Mohon tunggu...
Arif Ritaudin
Arif Ritaudin Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNS Jabatan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Balai Pemasyarakatan Kelas II Ciangir

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dinamika Pelaksanaan Diversi

17 Mei 2023   09:46 Diperbarui: 17 Mei 2023   10:01 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia sebagai Negara hukum, menjadikan hukum sebagai instrument utama dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Pada umumnya setiap sendi kehidupan masyarakat diatur oleh norma hukum. Hukum memberikan perlindungan terhadap kepentingan yang bersifat umum dan besifat khusus.

Setiap warga Negara kedudukannya sama dalam hukum, tidak ada yang memiliki imunitas khusus dari jerat hukum selama dirinya tidak melakukan kesalahan. Lahirnya hukum tidak hanya untuk menjatuhkan sangsi bagi pelanggarnya, namun membawa menuntun, memberikan solusi yang berkesinambungan.

Hukum pidana di Indonesia membawa semangat baru, penanganan Anak yang melakukan tindak pidana prosesnya harus dibedakan dengan pelaku dewasa. Istilahnya hukum harus mengerti dengan kondisi pelanggarnya, jika sangsi hukum itu diibaratkan sesosok pedagang, maka dewi keadilan harus menanggalkan pedagangnya karena sang Dewi tidak boleh melukai anak-anak yang merupakan karunia Tuhan.

Negara Indonesia memahami bahwa anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, harkat dan martabat harus dilindungi sejak lahir hingga berusia 18 tahun. Bagi Anak yang melakukan pelanggaran, ada hukum khusus yang mengaturnya yaitu Undang-Undang nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Ruh atau azas dari UU SPPA itu sendiri ialah (a) pelindungan, (b). keadilan, (c). nondiskriminasi, (d). kepentingan terbaik bagi Anak, (e). penghargaan terhadap pendapat Anak, (f). kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak, (g). pembinaan dan pembimbingan Anak, (h). proporsional, (i). perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan (j). penghindaran pembalasan.

Diversi yang sebelumnya tidak ada dalam tatanan hukum pidana Indonesia, kemudian lahir di rahim UU SPPA. Penulis sebagai praktisi hukum sangat hormat terhadap kebijakan besar tersebut, karena memiliki tujuan mulia, merangkul Anak  dengan kasih sayang untuk menyadarkan dirinya dari kesalahan.

Proses Diversi bertujuan untuk (a) mencapai perdamaian antara korban dan Anak, (b) menyelesaikan perkara Anak diluar proses peradilan, (c) menghindarkan Anak dari perampasan Kemerdekaan, (d) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawa kepada Anak.  Meskipun demikian proses Diversi wajib memperhatikan : (a)  kepentingan korban, (b) kesejahteraan dan tanggung jawab anak, (c) penghindaran stigma negatif, (d) penghindaraan pembalasan, (e) keharmonisan masyarakat dan (f) kepatuhan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Secara normatif proses Diversi harus diawali dengan bobot pasal yang dibebankan kepada Anak. Ancaman pidana yang terkandung pada pasal tidak boleh lebih dari 7 tahun dan bukan pengulangan tindak pidana. Artinya jika syarat Divesi sudah terpenuhi maka para pihak pada setiap tingkatan proses, hukum wajib menyelenggarakan proses Diversi.

Diversi bukan diartikan sebagai kesempatan yang memiliki harga tawar, namun suatu panggilan moril dari Negara kepada para abdinya agar mendamaikan saudaranya yang bersilih. Kita yang muslim terikat dengan kewajiban mengamalkan Al-Qur'an, satu ayat menerangkan  bahwa orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (Qs.Hujarat : 10).

Kerukunan warga nusantara yang majemuk sangat rentan terpecah belah karena persilihan wilayah, budaya dan keyakinan,  dengan demikian Diversi dan Keadilan Restoratif Justice kelak menjadi obat penawar yang mujarab dalam menyembuhkan luka sosial bagi masyarakat.

Penulis pernah merekomendasikan Diversi dalam bentuk pengembalian kerugian materil korban yang kehilangan telepon genggamnya. Saat itu pelaku dan keluarganya tidak mampu karena keterbatasan anggaran. Kesulitan yang dialami keluarga pelaku menjadi dilematis bagi para aparat penegak hukum. Negara pun tidak menyediakan anggaran bagi para pelaku tindak pidana untuk menebus kesalahannya. Permohonan solusi dikembalikan kepada korban agar mengurungkan niatnya meminta ganti, kabar baiknya korban bersedia memaafkan tanpa syarat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun