus-lurus dari bawah. Aku berjongkok dan mengelusnya. "Tenang, majikan kesayanganmu pasti akan disemayamkan lagi dengan wajar dan layak."

End.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun