Mohon tunggu...
Arin
Arin Mohon Tunggu... Amatir

Menulis adalah bekerja untuk keabadian~ Pram

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Salat Berjemaah Terakhir Sang Detektif Cilik

14 Oktober 2023   09:51 Diperbarui: 14 Oktober 2023   10:39 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jemaah masjid (pinterest.com)

Ayahnya kecewa bukan main. Pada akhirnya ayah dan anak itu pergi mengembalikan sandal sekaligus meminta maaf. Dan kasus sandal yang hilang itu selesai dengan akhir yang damai.

Jauh sebelum sandal hilang dicuri anak seorang pemulung. Pernah kejadian ada jemaah kehilangan sebelah sandalnya. Siapa yang iseng mengambil sebelah sandal seperti itu? Setelah penelusuran yang dilakukan Ali dan Latief, pelakunya ditemukan tanpa wajah berdosa dan terkesan santai-santai saja. Emon adalah pelakunya, seekor kucing jantan berbulu oren yang mengigit dan membawa sebelah sandal jemaah untuk diberikan pada majikannya, usut punya usut sandal si majikan telah rusak dimakan waktu. Menurut mereka berdua, itu kasus pencurian dengan plot twist terlucu yang pernah ditangani. Lain lagi dengan kasus hilangnya sandal beberapa waktu lalu, yang ternyata si pengambil sandal jemaah adalah anaknya sendiri. Bocah perempuan berumur empat tahun dendam pada ayahnya yang tidak memberinya uang jajan. Kecerdikan Ali dalam menganalisis sesuatu dengan cermat, sering membuahkan penyelesaian yang tepat. Latief yang memposisikan diri sebagai pembantu Ali dalam menyelesaikan kasus "persandalan" merasa terkagum-kagum dengan kecerdasan Ali.

***

Adzan Ashar berkumandang membelah keheningan di sore hari yang cerah, memanggil semua orang yang beriman. Tetapi sedikit sekali yang tergerak untuk salat berjemaah di masjid yang hanya ada Ali, Latief dan Pak Saeful. Masjid di kampung mereka, bukanlah bangunan berarsitektur megah nan luas, melainkan masjid sederhana tanpa kamera CCTV, yang terasa hangat meskipun hanya dengan kehadiran mereka bertiga.

"Ali, sepertinya aku nggak bisa pulang bersamamu, aku lapar sekali," kata Latief seraya menepuk-nepuk perutnya.

Ali mempersilakan sahabatnya pulang lebih dulu. Dikarenakan Ia harus menunggu adiknya, Faizal, yang baru saja menyusul ingin salat di masjid yang tentu terlambat untuk berjemaah. Selain Ali dan adiknya, di sana masih ada Pak Saeful. Latief pun pergi, berjalan santai menapaki jalan utama kampung beralas beton.  Bayang-bayang sayur lodeh hangat bersantan kental buatan ibunya membuat langkah Latief kian kencang, ingin cepat-cepat mencicipi sayur favoritnya. Belum juga sampai rumah, langkah kakinya goyah dan oleng, gemuruh keras terdengar di sekitarnya, teriak dan jerit orang-orang menggema riuh bertumpang tindih. Tanah yang dipijaknya bergoyang kencang, dalam sekejap Latief menyadari bahwa saat itu tengah terjadi gempa bumi. Dengan perasaan begitu takut ia berlari menjauhi bangunan-bangunan, ia tiarap di tempat luas. Tubuhnya gemetar, tangis ngeri tumpah saat itu juga. Setelah getaran melamban, pemandangan memilukan kian menyesakan Latief dan orang-orang yang berhasil menyelamatkan diri. Rumah-rumah warga roboh, hancur di sana-sini, jerit tangis warga yang selamat meraung memanggil anggota keluarga mereka yang tertimpa reruntuhan. Latief yang masih diserang panik, lantas mengingat ibunya. Ia berlari memanggil-manggil sang ibu seraya berurai air mata. Saat hendak berbelok mengarah ke rumahnya, sebuah teriakan mengalihkan fokus Latief. "Mama!" Latief menghambur pada ibunya yang tengah mencarinya. Mereka berpelukan sambil terisak. "Mama cari ke masjid, kata Pak Saeful, kamu sudah pulang, Nak! Syukurlah kamu tak apa-apa."

"Mama, bagaimana dengan masjid?" tanya Latief disela-sela tangisnya. Ibunya terdiam, air matanya kian deras meluncur. 

"Mama? Kenapa, Ma? Bagaimana dengan masjid?"

Si ibu menggeleng pelan, semakin terisak. "H---ancur, Nak. Hancur."

Latief tertegun, ia menggeleng keras tak percaya. "Nggak mungkin, ALI, FAIZAL!" jeritnya, berusaha berlari namun berhasil ditahan ibunya.

"T---api, Nak!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun