Mohon tunggu...
Nuur Arifah
Nuur Arifah Mohon Tunggu... -

Menulis Bukanlah Bakat, Akan tetapi Menulis berawal dari Latihan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anakku Pemurtad Agamaku

6 Maret 2015   13:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:05 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku lahir di tengah-tengah keluarga yang sederhana, pekerja keras dan disiplin dalam segala hal, hidup disebuah desa kecil yang damai nun jauh dari keramaian kota, aku adalah bungsu dari dua bersaudara. Kakakku dan diriku mempunyai selisih usia 5 tahun. Kami tumbuh menjadi wanita yang tangguh lantaran didikan yang keras dari kedua orang tua kami, untuk mencapai segala sesuatunya kami diajarkan untuk memulai dari nol dan berusaha meraihnya dengan usaha, keringat dan tangan kita sendiri. Meski begitu, kami merasa sangat bahagia atas berbagai bentuk perhatian yang diberikan orang tua terhadap kami.

Akhir tahun 1950 kakakku menikah yang lima tahun kemudian aku menyusul menemukan pendamping hidup yang aku tunggu-tunggu selama ini. Rumah tanggaku berjalan begitu memprihatinkan, karena suami juga berasal dari keluarga yang sederhana. Bersama suami, saya benar-benar merasakan betapa kerasnya kehidupan di dunia ini, semua pekerjaan telah kami kerjakan berdua, mulai dari menjadi buruh sawah, kuli panggul di pasar, bahkan sampai menjadi pencari batu di sungai. Semua itu kami kerjakan agar dapur kami tetap mengepul, sehingga kami bisa mendapatkan sesuap nasi yang bisa dimakan pada hari itu.

Satu tahun berselang, lahirlah putra pertama kami yang tampan, lincah dan sangat menggemaskan. Ia menjadi obat penyembuh bagi kami saat rasa lelah mendera, ia pula yang menjadikan semangat kami terus berkobar dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Tiga tahun setelah kelahiran anak pertamaku, aku kembali mendapatkan anugerah dari Yang Maha Kuasa lantaran putra kedua kami lahir dari rahimku dengan selamat dan juga sehat. Mereka adalah lecutan semangatku untuk terus berusaha memenuhi setiap jengkal kebutuhan yang kian hari kian mencekik. Kami mengerjakan segala hal agar kebutuhan kedua putra kami bisa terpenuhi, termasuk kebutuhan pendidikan. Bagi kami pendidikan adalah prioritas utama, biarlah putra kami menjadi anak yang pintar dan sukses, cukuplah Ibu dan bapaknya saja yang bodoh dan hidup sengsara.

Waktu terus berlalu, roda kehidupan benar-benar mulai berputar dan menempatkan kami di posisi yang mulai nyaman, tidak lagi di bawah namun mulai merangkak ke atas. Uang yang kami kumpulkan, kini telah menjelma menjadi satu hektar sawah dan juga ‘gubuk tua’ kami yang mulai di renovasi. Putra pertamaku menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama dengan predikat lulusan terbaik. Di desa kami, bisa menyekolahkan anaknya hingga lulus dari SMP merupakan suatu keberhasilan yang luar biasa. Setelah lulus sekolah putra pertamaku memutuskan untuk pergi merantau ke Jakarta. Tiga tahun setelahnya disusul pula oleh putra kedua kami yang pergi merantau ke Ibukota.

Sepuluh tahun merantau, anak pertamaku menemukan pendamping hidupnya disana. Setelah menikah putraku memutuskan untuk hidup di desa, membeli rumah dan juga sawah. Tidak berselang lama setelah pernikahannya, menantu kami mengandung cucu pertama kami. Sudah menjadi barang pasti jika binar-binar kebahagiaan menyelimuti kehidupan keluarga kecilku itu. Hari yang kami nanti-nantikan tiba, menantu kami melahirkan cucu pertama kami yang begitu tampannya. Kebahagiaan ini terasa begitu lengkap dan menjadi begitu sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Hari-hari kami berjalan semakin menarik, bersemangat dan begitu membahagiakan.

Menginjak enam bulan usia cucu kami, petaka ini menimpa keluarga kecilku. Saat putra pertamaku yang juga ayah dari cucuku tengah mengolah tanah sawahnya, saat itu cuaca tengah gerimis. Ketika itu aku tengah membuatkan segelas teh panas untuk suamiku dan betapa terkejutnya diriku saat ada petir menggelegar dengan begitu dahsyatnya seolah-olah tepat di atas kepalaku, “Astaghfirulloh hal ‘adzim” kata-kata itu reflek aku ucapkan setengah berteriak sontak gelas yang aku pegang jatuh lantaran kekagetan yang luar biasa. Entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak kala itu, aku merasa cemas dan teringat akan kedua putra, menantu dan juga cucuku, namun suami menenangkanku dan menyuruhku untuk berdo’a agar segala sesuatunya baik-baik saja.

Naluri seorang ibu memang tidak salah, beberapa menit setelah petir itu menggelegar beberapa tetangga mendatangiku dan mengabarkan bahwa anak pertamaku tersambar petir di sawah. Seketika pandanganku menjadi gelap, dadaku sesak dan tubuhku lemas, aku roboh. Saat ku buka mataku, rumah anakku yang tepat berada di samping kiri rumahku telah dipenuhi banyak orang, iya... meraka semua datang untuk tujuan yang sama yaitu takziah. Aku ingin menangis namun entah mengapa tangisku tak bisa aku keluarkan, tertahan begitu kuat di tenggorokan, dadaku sesak. Suami, kerabat dan juga tetangga berusaha menenangkanku namun hati ini kian pilu saat melihat menantuku tergolek lemas tepat di depan jenazah anakku yang telah membujur kaku tak bernyawa, cucuku yang masih dalam gendongan tetangga yang menatapku lugu dan tak mengerti bahwa dalam usianya yang baru enam bulan, ia telah menjadi anak yatim. Jenazah putraku langsung dimakamkan dihari itu pula tanpa sempat menunggu kedatangan putra keduaku lantaran hari sudah mulai gelap.

Rundung duka itu tak mau pergi juga dari hatiku, sejak saat itu putra keduaku memutuskan untuk tidak kembali merantau. Ia mulai hidup di desa untuk merawat kami dan juga menggarap sawah dan juga ladang. Putra keduaku berperangai lebih kaku dan keras, pun ketika ia tengah berbicara kepadaku. Enam tahun kemudian, ia menikah dengan seorang gadis dari desa tetangga dan dikaruniai dua anak yang keduanya juga laki-laki. Namun karena penyakit kista dan juga diabetes yang di deritanya menantu keduaku itu berpulang terlebih dahulu, dengan meninggalkan dua putra yang masing-masing berusia 18 tahun dan 6 tahun. Sawah yang kami punya juga telah kami jual untuk biaya berobat demi kesembuhan menantu kami itu.

Di usia senjaku ini pikiranku terus bergejolak, entah mengapa aku menjadi orang yang mudah bingung dan juga lupa. Aku menjadi linglung yang tak bisa membedakan antara siang dan malam, aku lupa cara memasak, aku lupa mengurus suami bahkan aku lupa terhadap cara mengurus diri sendiri. Aku menjadi orang tua yang sangat menyebalkan dan menjadi aib bagi anakku, aku tidak tahu bagaimana cara mandi apalagi berpakaian lengkap. Sehingga jika suami tidak memandikanku, aku tidak akan mandi. Meski begitu, masih jelas aku rasakan rengkuhan sayang tangan tua suamiku saat memandikan atau menyuapiku ketika aku makan. Namun tidak dengan anakku, ia menjadi begitu kasar dan benci terhadapku. Ia seolah-olah menganggapku seperti barang tua yang sudah tak layak pakai dan memperlakukanku seperti orang lain.

Benar saja di usiaku yang ke-68 anakku mengirimku ke sebuah panti jompo dan tega memisahkanku dari suami tercintaku. Parahnya lagi panti jompo itu adalah milik non muslim yang secara otomatis ketika aku masuk ke dalamnya aku akan segera dipindah kepercayaan pula. Setelah mengirimku ke panti, anakku menjual rumah milikku dan suamiku dengan alasan untuk biaya selama aku dipanti, lantas mengajak suami dan juga kedua cucuku berpindah domisili ke kota dan tinggal di sebuah kontrakan, sementara ia pergi merantau ke pulau seberang.

Semakin hari aku merasakan semakin terbuang, tak kunjung membaik apalagi sembuh dari pikunku akan tetapi aku justru semakin terlunta-lunta. Aktivitas panti yang begitu membosankan, tiada suami, anak dan cucu yang menjengukku, cara beribadahku yang tak jelas dan di atur sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh pihak panti, aku semakin sakit. Waktu terus berlalu dan tubuh tuaku mulai terjangkit penyakit-penyakit yang aku sendiri tak mengerti, badanku menjadi kurus kering, keriput dan badanku membungkuk.

Satu tahun berlalu aku hidup pesakitan di panti dan pernah suatu ketika suami, anak, dan cucuku datang menjenguk tepat di hari lebaran. Meski hanya sebentar namun cukuplah aku melihat kondisi suamiku yang jalannya juga tertatih-tatih lantaran usianya yang tak muda lagi, aku terharu... aku rindu suamiku... Suami menanyakan bagaimana kabarku, apakah aku bisa tidur setiap harinya, makanan apa yang bisa aku makan selama di panti, aku sangat ingin menjawabnya, namun apalah daya aku sudah tidak bisa berbicara. Aku hanya terduduk lesu dan menatap pekat wajah suami yang aku rindukan. Belum genap satu jam mereka di sini, anakku sudah mengajak suami dan cucuku pulang, dengan lembut tangan tua renta itu mengelus dahiku dan perpamitan denganku serta mendoakanku agar segera sembuh dan bisa hidup bersama lagi.

Empat bulan setelah kejadian itu, Ajal datang menjemputku... Allah memanggilku untuk segera berpulang ke pangkuan-Nya. Saat itu anakku yang tengah merantau ke pulau seberang di telfon oleh pihak panti, mengabarkan bahwa aku... ibunya telah meninggal. Betapa tersayatnya hatiku karena dengan entengnya anakku berkata telah ikhlas dan rela serta menyuruh pihak panti agar jasadku dikuburkan di TPU dekat panti saja. Bahkan jenazahku di urus tidak sebagai orang muslim, aku tidak di kafani melainkan ditaruh disebuah peti lengkap dengan kebaya pemberian menantu pertamaku dan juga aksesoris lain yang menempel di tubuhku. Anakku... Ibu terlahir sebagai orang muslim, menjalani kehidupan juga sebagai orang muslim, namun mengapa dengan tega dan kejamnya engkau memasukkan ibu ke panti milik orang non muslim nak ? ? secara tidak langsung engkau telah memaksakan keyakinan ibu untuk berpindah, engkau keluarkan ibumu sendiri dan dari tangan kamu sendiri dari seorang muslim menjadi seorang kafir. Engkau masih bisa berkata Ihklas nak ? ?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun