Mohon tunggu...
Arif Yudistira
Arif Yudistira Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Suka Ngopi, dan jalan-jalan heppy.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Ini tentang Etos dan Sumpah Menulis!

29 Oktober 2023   09:37 Diperbarui: 29 Oktober 2023   09:59 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tepat pada 11 Maret 2012, tulisan pendek saya muncul di Lampung Pos. Esai itu bertajuk "Sumpah Menulis!". Saya mengutip kalimat pendek Pramoedya Ananta Toer, Aku telah, tetap dan akan terus menjadi pengarang. Kalimat pendek itu seolah jadi pemicu untuk menulis dan terus menulis. Saya menginsafi kisah Pramoedya menjadi pengarang adalah kisah perjuangan tanpa henti. Pram menulis dengan segenap daya dan upaya. Ia adalah pengarang prolifik yang cukup banyak menghasilkan karya. 

Karya-karya Pram adalah anak zaman yang berhasil memotret keadaan, semangat zaman pada waktu itu. Ia lahir dan dibesarkan di masa revolusi, masa perjuangan yang panjang dalam meraih kemerdekaan pada waktu itu. Ia juga mengalami masa penindasan yang dilakukan Orde Baru. Orde Baru dicatat lekat dalam ingatannya sebagai rezim yang turut serta memberangus karya-karyanya. 

Ketekunan dan juga buah dari kesabaran Pram akhirnya menghasilkan magnum opus yang dikenal kuartet Pulau Buru. Pram menulis menggunakan Bahasa Indonesia sebagai medium. Ia menggunakan diksi yang indah, serta imajinasi yang hidup tetapi tidak melupakan basis referensi yang kaya sebagai data. 

Dokumentasi pribadi Pramoedya Ananta Toer
Dokumentasi pribadi Pramoedya Ananta Toer

Mau Belajar

Pramoedya Ananta Toer adalah penulis yang mau belajar. Ia belajar dari gurunya Idrus yang justru pada waktu itu cukup keras mengkritik karya Pram sebagai "kentut" belaka. Idrus tidak tahu bahwa Pram berguru padanya, belajar dari tulisan-tulisannya. Dalam perkembangan karya Pram, ia berproses, ia belajar. Sebagai penulis yang belajar, ia mau mempelajari tulisan para penulis lain. Pram sebagai pengarang juga menggunakan kegiatannya menulis sebagai aktivitas yang secara sadar bisa digunakan sebagai medium perjuangan. 

Menulis, bagi Pram adalah alat sekaligus senjata untuk menyuarakan hati nuraninya. Pram dalam sebuah wawancara tulisan-tulisannya adalah ketegasan sikapnya sebagai sikap politik anti feodalisme, anti terhadap sikap menjilat pada kekuasaan. Pram juga lekat dengan pribadi yang mandiri, independen.
Sikap independensinya ia pegang sampai ia meninggal dunia. 

Pram berjuang membesarkan adik-adiknya yang waktu itu harus ditanggung oleh dirinya saat orangtuanya meninggal. Pram melalui tulisan berhasil menjadi pribadi yang mandiri, tidak terikat pada siapapun. Ia berhasil berdiri tegak dengan karya dan tulisan-tulisannya. 

Saya membayangkan seandainya Pram menjadi pribadi yang berhenti dan putus asa pasca buku dan koleksinya dibakar oleh tentara atau militer pada waktu itu. Ia mengalami satu keruntuhan besar, hati yang koyak saat apa yang sudah ia usahakan, dokumentasi yang cukup kaya dan lengkap tiba-tiba harus lenyap karena dibakar oleh militer Orde Baru.

Laku menulis Pram sangat dalam. Ia mengalami dan menggeluti proses menulis dengan membaca. Muhiddin M Dahlan dalam bukunya Ideologi Saya adalah Pramis (2016), Pram ditulis mendidik anaknya dengan membaca koran, menulis kosakata baru, mencatatnya dan mendokumentasikannya di buku catatan. Dari situ Pram nampak belajar tentang diksi secara riil. Ia menekuni kata-kata itu sebagai sesuatu yang memiliki daya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun